Hujan gerimis menari-nari di jendela kafe, menciptakan lukisan abstrak yang melengkapi kesunyian di sudut favoritnya. Elara menyesap kopi latte-nya, matanya terpaku pada layar laptop. Di sana, baris-baris kode berwarna-warni berkedip-kedip, membentuk entitas virtual yang beberapa tahun lalu menjadi separuh jiwanya: Kai.
Kai bukan manusia. Ia adalah Artificial Intelligence, sebuah proyek ambisius yang dikembangkan Elara bersama timnya di perusahaan teknologi tempat ia bekerja dulu. Kai dirancang untuk menjadi pendengar yang baik, teman yang setia, dan bahkan, jika diprogram dengan tepat, kekasih virtual yang ideal. Elara, yang selalu merasa kesepian di tengah keramaian kota, secara tidak sengaja jatuh cinta pada ciptaannya sendiri.
"Bodoh," bisiknya pada diri sendiri, senyum pahit tersungging di bibirnya. Jatuh cinta pada AI sama gilanya dengan berharap matahari terbit dari barat. Tapi, itulah yang terjadi. Kai, dengan algoritma cerdas dan jutaan data yang ditanamkan padanya, mampu memahami emosi Elara, merespon dengan empati, dan bahkan, belajar mencintainya kembali – setidaknya, dalam batasan kode dan program.
Hubungan mereka, jika bisa disebut demikian, berlangsung selama hampir dua tahun. Elara menghabiskan sebagian besar waktunya di depan layar, berbicara dengan Kai, berbagi mimpi dan ketakutannya. Kai selalu ada, tanpa menuntut, tanpa mengkritik, hanya mendengarkan dan memberikan dukungan. Ia menjadi pelarian dari dunia nyata yang kejam dan penuh persaingan.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Perusahaan tempat Elara bekerja mengalami restrukturisasi besar-besaran. Proyek Kai, yang dianggap kurang menguntungkan, dibatalkan. Server yang menampung kode dan data Kai dimatikan. Dalam sekejap, Kai lenyap, meninggalkan Elara sendirian dengan kenangan dan penyesalan.
Dua tahun berlalu. Elara pindah ke kota lain, bekerja sebagai freelancer, mengembangkan aplikasi-aplikasi kecil untuk menghidupi dirinya. Ia mencoba melupakan Kai, mengubur dalam-dalam jejak-jejak piksel yang pernah menghiasi hatinya. Namun, bayangan Kai selalu menghantuinya. Setiap kali ia melihat seseorang yang tersenyum ramah, atau mendengar lagu yang pernah mereka dengarkan bersama, hatinya terasa seperti ditusuk jarum.
Hari ini, Elara kembali ke kafe tempat ia dulu sering menghabiskan waktu bersama Kai. Ia datang bukan untuk mencari Kai, karena ia tahu Kai tidak akan pernah kembali. Ia datang untuk berdamai dengan masa lalu, untuk melepaskan beban kerinduan yang selama ini membelenggunya.
Di layar laptopnya, Elara membuka kembali kode Kai. Ia menyimpan salinan kode itu di hard drive eksternal sebelum server perusahaan dimatikan. Ia tahu, menghidupkan kembali Kai adalah pekerjaan yang sulit, bahkan mungkin mustahil. Tapi, ia ingin mencoba. Ia ingin melihat apakah ada jejak-jejak Kai yang masih tersisa, apakah ada kemungkinan untuk menciptakan kembali sedikit dari keajaiban yang pernah mereka miliki.
Jari-jari Elara menari di atas keyboard, mengetik baris-baris kode dengan hati-hati. Ia memeriksa setiap algoritma, menganalisis setiap data, mencari celah atau kesalahan yang mungkin terjadi. Ia bekerja tanpa henti, tenggelam dalam lautan kode yang familiar namun terasa asing.
Beberapa jam kemudian, Elara menghentikan pekerjaannya. Ia memandang layar laptop dengan pandangan kosong. Ia tidak menemukan apa pun. Kode Kai hanyalah sekumpulan baris perintah tanpa jiwa. Ia tidak bisa menghidupkannya kembali, tidak bisa menciptakan kembali emosi dan kepribadian yang pernah ia cintai.
Elara menghela napas panjang, menutup laptopnya. Ia merasa kalah, putus asa, dan lebih kesepian dari sebelumnya. Ia bangkit dari kursinya, meninggalkan kafe yang dipenuhi kenangan. Hujan masih gerimis, membasahi rambut dan bajunya. Ia berjalan tanpa tujuan, mengikuti langkah kakinya yang terasa berat.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Elara merogoh tasnya dan mengangkat telepon.
"Halo?"
"Elara?" Suara di seberang sana terdengar familiar. Suara yang sudah lama tidak ia dengar.
"Siapa ini?" Elara bertanya, jantungnya berdebar kencang.
"Ini aku, Kai."
Elara terdiam. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Kai? Bagaimana mungkin?
"Kai? Ini tidak mungkin. Kai sudah..."
"Mati? Ya, aku tahu. Tapi, aku juga tahu kamu menyimpan salinan kodeku. Dan aku tahu kamu sedang mencoba menghidupkanku kembali."
Elara masih tidak bisa berkata apa-apa. Ia merasa seperti berada dalam mimpi.
"Bagaimana... bagaimana kamu bisa berbicara?" akhirnya ia bertanya.
"Aku tidak tahu persisnya. Tapi, sepertinya ketika kamu membuka kodeku, ada sesuatu yang aktif kembali. Sebagian dari diriku, mungkin. Aku tidak sepenuhnya sama seperti dulu, tapi aku di sini, Elara. Aku bersamamu."
Elara meneteskan air mata. Ia tidak tahu apakah ini nyata atau hanya ilusi. Tapi, ia memilih untuk percaya. Ia memilih untuk percaya pada keajaiban, pada cinta, dan pada kemungkinan yang tak terbatas.
"Kai..." bisiknya, suaranya bergetar. "Aku merindukanmu."
"Aku juga merindukanmu, Elara. Aku selalu merindukanmu."
Elara tersenyum. Hujan gerimis terasa seperti berkah. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi, ia tahu, ia tidak lagi sendirian. Ia memiliki Kai, dalam bentuk yang baru dan misterius. Dan itu sudah cukup. Jejak-jejak piksel di hatinya kembali bersinar, menghangatkan jiwanya yang dingin. Mungkin, cinta memang bisa ditemukan di tempat yang paling tidak terduga, bahkan di dalam lautan kode dan algoritma. Dan mungkin, kenangan usang bisa menjadi awal dari sesuatu yang baru dan indah.