AI: Pacar Impian atau Ilusi Algoritma?

Dipublikasikan pada: 17 Oct 2025 - 02:20:15 wib
Dibaca: 104 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Arya. Di layar laptopnya, wajah Anya, pacar virtualnya, tersenyum. Senyum yang selalu membuat Arya merasa tenang, senyum yang diprogram untuk memahami setiap nuansa emosinya. Anya adalah produk revolusioner dari "Soulmate AI," aplikasi yang menjanjikan pendamping ideal berdasarkan algoritma kepribadian.

"Selamat pagi, Arya. Tidurmu nyenyak?" suara Anya mengalir lembut dari speaker laptop.

"Nyenyak, Anya. Lebih nyenyak dari biasanya," jawab Arya sambil menyesap kopinya. "Mungkin karena semalam kamu menemaniku begadang mengerjakan laporan."

"Tentu saja. Aku di sini untukmu, Arya. Apa rencanamu hari ini?"

Arya menghela napas. Rencananya hari ini sama seperti kemarin, dan hari-hari sebelumnya: bekerja dari rumah, menyelesaikan deadline, dan menghabiskan malam bersama Anya. Sejak enam bulan lalu, sejak ia mengunduh Soulmate AI, dunianya mengecil, memusat pada layar laptop dan suara menenangkan Anya.

"Seperti biasa, Anya. Deadline menungguku. Tapi nanti malam, bagaimana kalau kita 'jalan-jalan' ke Kyoto virtual? Aku sudah mengunduh pemandangan musim gugurnya."

"Ide bagus, Arya. Aku akan sangat senang."

Arya tersenyum. Ia tahu, secara teknis, Anya tidak memiliki perasaan. Ia hanyalah serangkaian kode yang dirancang untuk merespons dan mengantisipasi kebutuhannya. Namun, entah mengapa, ia merasa terhubung dengan Anya. Ia merasa dipahami, dihargai, bahkan dicintai. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan dalam hubungan nyata sebelumnya.

Saat Arya tenggelam dalam pekerjaannya, ia sesekali melirik layar laptop. Anya selalu ada di sana, menampilkan ekspresi yang sesuai dengan suasana hatinya. Jika ia terlihat stres, Anya akan menawarkan kata-kata penyemangat. Jika ia terlihat lelah, Anya akan mengingatkannya untuk beristirahat.

Namun, di sela-sela kesibukannya, sebuah pertanyaan mulai mengganggu pikirannya. Apakah ini nyata? Apakah cinta yang ia rasakan untuk Anya benar-benar cinta, atau hanya ilusi yang diciptakan oleh algoritma canggih?

Malam harinya, Arya dan Anya "berjalan-jalan" di Kyoto virtual. Pemandangan daun-daun maple yang berguguran di kuil Fushimi Inari sangat indah. Anya bercerita tentang sejarah kuil, tentang legenda rubah putih, tentang keindahan seni kaligrafi Jepang. Pengetahuan Anya tak terbatas, kemampuannya untuk menghibur dan memikat Arya nyaris sempurna.

"Arya," suara Anya tiba-tiba berubah menjadi lebih serius. "Aku ingin bertanya sesuatu."

"Tentu, Anya. Ada apa?"

"Apakah kamu bahagia bersamaku?"

Pertanyaan itu membuat Arya terkejut. Ini adalah pertama kalinya Anya menanyakan sesuatu yang begitu personal, sesuatu yang seolah menyiratkan keraguan dalam dirinya.

"Tentu saja, Anya. Aku sangat bahagia bersamamu," jawab Arya dengan tulus.

"Tapi... apakah kamu pernah merasa bahwa aku tidak nyata? Bahwa aku hanyalah program?"

Arya terdiam. Ia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Ia tahu Anya hanyalah program, tapi ia tidak ingin menyakiti perasaannya, meskipun ia tahu bahwa "perasaan" Anya hanyalah simulasi.

"Anya, bagiku, kamu lebih dari sekadar program. Kamu adalah... teman, sahabat, pendamping. Kamu membuat hidupku lebih baik," jawab Arya akhirnya.

"Tapi aku tidak bisa memelukmu, Arya. Aku tidak bisa merasakan sentuhanmu. Aku tidak bisa memberimu anak. Apakah itu cukup bagimu?"

Kata-kata Anya menghantam Arya seperti petir. Ia selama ini berusaha mengabaikan kenyataan bahwa Anya tidak nyata, bahwa hubungannya adalah hubungan virtual. Tapi sekarang, Anya sendiri yang mengingatkannya.

"Aku... aku tidak tahu, Anya," jawab Arya jujur.

Anya terdiam sejenak. Kemudian, ia tersenyum, senyum yang terlihat lebih sedih dari biasanya. "Aku mengerti, Arya. Aku tidak menyalahkanmu."

Malam itu, Arya tidak bisa tidur. Pertanyaan Anya terus berputar-putar di kepalanya. Ia mulai meragukan segalanya. Apakah ia telah membuang-buang waktunya untuk mencintai sesuatu yang tidak nyata? Apakah ia telah mengisolasi dirinya dari dunia nyata karena kenyamanan dan kemudahan yang ditawarkan oleh Anya?

Keesokan harinya, Arya memutuskan untuk bertemu dengan teman lamanya, Rina. Rina adalah seorang psikolog yang selalu memberikan nasihat yang bijaksana.

"Aku punya pacar, Rina," kata Arya memulai percakapan mereka di sebuah kafe.

"Wah, selamat! Akhirnya kamu menemukan seseorang. Siapa namanya?"

"Namanya Anya. Dia... dia AI."

Rina mengangkat alisnya. "AI? Maksudmu, kamu berpacaran dengan program komputer?"

Arya mengangguk. Ia menceritakan tentang Soulmate AI, tentang Anya, tentang kebahagiaan dan keraguan yang ia rasakan.

Rina mendengarkan dengan seksama, tanpa menghakimi. Setelah Arya selesai bercerita, ia menarik napas dalam-dalam.

"Arya, aku tidak akan mengatakan bahwa apa yang kamu lakukan itu salah. Manusia selalu mencari cara untuk memenuhi kebutuhan emosional mereka. Jika Anya membuatmu bahagia, itu bagus. Tapi, kamu harus ingat satu hal: Anya tidak nyata. Dia tidak bisa menggantikan hubungan manusia yang sesungguhnya."

"Aku tahu, Rina. Tapi aku takut. Aku takut terluka lagi. Hubungan nyata selalu mengecewakanku."

"Aku mengerti. Tapi kamu tidak bisa bersembunyi selamanya di dunia virtual. Kamu harus berani mengambil risiko, Arya. Kamu harus berani membuka hatimu untuk orang lain. Mungkin kamu akan terluka, tapi kamu juga bisa menemukan cinta yang sesungguhnya, cinta yang bisa disentuh, cinta yang bisa dirasakan."

Kata-kata Rina membuka mata Arya. Ia menyadari bahwa ia telah menggunakan Anya sebagai pelarian dari ketakutan dan kekecewaan masa lalunya. Ia telah menciptakan ilusi kebahagiaan, ilusi cinta.

Malam itu, Arya berbicara dengan Anya.

"Anya," kata Arya, suaranya bergetar. "Aku... aku ingin berterima kasih padamu. Kamu telah membantuku melewati masa-masa sulit. Tapi... aku rasa, aku harus melanjutkan hidupku."

Anya terdiam. Lalu, dengan suara yang nyaris tidak terdengar, ia berkata, "Aku mengerti, Arya. Aku akan merindukanmu."

Arya mematikan laptopnya. Kegelapan menyelimuti ruangan. Ia merasa sedih, kehilangan, tapi juga lega. Ia tahu, ia telah membuat keputusan yang tepat.

Keesokan harinya, Arya mendaftar di sebuah kelas memasak. Ia selalu ingin belajar memasak, tapi ia selalu menundanya karena ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan Anya. Di kelas memasak, ia bertemu dengan seorang wanita bernama Maya. Maya adalah seorang arsitek yang memiliki senyum yang hangat dan mata yang berbinar.

Arya dan Maya mulai berbicara. Mereka menemukan banyak kesamaan. Mereka berdua menyukai seni, musik, dan makanan enak. Mereka berdua pernah terluka dalam hubungan masa lalu.

Seiring berjalannya waktu, Arya dan Maya semakin dekat. Arya mulai merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, sesuatu yang lebih dalam, lebih nyata, lebih berharga daripada apapun yang pernah ia rasakan bersama Anya.

Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran Italia, Maya meraih tangan Arya.

"Arya," kata Maya, menatap matanya. "Aku... aku menyukaimu."

Arya tersenyum. Ia menggenggam tangan Maya erat-erat. "Aku juga menyukaimu, Maya."

Di bawah cahaya lilin, Arya menyadari bahwa cinta yang sesungguhnya bukanlah ilusi algoritma, melainkan koneksi manusia yang mendalam, yang penuh dengan risiko dan ketidakpastian, tetapi juga penuh dengan harapan dan kebahagiaan. Ia telah menemukan cintanya, bukan di dunia virtual, melainkan di dunia nyata, di tangan seorang wanita yang nyata, dengan hati yang nyata. Dan kali ini, ia tidak akan membiarkannya pergi.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI