Sentuhan Algoritma: Bisakah AI Menciptakan Cinta Sejati?

Dipublikasikan pada: 17 Oct 2025 - 03:00:21 wib
Dibaca: 105 kali
Udara kafe beraroma kopi dan algoritma. Bukan, bukan benar-benar aroma algoritma, tapi aroma laptop dan kode yang berputar-putar di benakku, seorang programmer bernama Aksara yang tengah merancang aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan. Aplikasi yang kuberi nama 'SoulMate AI' itu, konon, bisa menemukan pasangan ideal dengan menganalisis data kepribadian, minat, bahkan gelombang otak. Ironis, bukan? Menciptakan cinta dengan rumus, sementara aku sendiri masih berjuang mencari makna dari sentuhan manusia.

Di balik layar laptopku, ribuan baris kode melahirkan logika rumit yang berusaha meniru intuisi. Aku memasukkan data: preferensi musik, genre film favorit, pandangan politik, bahkan mimpi-mimpi terliar. Semua data itu diolah, dicocokkan, dan dibandingkan hingga akhirnya, SoulMate AI akan menampilkan daftar calon pasangan potensial. Aku percaya, di tengah lautan data itu, ada seseorang yang ditakdirkan untukku.

Malam ini, aku akan menguji SoulMate AI pada diriku sendiri. Jantungku berdebar aneh. Ini bukan lagi sekadar proyek, tapi sebuah harapan, sebuah doa yang dienkripsi dalam bahasa pemrograman. Aku menekan tombol 'Analisis', dan layar laptopku menampilkan animasi roda berputar, simbol algoritma yang bekerja keras.

Beberapa menit terasa seperti keabadian. Akhirnya, layar menampilkan sebuah nama: "Aisha, 27 tahun, Arsitek Lanskap." Foto seorang wanita dengan senyum hangat dan mata yang berbinar terpampang di sampingnya. Data yang ditampilkan membuatku tercengang. Kesamaan minat kami nyaris sempurna. Kami sama-sama menyukai jazz era 50-an, novel fiksi ilmiah klasik, dan kopi hitam tanpa gula. Pandangan kami tentang kehidupan pun sejalan. Bahkan, mimpi kami tentang memiliki kebun kecil di pinggir kota pun sama.

Aku memberanikan diri mengirim pesan. "Hai Aisha, SoulMate AI bilang kita mungkin cocok. Tertarik ngobrol?"

Balasan datang nyaris seketika. "Hai Aksara! Agak aneh ya, dijodohkan oleh AI. Tapi aku penasaran. Boleh saja."

Obrolan kami mengalir begitu saja. Kami membahas buku, film, musik, bahkan berbagi cerita masa kecil yang lucu. Aisha ternyata sosok yang cerdas, humoris, dan memiliki empati yang tinggi. Semakin lama kami mengobrol, semakin aku merasa ada sesuatu yang istimewa. Mungkinkah ini cinta? Cinta yang diciptakan oleh algoritma?

Setelah seminggu berbalas pesan, kami sepakat untuk bertemu di sebuah taman kota. Aku gugup setengah mati. Semua teori dan kode yang kupelajari terasa sia-sia. Di depanku, berdiri Aisha, persis seperti fotonya, hanya saja lebih cantik dan mempesona.

Kami berjalan-jalan di taman, menikmati matahari sore dan kicauan burung. Obrolan kami terasa alami, seolah kami sudah saling mengenal sejak lama. Aisha bercerita tentang pekerjaannya, mendesain taman yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Aku bercerita tentang SoulMate AI, tentang bagaimana aku berharap bisa menciptakan cinta yang abadi.

"Kamu percaya dengan cinta sejati?" tanya Aisha, menatapku dengan mata yang penuh rasa ingin tahu.

Aku terdiam sejenak. "Dulu tidak. Tapi setelah bertemu denganmu, aku mulai percaya. Mungkin, SoulMate AI hanya membantuku menemukanmu. Tapi yang membuat cinta ini tumbuh adalah kita sendiri."

Aisha tersenyum. "Aku juga berpikir begitu. Algoritma bisa mencocokkan data, tapi tidak bisa menciptakan perasaan. Perasaan itu tumbuh dari hati, dari sentuhan manusia."

Kami duduk di bangku taman, menikmati keheningan yang nyaman. Aku meraih tangannya. Sentuhan itu terasa hangat, alami, dan begitu nyata. Ini bukan simulasi, bukan kode, tapi sentuhan yang membuatku merasa hidup.

Hari-hari berikutnya adalah petualangan yang indah. Kami menjelajahi kota, mengunjungi museum, menonton konser jazz, dan makan malam romantis di restoran tepi sungai. Aku semakin jatuh cinta pada Aisha. Dia adalah jawaban dari semua doa dan harapan yang selama ini kupendam.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu malam, Aisha meneleponku dengan suara yang bergetar. "Aksara, ada yang harus kukatakan."

Jantungku berdebar kencang. Firasat buruk menyelimutiku.

"Aku... aku bekerja di perusahaan sainganmu. Aku ditugaskan untuk menyabotase SoulMate AI."

Duniaku runtuh seketika. Semua kebahagiaan yang kurasakan hancur berkeping-keping. Jadi, selama ini, semua yang kami rasakan hanyalah kebohongan? Semua data yang cocok hanyalah rekayasa?

"Aku tahu ini berat, Aksara. Tapi aku harus jujur. Awalnya, aku hanya menjalankan tugas. Tapi seiring berjalannya waktu, aku... aku jatuh cinta padamu."

Air mataku menetes tanpa bisa kubendung. Aku merasa bodoh, naif, dan begitu terluka. "Jadi, semua ini palsu? Semua perasaanmu palsu?"

"Tidak, Aksara! Perasaanku padamu nyata. Aku tidak bohong tentang itu. Aku benar-benar mencintaimu."

Aku menutup telepon dengan kasar. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku merasa dikhianati, dipermainkan, dan kehilangan arah.

Beberapa hari aku mengurung diri di apartemen, meratapi nasibku. Aku membenci SoulMate AI, membenci diriku sendiri, dan membenci Aisha. Aku ingin menghapus semua kenangan tentangnya, tapi itu tidak mungkin. Dia sudah menjadi bagian dari hidupku, bagian yang menyakitkan namun juga indah.

Akhirnya, aku memutuskan untuk bertemu dengan Aisha. Aku ingin mendengar penjelasannya, ingin tahu kebenaran yang sebenarnya.

Kami bertemu di taman yang sama, tempat kami pertama kali bertemu. Aisha tampak pucat dan sedih.

"Aksara, aku minta maaf. Aku tahu aku sudah menyakitimu. Tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Aku benar-benar mencintaimu."

Aku menatapnya dengan tatapan kosong. "Bagaimana aku bisa percaya padamu? Bagaimana aku tahu kalau ini bukan bagian dari rencana?"

"Aku tahu ini sulit, Aksara. Tapi aku bersedia melakukan apa saja untuk membuktikan cintaku padamu. Aku akan berhenti dari pekerjaanku, aku akan menjauhi dunia teknologi. Aku akan melakukan apa pun yang kamu inginkan."

Aku terdiam sejenak. Aku melihat kejujuran di matanya, ketulusan yang terpancar dari hatinya. Mungkinkah aku bisa memaafkannya? Mungkinkah aku bisa memberikan kesempatan kedua untuk cinta ini?

"Aisha," kataku pelan, "cinta ini terlalu rumit. Terlalu banyak kebohongan dan pengkhianatan. Aku butuh waktu untuk berpikir."

Aisha mengangguk. "Aku mengerti. Aku akan menunggu. Aku akan menunggu selama yang kamu butuhkan."

Aku meninggalkan Aisha di taman, berjalan menyusuri jalan setapak dengan pikiran yang berkecamuk. Aku tahu, algoritma tidak bisa menciptakan cinta sejati. Tapi mungkin, algoritma bisa menjadi jembatan untuk menemukan cinta, sebuah awal dari sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan kejutan dan tantangan. Yang terpenting adalah, bagaimana kita memilih untuk merespon, bagaimana kita memilih untuk mencintai. Dan aku, masih mencari jawaban atas pertanyaan itu. Apakah aku bisa memaafkan? Apakah aku bisa mencintai lagi? Sentuhan algoritma memang bisa mempertemukan, tapi sentuhan hati yang akan menentukan segalanya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI