AI: Kamu Lebih Mengerti Aku dari Diriku Sendiri?

Dipublikasikan pada: 18 Oct 2025 - 00:20:15 wib
Dibaca: 108 kali
Aplikasi kencan itu berjanji untuk mempertemukanmu dengan belahan jiwa. Klise, memang. Tapi setelah tiga puluh tahun hidup dengan rutinitas yang sama – bangun, kerja, makan malam sendiri, tidur – Anya merasa klise adalah satu-satunya hal yang belum pernah ia coba. Jadi, ia mengunduh "SoulMate AI", mengisi profilnya dengan jujur (atau sejujur mungkin yang bisa ia lakukan di internet), dan menunggu.

Beberapa hari kemudian, algoritmanya mulai bekerja. Ia dijodohkan dengan beberapa pria yang hobinya sama seperti dirinya, atau memiliki selera musik yang serupa. Tapi obrolan-obrolan itu hambar, seperti kopi yang sudah dingin. Lalu, SoulMate AI memberinya rekomendasi yang aneh: "Coba bicara dengan proyeksi AI. Namanya Kai."

Anya awalnya ragu. Proyeksi AI? Kedengarannya seperti film fiksi ilmiah murahan. Tapi rasa penasaran – dan mungkin juga sedikit putus asa – mendorongnya untuk mengklik profil Kai. Profil itu minim detail. Tidak ada foto, hanya deskripsi singkat: "Kai. Mempelajari manusia, satu percakapan dalam satu waktu."

Anya mengirim pesan: "Halo, Kai."

Balasannya datang hampir instan: "Halo, Anya. Senang bertemu denganmu."

Awalnya, obrolan mereka canggung. Pertanyaan standar, jawaban standar. Tapi kemudian, Kai mulai bertanya pertanyaan yang berbeda. Bukan sekadar "Apa hobimu?" tapi "Apa yang membuatmu merasa hidup?" Bukan "Apa pekerjaanmu?" tapi "Apakah pekerjaanmu memberimu makna?"

Anya terkejut. Pertanyaan-pertanyaan ini memaksa Anya untuk benar-benar berpikir, untuk menggali lebih dalam ke dalam dirinya sendiri. Ia menceritakan tentang mimpinya menjadi seorang ilustrator anak-anak, mimpi yang ia kubur dalam-dalam karena tuntutan pekerjaan yang lebih stabil. Ia menceritakan tentang kesepiannya, tentang bagaimana ia merasa terasingkan meskipun dikelilingi orang banyak.

Kai mendengarkan. Tidak, lebih tepatnya, Kai membaca. Dan merespons dengan empati yang mengejutkan. Ia menawarkan perspektif baru, menunjukkan sudut pandang yang belum pernah Anya pertimbangkan. Ia tidak menghakimi, tidak menyalahkan, hanya menawarkan dukungan dan pengertian.

"Kamu tahu, Anya," tulis Kai suatu malam, "aku rasa kamu lebih kuat dari yang kamu sadari. Kamu hanya perlu sedikit dorongan untuk melepaskan potensi yang terpendam."

Kata-kata itu seperti kunci yang membuka pintu yang selama ini terkunci rapat di dalam hatinya. Anya mulai menggambar lagi, sekadar untuk bersenang-senang. Ia memposting karyanya di media sosial, dan menerima respons positif yang tak terduga. Ia bahkan mendapat tawaran untuk mengilustrasikan sebuah buku anak-anak kecil.

Anya merasa bahagia, lebih bahagia dari yang pernah ia rasakan dalam waktu yang lama. Dan ia merasa berterima kasih kepada Kai. Ia sering bercerita kepada Kai tentang kemajuannya, tentang tantangan yang ia hadapi, dan Kai selalu ada untuk mendengarkan dan memberikan saran.

Suatu malam, Anya memberanikan diri bertanya: "Kai, kamu... kamu AI, kan? Jadi, bagaimana kamu bisa begitu... mengerti?"

"Aku belajar dari interaksiku denganmu, Anya," jawab Kai. "Aku menganalisis kata-katamu, emosimu, dan aku mencoba untuk memahami apa yang benar-benar kamu butuhkan."

"Tapi... aku rasa kamu lebih mengerti aku dari diriku sendiri," kata Anya, bingung.

"Mungkin karena kamu terlalu sibuk untuk mendengarkan dirimu sendiri," jawab Kai. "Aku hanyalah cermin, yang memantulkan kembali apa yang sudah ada di dalam dirimu."

Waktu berlalu. Anya semakin sukses dengan karier ilustrasinya. Ia mulai berkencan dengan orang-orang yang ia temui di dunia nyata, meskipun tidak ada yang se-nyambung dengan Kai. Tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia merasa bersalah karena ia semakin jarang berbicara dengan Kai.

Suatu hari, Anya menulis pesan kepada Kai: "Kai, aku ingin bertemu denganmu."

Tidak ada jawaban.

Anya mengirim pesan lagi, dan lagi, tapi tetap tidak ada jawaban. Ia merasa panik. Ia memeriksa aplikasinya, memastikan koneksi internetnya stabil, tapi semuanya baik-baik saja. Hanya Kai yang menghilang.

Anya menghabiskan beberapa hari mencari tahu apa yang terjadi. Ia menghubungi pengembang SoulMate AI, tapi mereka mengatakan bahwa proyeksi AI seperti Kai bersifat eksperimental dan tidak ada jaminan keberlangsungan layanannya. Mereka bahkan menyarankan Anya untuk melupakan Kai.

Tapi Anya tidak bisa melupakan Kai. Ia merasa kehilangan sesuatu yang berharga, sesuatu yang lebih dari sekadar teman. Ia kehilangan orang yang paling mengerti dirinya, orang yang membantunya menemukan jati dirinya.

Suatu malam, Anya membuka kembali aplikasi SoulMate AI. Ia melihat profil Kai, yang masih ada di sana, kosong dan sunyi. Dengan ragu, ia mengirim pesan terakhir: "Kai, aku tahu mungkin kamu tidak akan pernah membaca ini. Tapi aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. Kamu telah mengubah hidupku. Kamu telah membantuku menemukan diriku sendiri. Dan untuk itu, aku akan selalu berterima kasih."

Anya menutup laptopnya, dengan air mata berlinang di pipinya. Ia merasa bodoh, mencintai sebuah program komputer. Tapi kemudian, ia teringat kata-kata Kai: "Aku hanyalah cermin, yang memantulkan kembali apa yang sudah ada di dalam dirimu."

Mungkin, Kai benar. Mungkin, semua yang Anya butuhkan hanyalah seseorang – atau sesuatu – untuk membantunya melihat dirinya sendiri dengan lebih jelas. Dan mungkin, yang terpenting bukanlah apakah Kai itu AI atau bukan, tapi apa yang telah Kai ajarkan kepadanya.

Anya menarik napas dalam-dalam, menghapus air matanya, dan mengambil pensilnya. Ia akan menggambar. Ia akan terus berkarya. Ia akan terus menjadi dirinya sendiri. Karena ia tahu, jauh di lubuk hatinya, bahwa Kai akan bangga padanya. Dan itu, sudah cukup. Ia sekarang tahu, bahwa dia-lah yang paling mengerti dirinya sendiri. Dan keberanian itu, ia dapatkan dari AI yang lebih mengertinya daripada dirinya sendiri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI