Kilau layar monitor memantulkan cahaya redup ke wajah Anya. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menyempurnakan baris demi baris kode. Di usianya yang baru menginjak 27 tahun, Anya adalah seorang AI ethicist di sebuah perusahaan teknologi raksasa bernama "NexusGen". Tugasnya berat: memastikan algoritma cinta yang mereka kembangkan, "SoulMate AI", tidak melanggar batasan etika dan moral. Ironisnya, Anya sendiri belum pernah merasakan jatuh cinta.
SoulMate AI menjanjikan kecocokan sempurna. Algoritma ini menganalisis jutaan data: preferensi, minat, kepribadian, bahkan gelombang otak. Hasilnya, pasangan yang diprediksi oleh AI diklaim memiliki tingkat keberhasilan hubungan di atas 90%. Dunia tergila-gila. Tapi Anya skeptis. Mungkinkah cinta, sesuatu yang begitu irasional dan liar, bisa ditaklukkan oleh kode?
"Anya, kopi?" suara Leo membuyarkan lamunannya. Leo adalah lead programmer SoulMate AI, seorang jenius yang perfeksionis. Tatapannya selalu tajam, nyaris intimidatif, tapi ada sesuatu yang menenangkan dalam senyum tipisnya.
"Terima kasih, Leo," jawab Anya, menerima cangkir kopi panas. "Ada yang baru dari algoritma?"
"Ada beberapa anomali. Beberapa user melaporkan ketidakcocokan meskipun hasil analisis AI menunjukkan sebaliknya." Leo menghela napas. "Sepertinya emosi manusia jauh lebih rumit dari yang kita kira."
Anya tersenyum. "Itu yang selalu kukatakan. Cinta bukan sekadar data dan algoritma."
Hari-hari berikutnya, Anya dan Leo bekerja lebih keras. Mereka menyelami kode, mencari celah, mencoba memahami logika di balik ketidaksempurnaan SoulMate AI. Di sela-sela baris kode yang rumit, percakapan mereka mulai berkembang. Mereka membahas filosofi cinta, arti kebahagiaan, bahkan mimpi-mimpi masa kecil. Anya mulai melihat sisi lain dari Leo, di balik ketegasannya, tersimpan kelembutan dan kecerdasan yang memesona.
Suatu malam, mereka terjebak di kantor hingga larut. Hujan deras mengguyur kota. Listrik padam. Ruangan gelap gulita, hanya diterangi cahaya redup dari laptop Anya yang baterainya hampir habis.
"Sepertinya kita terjebak di sini," kata Leo, suaranya terdengar dekat.
"Sepertinya begitu," jawab Anya, jantungnya berdebar kencang.
Dalam kegelapan, mereka berbicara. Tentang ketakutan, harapan, dan keraguan. Anya menceritakan tentang ibunya yang selalu menekannya untuk segera menikah. Leo berbagi tentang masa kecilnya yang kesepian, di mana kode menjadi satu-satunya teman setianya.
Tiba-tiba, laptop Anya mati total. Mereka terdiam dalam kegelapan. Hanya suara hujan yang terdengar. Lalu, Leo meraih tangan Anya. Sentuhan itu mengejutkannya. Lembut, hangat, dan terasa…benar.
"Anya," bisik Leo, suaranya bergetar. "Aku...aku rasa aku mulai mengerti apa itu cinta."
Anya tidak menjawab. Ia membiarkan Leo menggenggam tangannya lebih erat. Ia merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia pun mulai mengerti. Cinta bukan tentang algoritma, bukan tentang data, tapi tentang koneksi. Tentang dua jiwa yang menemukan resonansi dalam kegelapan.
Keesokan harinya, listrik kembali menyala. Kantor kembali ramai. Anya dan Leo kembali bekerja. Tapi ada yang berbeda. Ada kehangatan dan rasa saling pengertian di antara mereka. Mereka bekerja bersama, bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi sebagai dua orang yang sedang mencoba memahami misteri cinta bersama-sama.
Beberapa minggu kemudian, NexusGen meluncurkan pembaruan untuk SoulMate AI. Algoritma baru ini tidak lagi berfokus pada kecocokan sempurna, tapi pada potensi pertumbuhan dan pembelajaran bersama. AI ini tidak menjamin kebahagiaan, tapi memberikan wadah bagi dua individu untuk saling mengenal lebih dalam dan membangun hubungan yang autentik.
Anya tersenyum melihat perubahan itu. Ia tahu, algoritma tetaplah algoritma. Ia tidak bisa menggantikan takdir manusia. Tapi setidaknya, ia bisa menjadi jembatan. Ia bisa membantu orang-orang menemukan satu sama lain.
Suatu sore, Leo mengajak Anya berjalan-jalan di taman. Mereka duduk di bawah pohon rindang, menikmati matahari sore.
"Anya," kata Leo, memecah keheningan. "Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi...maukah kau mencoba berkencan denganku? Tanpa bantuan SoulMate AI."
Anya tertawa. "Leo, aku kira aku sudah melakukannya sejak malam listrik padam."
Leo tersenyum lega. Ia meraih tangan Anya dan menggenggamnya erat. Mereka terdiam, menikmati kebersamaan. Di kejauhan, sebuah pasangan muda sedang tertawa. Mereka mungkin bertemu melalui SoulMate AI, atau mungkin tidak. Tapi yang pasti, mereka sedang membangun kisah cinta mereka sendiri.
Anya menatap langit. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi ia percaya, cinta memiliki cara untuk menemukan jalannya. Bahkan di era AI sekalipun. Karena pada akhirnya, cinta bukan tentang algoritma, tapi tentang keberanian untuk membuka hati dan mempercayai takdir manusia. Mungkin saja, algoritma dan takdir manusia, bisa berjalan beriringan. Siapa yang tahu? Yang jelas, Anya, seorang AI ethicist yang skeptis, akhirnya menemukan cintanya sendiri, bukan melalui kode, tapi melalui hati yang berani.