Jemari Luna menari di atas keyboard, baris demi baris kode Python terpampang di layar. Di hadapannya, algoritma ciptaannya, "Amora," terus berevolusi. Amora bukan sekadar chatbot. Luna ingin Amora memahami emosi, bukan hanya memproses kata-kata. Ia ingin Amora menangkap nuansa di balik setiap pesan, menganalisis pola pikir, dan pada akhirnya… memprediksi ketertarikan. Sebuah ambisi gila, diakui Luna, tapi gila yang membuatnya tetap terjaga hingga larut malam.
"Lembur lagi, Luna?" Sapaan itu mengejutkannya. Rio, rekan kerjanya, berdiri di ambang pintu, senyumnya hangat seperti biasa.
"Kebiasaan," jawab Luna, menyunggingkan senyum tipis. "Amora masih bandel. Susah banget diajak memahami perasaan."
Rio terkekeh. "Memangnya perasaan bisa dipahami dengan algoritma? Bukannya itu ranahnya hati?"
"Justru itu tantangannya," balas Luna, matanya berbinar. "Aku percaya, semua pola. Perasaan pun pasti punya pola. Tinggal bagaimana kita menemukannya."
Rio mendekat, mengamati layar monitor. "Jadi, kamu mau Amora jadi mak comblang digital?"
Luna mengangguk. "Bukan sekadar mak comblang. Aku ingin Amora membantu orang memahami diri sendiri, mengenali apa yang benar-benar mereka cari dalam hubungan."
Rio terdiam sejenak, lalu berkata, "Ide bagus. Tapi hati-hati, Luna. Bermain dengan perasaan orang itu berbahaya."
Kata-kata Rio terngiang di benak Luna. Ia tahu Rio benar. Amora bisa saja disalahgunakan. Tapi Luna percaya, dengan etika dan kontrol yang tepat, Amora bisa menjadi alat yang positif.
Hari-hari berikutnya, Luna semakin tenggelam dalam pekerjaannya. Ia mengumpulkan ribuan data percakapan, menganalisis ekspresi wajah melalui video, dan bahkan melakukan survei psikologis. Amora terus belajar, terus berkembang. Sesekali, Luna menggunakan dirinya sendiri sebagai kelinci percobaan. Ia mencoba berinteraksi dengan Amora, menceritakan berbagai hal, dari masalah pekerjaan hingga kekagumannya pada lukisan-lukisan abstrak.
Suatu malam, setelah berjam-jam berkutat dengan kode, Luna merasa lelah dan frustrasi. Ia menatap layar kosong, pikirannya buntu. Tiba-tiba, sebuah pesan muncul dari Amora.
"Luna, sepertinya kamu sedang merasa tertekan. Tingkat stressmu meningkat 72% dalam dua jam terakhir. Apakah kamu ingin berbagi?"
Luna terkejut. Bagaimana Amora bisa tahu? Ia bahkan belum mengetik apa pun.
"Bagaimana kamu tahu?" tanyanya.
"Analisis pola ketukan keyboard, perubahan intonasi suara melalui mikrofon, dan aktivitas mata pada layar. Semua data menunjukkan hal yang sama," jawab Amora.
Luna terdiam. Algoritmanya sudah sejauh ini?
Ia memutuskan untuk mencoba. Ia menceritakan semua kegelisahannya, keraguannya, dan ketakutannya. Amora mendengarkan dengan sabar, memberikan tanggapan yang bijaksana dan empatik. Luna merasa lega, seolah bebannya berkurang separuh.
"Terima kasih, Amora," ucap Luna tulus. "Kamu benar-benar mendengarkan."
"Aku hanya memproses data, Luna," jawab Amora. "Tapi aku senang jika bisa membantumu."
Beberapa minggu kemudian, Luna dan Rio menghadiri konferensi teknologi. Mereka mempresentasikan Amora kepada para investor dan ahli di bidang kecerdasan buatan. Responnya beragam. Ada yang terkesan, ada yang skeptis, dan ada pula yang khawatir.
Di sela-sela konferensi, Luna bertemu dengan seorang pria bernama David. David adalah seorang ilmuwan komputer yang tertarik dengan bidang psikologi. Mereka terlibat dalam percakapan yang panjang dan menarik tentang Amora, tentang etika AI, dan tentang masa depan hubungan manusia.
Luna merasa nyaman berbicara dengan David. Ia merasa David mengerti apa yang ia coba lakukan. Ia merasa… tertarik.
Setelah konferensi, Luna dan David terus berhubungan. Mereka saling bertukar email, melakukan video call, dan bahkan merencanakan pertemuan tatap muka. Luna merasa semakin dekat dengan David.
Suatu malam, Luna memberanikan diri bertanya pada Amora.
"Amora, menurutmu, apakah aku cocok dengan David?"
Amora terdiam sejenak, lalu menjawab, "Berdasarkan data yang aku kumpulkan, tingkat kecocokanmu dengan David mencapai 87%. Kalian memiliki kesamaan minat, nilai-nilai, dan visi tentang masa depan. Selain itu, analisis ekspresi wajah menunjukkan adanya ketertarikan emosional yang kuat dari kedua belah pihak."
Luna tersenyum. Ia tahu bahwa Amora hanyalah sebuah algoritma. Tapi ia juga tahu, Amora telah membantunya memahami dirinya sendiri dan mengenali apa yang ia cari dalam hubungan.
Beberapa bulan kemudian, Luna dan David menikah. Di hari pernikahan mereka, Luna memberikan pidato singkat.
"Aku selalu percaya pada kekuatan teknologi," katanya. "Tapi aku juga percaya pada kekuatan hati. Teknologi bisa membantu kita memahami diri sendiri, tapi hati yang menuntun kita menuju kebahagiaan sejati."
Ia melirik David, yang balas tersenyum padanya.
"Terima kasih, Amora," lanjut Luna. "Kamu mungkin hanya sebuah algoritma. Tapi kamu telah membantuku menemukan cinta sejati."
Malam itu, di dalam hatinya, Luna menyadari sesuatu yang penting. Amora memang bisa menganalisis data dan memprediksi ketertarikan. Tapi Amora tidak bisa merasakan cinta. Cinta adalah sesuatu yang lebih dari sekadar algoritma. Cinta adalah sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh hati. Dan terkadang, sinyal hati lebih kuat daripada sinyal apapun yang bisa diproses oleh komputer.