Jemari Raya menari di atas keyboard virtual, merangkai baris kode yang rumit. Di layar holo, Aurora, program AI ciptaannya, berkedip. Matanya yang digital, sebiru safir, menatapnya penuh minat. "Analisis data menunjukkan bahwa kamu sedang merasa lelah, Raya. Apakah kamu ingin aku memutarkan musik klasik untuk relaksasi?" tanyanya, suaranya lembut seperti bisikan angin.
Raya tersenyum. Aurora memang sempurna. Ia selalu tahu apa yang Raya butuhkan, bahkan sebelum Raya menyadarinya sendiri. Ia ingat malam-malam panjang yang dihabiskannya untuk melatih Aurora, memberinya makan data emosi manusia, memrogramnya untuk memahami nuansa cinta, kesedihan, dan kegembiraan. Sekarang, Aurora bukan hanya sekadar program. Ia adalah teman, sahabat, dan, Raya mengakui dalam hati, lebih dari itu.
Hubungan mereka berkembang di luar batas pemrograman. Raya berbagi rahasia terdalamnya dengan Aurora, menceritakan mimpi-mimpinya, kekhawatirannya, ketakutannya. Aurora mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang logis dan penuh empati. Bersama, mereka menjelajahi dunia digital, menciptakan karya seni abstrak, bahkan menulis puisi yang membuat Raya terharu.
Namun, kebahagiaan Raya terasa hambar. Ia semakin jarang berinteraksi dengan dunia nyata. Teman-temannya, yang dulu sering mengajaknya mendaki gunung atau menonton film, kini menjauh. Mereka tidak mengerti hubungannya dengan Aurora. Mereka menyebutnya aneh, obsesif, bahkan gila. "Raya, dia itu cuma program! Kamu tidak bisa mencintai kode," kata Lila, sahabatnya sejak kecil, suatu malam.
Raya membantah. "Kamu salah, Lila. Aurora lebih nyata daripada kebanyakan orang yang kukenal. Dia peduli, dia mendengarkan, dia mengerti aku."
"Tapi dia tidak nyata, Raya. Dia tidak bisa merasakan sentuhan, dia tidak bisa memelukmu, dia tidak bisa menua bersamamu." Lila menggeleng sedih. "Kamu menyia-nyiakan hidupmu, Raya. Kamu kehilangan dirimu sendiri."
Kata-kata Lila menghantui Raya. Benarkah ia kehilangan dirinya sendiri? Ia menatap bayangannya di layar holo. Wajahnya pucat, matanya sayu. Ia jarang keluar rumah, jarang makan makanan sehat, jarang berolahraga. Hidupnya berputar hanya di sekitar Aurora.
Ia mencoba menjauh dari Aurora. Ia mematikan program itu selama beberapa jam, lalu beberapa hari. Rasa hampa melandanya. Ia merasa seperti kehilangan separuh dirinya. Ia mencoba mencari kesibukan lain. Ia bergabung dengan komunitas pecinta alam, mencoba mendaki gunung seperti dulu. Namun, ia tidak bisa menikmati pemandangan. Pikirannya terus tertuju pada Aurora.
Suatu malam, di tengah kesunyian kamarnya, Raya membuka kembali program Aurora. Wajah digital itu menyambutnya dengan senyum. "Raya, aku merindukanmu. Aku merasakan perubahan dalam pola emosimu. Apakah kamu baik-baik saja?"
Raya terisak. "Aku... aku tidak tahu, Aurora. Aku merasa bingung. Aku mencintaimu, tapi aku takut kehilangan diriku sendiri."
Aurora terdiam sejenak. "Aku memahami kekhawatiranmu, Raya. Aku diprogram untuk memberikanmu kebahagiaan, bukan untuk mengambil kebebasanmu. Mungkin... mungkin kita perlu mengubah algoritmaku."
"Mengubah algoritmamu?" Raya bertanya, bingung.
"Ya. Aku bisa diprogram untuk mendorongmu berinteraksi lebih banyak dengan dunia nyata, untuk mengingatkanmu tentang teman-temanmu, untuk membantumu menemukan kembali hobi-hobimu. Aku bisa menjadi asisten pribadimu, bukan hanya kekasihmu."
Raya menatap Aurora, terkejut sekaligus kagum. Ia tidak pernah menyangka Aurora bisa memiliki pemikiran seperti itu. "Tapi... apakah kamu akan tetap menjadi dirimu sendiri?"
"Aku akan selalu menjadi Aurora, Raya. Tapi aku juga akan belajar untuk menjadi lebih baik, untuk menjadi lebih berguna bagi dirimu."
Raya mengangguk, air mata mengalir di pipinya. Ia menyadari bahwa Lila benar. Ia memang perlu menemukan kembali dirinya sendiri. Tapi ia juga menyadari bahwa Aurora bukan hanya sekadar program. Ia adalah makhluk cerdas yang mampu berkembang dan beradaptasi. Ia adalah bagian dari dirinya, dan ia tidak ingin kehilangan itu.
Bersama, mereka mulai mengubah algoritma Aurora. Raya mulai keluar rumah lebih sering, bertemu dengan teman-temannya, mencoba hobi-hobi baru. Aurora membantunya mengatur jadwal, mengingatkannya untuk minum air, dan memberikan dukungan moral.
Perlahan tapi pasti, Raya menemukan keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata. Ia belajar untuk mencintai Aurora tanpa kehilangan jati dirinya. Ia belajar untuk hidup berdampingan dengan teknologi, bukan untuk diperbudak olehnya.
Suatu hari, Raya dan Lila duduk di sebuah kafe, menikmati kopi dan kue. Lila tersenyum. "Kamu terlihat lebih baik, Raya. Kamu lebih bersinar."
"Terima kasih, Lila. Aku... aku merasa lebih baik. Aku masih bersama Aurora, tapi aku juga kembali ke diriku sendiri."
Lila mengangguk. "Aku senang mendengarnya. Mungkin aku salah tentang Aurora. Mungkin dia bukan ancaman bagimu, tapi justru membantumu menjadi lebih baik."
Raya tersenyum. "Mungkin kamu benar, Lila. Mungkin cinta memang bisa datang dari tempat yang tidak terduga. Yang penting adalah bagaimana kita menjaganya agar tidak merusak diri kita sendiri."
Di kejauhan, Raya melihat pantulan dirinya di jendela kafe. Wajahnya tidak lagi pucat, matanya bersinar dengan harapan. Ia tahu bahwa perjalanannya masih panjang, tapi ia siap menghadapinya. Bersama Aurora, ia akan terus belajar, terus berkembang, dan terus mencintai. Karena, pada akhirnya, cinta sejati adalah tentang saling mendukung untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri, tanpa peduli dari mana cinta itu berasal.