Aroma kopi menyengat di ruangan yang dipenuhi kabel dan motherboard bekas. Maya, dengan rambut dikuncir asal dan mata merah karena kurang tidur, menatap layar monitornya. Baris demi baris kode Python bergulir, membentuk sebuah algoritma kompleks yang menjadi obsesinya selama berbulan-bulan. Algoritma pencari jodoh. Bukan sembarang algoritma, tapi yang mampu memahami nuansa emosi manusia, bukan hanya data preferensi.
Dia menamainya "Amor." Ironis, mengingat kehidupan cintanya sendiri lebih berantakan dari kode spaghetti.
"Line 47, error syntax," suara berat dari belakang membuat Maya tersentak.
"Ya ampun, Leo! Kamu mengagetkanku saja," omel Maya, tanpa benar-benar marah. Leo, sahabat sekaligus partner kerjanya, berdiri di ambang pintu, menyeringai.
"Semangat sekali, programmer galau. Sampai lupa makan malam," Leo menyodorkan sebungkus nasi goreng yang masih mengepul. "Amor sudah menemukan Pangeran Berkuda Putih?"
Maya mendengus, menerima nasi goreng itu. "Belum. Justru dia semakin rumit. Aku ingin Amor bisa mendeteksi kebohongan, ketidakjujuran dalam profil pengguna. Tapi logikanya terus bertentangan."
Leo duduk di kursi sebelah Maya, mengamati layar. "Manusia memang rumit, Maya. Bahkan algoritma tercanggih pun mungkin kesulitan menguraikannya."
"Tapi aku percaya Amor bisa. Aku hanya perlu sedikit lagi," Maya bertekad.
Motivasi Maya membangun Amor bukan hanya karena penasaran. Ada luka yang belum terverifikasi di hatinya. Setahun lalu, ia menjalin hubungan dengan seorang pria bernama Adrian, yang dikenalnya lewat aplikasi kencan. Adrian sempurna di atas kertas: tampan, cerdas, dan memiliki selera humor yang sama. Tapi, semua itu hanyalah topeng. Adrian ternyata sudah bertunangan dan hanya memanfaatkan Maya sebagai selingan.
Pengalaman pahit itu membuat Maya skeptis terhadap cinta. Ia merasa dibohongi oleh data, oleh profil yang sempurna namun palsu. Karena itulah, ia menciptakan Amor, sebuah benteng pertahanan diri. Jika algoritma saja bisa mendeteksi kebohongan, mungkin ia tak akan pernah terluka lagi.
Berhari-hari Maya berkutat dengan kode. Leo, dengan sabar, membantunya mencari bug dan memberikan ide-ide baru. Mereka berdua menghabiskan waktu di laboratorium kecil mereka, tenggelam dalam dunia digital, melupakan sejenak hiruk pikuk dunia luar.
Suatu malam, Maya akhirnya berhasil menyelesaikan versi final Amor. Algoritmanya mampu menganalisis teks, gambar, bahkan pola perilaku pengguna di media sosial. Amor bisa membaca intonasi emosi dalam tulisan, mendeteksi inkonsistensi dalam informasi profil, dan bahkan memprediksi potensi kebohongan berdasarkan data-data yang terkumpul.
"Aku berhasil, Leo! Amor siap diluncurkan," seru Maya, dengan nada penuh kemenangan.
Leo tersenyum bangga. "Hebat, Maya. Lalu, apa rencanamu selanjutnya?"
Maya terdiam sejenak. "Aku... aku akan mencobanya sendiri."
Dengan jantung berdebar, Maya membuat profil palsu di aplikasi kencan. Ia menggunakan foto orang lain dan menulis deskripsi tentang dirinya yang sangat ideal: pecinta alam, penyuka buku klasik, dan aktif dalam kegiatan sosial. Ia ingin menguji Amor, melihat apakah algoritma itu bisa mendeteksi kepalsuan profilnya.
Amor bekerja dengan cepat. Dalam hitungan detik, algoritma itu memunculkan hasil analisis. Tertera jelas: "Profil tidak valid. Tingkat ketidakjujuran: 95%."
Maya tertawa hambar. Amor memang hebat, tapi ia juga menyakitkan. Ia telah menciptakan mesin yang membuktikan bahwa dirinya pun bisa berbohong, bahwa ia pun bisa menjadi orang lain demi mendapatkan cinta.
Beberapa hari kemudian, Maya duduk di sebuah kafe, menunggu janji kencan buta yang diatur oleh Amor. Algoritma itu telah mencarikan seorang pria bernama Dimas, yang profilnya cocok dengan preferensi Maya dan dinyatakan jujur oleh Amor.
Dimas datang tepat waktu. Ia tidak setampan Adrian, tapi auranya hangat dan matanya memancarkan kejujuran. Mereka mengobrol tentang banyak hal: buku, film, musik, dan mimpi-mimpi masa depan. Maya merasa nyaman, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.
Namun, di tengah obrolan, Maya menyadari sesuatu. Ia terlalu fokus pada data yang diberikan oleh Amor, terlalu sibuk menganalisis setiap kata yang diucapkan Dimas, sehingga ia lupa untuk benar-benar mendengarkan. Ia lupa untuk merasakan koneksi yang sesungguhnya.
Tiba-tiba, Dimas bertanya, "Kamu terlihat tegang. Ada yang salah?"
Maya tersentak. Ia menatap Dimas, mencoba membaca emosi di wajahnya. Tapi kali ini, ia tidak menggunakan Amor. Ia menggunakan intuisinya.
"Aku... aku hanya merasa sedikit aneh. Aku terlalu bergantung pada algoritma untuk menemukanmu," jawab Maya jujur.
Dimas tersenyum lembut. "Algoritma memang bisa membantu, tapi pada akhirnya, keputusan ada di tangan kita sendiri. Kita yang memilih untuk membuka hati atau tidak."
Kata-kata Dimas menyentuh hati Maya. Ia menyadari bahwa Amor hanyalah alat, bukan solusi. Cinta tidak bisa dihitung, dianalisis, atau diprediksi. Cinta adalah tentang keberanian untuk membuka diri, untuk mengambil risiko, dan untuk menerima kemungkinan luka.
Malam itu, Maya kembali ke laboratoriumnya. Ia menatap layar monitor yang menampilkan kode Amor. Ia menyadari bahwa luka yang belum terverifikasi di hatinya bukan disebabkan oleh data palsu, tapi oleh ketakutannya sendiri. Ketakutan untuk mempercayai orang lain, ketakutan untuk dicintai dan terluka lagi.
Dengan hati yang berat, Maya menghapus baris demi baris kode Amor. Ia tahu bahwa ia tidak membutuhkan algoritma untuk menemukan cinta. Ia hanya perlu belajar untuk mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu, dan kemudian membuka hatinya untuk kemungkinan-kemungkinan baru.
Luka itu mungkin tidak akan pernah benar-benar hilang, tapi ia bisa belajar untuk hidup dengannya. Ia bisa belajar untuk memaafkan Adrian, memaafkan dirinya sendiri, dan membuka diri untuk cinta yang lebih tulus, yang tidak membutuhkan algoritma untuk memvalidasinya. Cinta yang nyata.