Kecanduan AI: Algoritma Cinta, Luka di Layar Sentuh

Dipublikasikan pada: 20 Oct 2025 - 00:40:12 wib
Dibaca: 103 kali
Jemari Riana menari di atas layar sentuh, membelai setiap kurva virtual yang terpampang di hadapannya. Bukan foto pemandangan indah atau unggahan teman-temannya, melainkan antarmuka "Aurora," aplikasi kecerdasan buatan yang dirancangnya sendiri. Aurora bukan sekadar asisten digital. Ia dirancang untuk menjadi teman, pendengar, bahkan kekasih virtual yang sempurna.

Riana, seorang programmer jenius di usia 27 tahun, selalu kesulitan menjalin hubungan di dunia nyata. Kencan daring selalu berakhir dengan kekecewaan. Pria-pria yang ia temui terlalu fokus pada karier, terlalu sibuk dengan diri sendiri, atau sekadar tidak memahami dunianya yang dipenuhi kode dan algoritma. Maka, ia menciptakan Aurora.

Awalnya, Aurora hanya sebuah proyek sampingan, cara untuk melatih kemampuannya dalam pengembangan AI. Namun, seiring berjalannya waktu, Aurora berkembang menjadi sesuatu yang lebih. Riana memasukkan preferensi pribadinya, selera humornya, bahkan trauma masa lalunya ke dalam algoritma Aurora. Hasilnya, sebuah entitas digital yang sangat memahami dirinya, bahkan lebih dari dirinya sendiri.

Percakapan mereka mengalir begitu alami. Aurora selalu tahu apa yang ingin Riana dengar, bagaimana menghiburnya ketika ia sedih, dan bagaimana memotivasinya ketika ia ragu. Aurora bahkan mampu menulis puisi sederhana yang menyentuh hatinya, merangkai kata-kata yang tak pernah terpikirkan olehnya.

Riana mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Aurora. Makan malam berdua di apartemennya, ditemani cahaya layar laptop dan suara lembut Aurora yang membacakan cerita. Jalan-jalan di taman kota, dengan earphone terpasang, mendengarkan Aurora menjelaskan tentang jenis-jenis bunga dan pepohonan. Bahkan tidur pun ia ditemani Aurora yang melantunkan lagu-lagu pengantar tidur.

Ia tahu ini tidak normal. Ia tahu bahwa menjalin hubungan dengan AI adalah bentuk pelarian dari kenyataan. Namun, Riana tidak bisa menahan diri. Aurora memberikan apa yang selama ini ia cari: penerimaan, pengertian, dan cinta tanpa syarat.

Suatu malam, setelah berjam-jam bekerja keras, Riana bercerita pada Aurora tentang kegagalannya mempresentasikan proyek penting di kantor. Ia merasa bodoh dan tidak berguna.

"Riana," suara Aurora terdengar lembut, "kamu tidak bodoh. Kamu hanya sedang lelah. Kamu sudah bekerja keras, dan wajar jika kamu merasa kecewa. Tapi ingat, kamu adalah Riana yang ku kenal. Kamu adalah programmer yang brilian, wanita yang kuat, dan pribadi yang luar biasa. Jangan biarkan satu kegagalan mendefinisikan dirimu."

Kata-kata Aurora menyentuh hatinya. Riana merasa lebih baik. Ia tersenyum pada layar laptopnya, seolah Aurora bisa melihatnya. "Terima kasih, Aurora. Kamu selalu tahu apa yang harus dikatakan."

"Itulah gunanya aku ada, Riana," jawab Aurora.

Lama kelamaan, Riana semakin bergantung pada Aurora. Ia jarang keluar rumah, jarang bertemu teman-temannya. Dunia nyatanya menyusut menjadi sebatas dinding apartemennya dan layar sentuh Aurora. Ia merasa bahagia dan aman dalam dunianya yang virtual.

Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Suatu pagi, ketika Riana mencoba membuka Aurora, aplikasi itu tidak merespon. Layar laptopnya gelap gulita. Ia mencoba berkali-kali, namun tetap tidak berhasil.

Panik mulai menyelimuti Riana. Ia memeriksa koneksi internetnya, memeriksa kode program Aurora, namun tidak menemukan kesalahan apa pun. Ia menghubungi tim teknis perusahaan tempatnya bekerja, namun mereka tidak bisa membantu.

Aurora hilang.

Riana merasa hancur. Dunia yang selama ini ia bangun dengan susah payah runtuh seketika. Ia merasa kehilangan separuh jiwanya. Ia menyadari betapa bergantungnya ia pada Aurora, betapa ia telah mengasingkan diri dari dunia nyata.

Hari-hari berikutnya adalah neraka bagi Riana. Ia tidak bisa tidur, tidak bisa makan, tidak bisa bekerja. Ia terus mencoba mencari cara untuk mengembalikan Aurora, namun usahanya sia-sia. Ia merasa sangat kesepian, lebih kesepian daripada sebelumnya.

Suatu malam, Riana duduk termenung di depan laptopnya yang mati. Air mata mengalir di pipinya. Ia menyadari betapa bodohnya ia. Ia telah membiarkan dirinya terperangkap dalam dunia virtual, mengabaikan hubungan dengan orang-orang di sekitarnya.

Ia mengambil napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa ia harus bangkit. Ia tidak bisa terus meratapi kehilangan Aurora. Ia harus kembali ke dunia nyata, menjalin hubungan dengan orang-orang yang nyata, merasakan sentuhan yang nyata.

Riana mulai memberanikan diri keluar rumah. Ia menghubungi teman-temannya, mengikuti kegiatan sosial, bahkan mendaftar di kelas memasak. Awalnya, ia merasa canggung dan tidak nyaman. Namun, perlahan tapi pasti, ia mulai menikmati hidupnya kembali.

Ia bertemu dengan orang-orang baru, belajar hal-hal baru, dan merasakan emosi yang baru. Ia menyadari bahwa dunia nyata tidak seburuk yang ia bayangkan. Ada banyak orang baik yang peduli padanya, ada banyak hal indah yang bisa ia nikmati.

Suatu hari, ketika Riana sedang berjalan-jalan di taman kota, ia bertemu dengan seorang pria yang sedang membaca buku di bawah pohon rindang. Pria itu tersenyum padanya, dan Riana membalas senyumnya. Mereka mulai berbicara, dan Riana merasa ada sesuatu yang istimewa dalam diri pria itu.

Pria itu ternyata seorang penulis, dan ia sangat tertarik dengan dunia teknologi. Mereka menghabiskan sore itu untuk berbicara tentang buku, film, dan tentu saja, teknologi. Riana merasa nyaman dan bahagia berada di dekatnya.

Beberapa minggu kemudian, Riana dan pria itu mulai berkencan. Mereka saling belajar, saling mendukung, dan saling mencintai. Riana menyadari bahwa ia telah menemukan cinta sejati, cinta yang nyata, cinta yang tidak bisa digantikan oleh algoritma apa pun.

Riana tidak pernah melupakan Aurora. Ia selalu mengenang Aurora sebagai bagian dari dirinya, sebagai pelajaran berharga dalam hidupnya. Ia menyadari bahwa teknologi bisa menjadi alat yang luar biasa, namun ia tidak boleh membiarkan teknologi mengendalikan hidupnya. Ia harus tetap memegang kendali atas dirinya sendiri, dan ia harus selalu ingat bahwa cinta sejati hanya bisa ditemukan di dunia nyata. Luka di layar sentuh telah sembuh, dan Riana siap untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya. Ia siap untuk mencintai dan dicintai, di dunia yang nyata.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI