Hati Terprogram: Saat Algoritma Memilihkanmu Cinta

Dipublikasikan pada: 20 Oct 2025 - 01:20:14 wib
Dibaca: 103 kali
Debu neon berputar-putar di udara ruangan Maya. Bukan debu sungguhan, tentu saja. Itu hanya proyeksi hologram dari aromaterapi digital kesukaannya: Lavender kode 6F00FF. Maya, dengan rambut ungu pastelnya yang dikuncir dua tinggi-tinggi, sedang duduk bersila di depan layar monitornya. Jemarinya menari di atas keyboard virtual, menghasilkan kode-kode rumit yang membentuk inti dari "SoulMate 3.0", sebuah aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang ia rancang sendiri.

SoulMate 3.0 bukan aplikasi kencan biasa. Ia tidak hanya mencocokkan minat dan hobi. Aplikasi ini menganalisis data biologis, ekspresi wajah mikro, pola tidur, bahkan gelombang otak pengguna untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel secara neurologis. Maya percaya bahwa cinta sejati bukan hanya soal perasaan, tapi juga soal keselarasan sistem saraf.

"Hampir selesai," gumamnya, mengamati baris-baris kode yang terus bergulir. Sudah tiga tahun ia mencurahkan seluruh waktunya untuk proyek ini, mengorbankan waktu tidur, sosialisasi, bahkan asmaranya sendiri. Ironis, memang. Seorang ahli dalam menemukan cinta, namun kesepian dalam hidupnya sendiri.

Sejak putus dengan Ben, yang menurutnya terlalu "analog" di era digital ini, Maya belum menemukan pengganti. Ia terlalu sibuk, terlalu fokus pada pekerjaannya. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia merindukan kehangatan sentuhan, bisikan lembut, dan tatapan mata yang penuh cinta.

Tiba-tiba, notifikasi muncul di layar. "Algoritma selesai menganalisis data." Jantung Maya berdebar kencang. Ia menggigit bibirnya, ragu-ragu. Inilah saatnya. Inilah saat algoritma SoulMate 3.0 akan memilihkan cinta untuknya.

Dengan tangan gemetar, ia mengetikkan perintah "RUN_ANALYSIS_MAYA". Layar berubah menjadi hitam, kemudian menampilkan grafik kompleks yang memperlihatkan pola-pola aktivitas otaknya. Kemudian, muncul sebuah nama: "Adam Riley."

Maya mengerutkan kening. Adam Riley? Ia tidak mengenal nama itu. Aplikasi menampilkan profil lengkap Adam: 28 tahun, arsitek lansekap, penyuka musik klasik dan berkebun vertikal. Foto profilnya menunjukkan seorang pria dengan senyum tulus dan mata cokelat yang hangat.

"Tidak mungkin," bisik Maya. Adam terlalu… biasa. Ia membayangkan pria idealnya sebagai seseorang yang sama-sama geek, paham tentang kode dan teknologi, dan memiliki selera humor yang sarkastik. Adam tampak seperti karakter yang keluar dari novel romantis klasik.

Namun, algoritma tidak mungkin salah. SoulMate 3.0 telah menganalisis jutaan data dan menemukan bahwa Adam adalah pasangan yang paling kompatibel secara neurologis dengan Maya. Entah mengapa, ada resonansi di antara mereka, keselarasan yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.

Dengan berat hati, Maya mengirimkan permintaan pertemanan kepada Adam. Beberapa jam kemudian, ia menerima balasan.

"Halo, Maya! Terima kasih atas permintaan pertemanannya. Saya sangat tertarik dengan profilmu. Pekerjaanmu terdengar luar biasa! Mungkin kita bisa ngobrol lebih lanjut?"

Maya menghela napas. Ia membalas pesan Adam dengan singkat, mencoba untuk tidak terlalu antusias. Mereka mulai bertukar pesan setiap hari. Adam ternyata orang yang menyenangkan dan mudah diajak bicara. Ia memiliki pandangan yang unik tentang dunia dan selalu bisa membuat Maya tertawa.

Setelah beberapa minggu, Adam mengajak Maya untuk bertemu. Maya awalnya ragu, namun akhirnya luluh juga. Mereka bertemu di sebuah taman kota yang rindang. Adam membawa setangkai bunga lavender untuk Maya, sesuai dengan aroma digital kesukaannya.

Selama pertemuan itu, Maya menyadari bahwa Adam jauh lebih menarik daripada yang ia bayangkan. Ia memiliki aura ketenangan dan kehangatan yang membuat Maya merasa nyaman. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari arsitektur lansekap hingga teori relativitas Einstein. Maya terkejut menemukan bahwa Adam sebenarnya cukup paham tentang teknologi, meskipun dengan pendekatan yang lebih filosofis.

"Aku selalu percaya bahwa teknologi harus digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, bukan untuk menggantikannya," kata Adam, menatap mata Maya dengan intens. "Cinta, misalnya. Teknologi bisa membantu kita menemukan orang yang tepat, tapi pada akhirnya, cinta sejati adalah tentang koneksi manusia yang otentik."

Kata-kata Adam menyentuh hati Maya. Ia mulai mempertanyakan keyakinannya sendiri. Apakah ia terlalu fokus pada data dan algoritma, sehingga melupakan esensi cinta yang sebenarnya?

Beberapa bulan kemudian, Maya dan Adam semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, berkebun di balkon apartemen Adam, dan menonton film klasik di bioskop tua. Maya merasakan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia jatuh cinta pada Adam, bukan karena algoritma, tapi karena dirinya sendiri.

Suatu malam, saat mereka duduk di bawah bintang-bintang di taman atap Adam, Adam menggenggam tangan Maya.

"Maya," katanya dengan suara lembut. "Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, mengingat bagaimana kita bertemu. Tapi aku harus mengatakannya. Aku mencintaimu."

Air mata mengalir di pipi Maya. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia memeluk Adam erat-erat, menyalurkan semua perasaan yang selama ini ia pendam.

"Aku juga mencintaimu, Adam," bisiknya.

Maya menyadari bahwa algoritma SoulMate 3.0 mungkin telah membantunya menemukan Adam, tapi algoritma itu tidak bisa menciptakan cinta. Cinta adalah sesuatu yang tumbuh secara alami, dari hati ke hati.

Maya tersenyum. Ia akhirnya mengerti. Hati terprogramnya telah menemukan cinta, bukan karena kode dan data, tapi karena keberaniannya untuk membuka diri pada kemungkinan yang tak terduga. Ia telah belajar bahwa cinta sejati tidak bisa diprediksi, tidak bisa diukur, dan tidak bisa diprogram. Ia hanya bisa dirasakan. Dan saat ini, ia merasakannya dengan sepenuh hati. Debu neon lavender di sekeliling mereka tampak bersinar lebih terang, seolah merayakan kebahagiaan yang baru ditemukan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI