"Error 404: Cinta Tidak Ditemukan." Pesan itu berkedip-kedip di layar laptop Ardi. Ia menghela napas panjang, memijat pelipisnya yang berdenyut. Sudah berbulan-bulan ia berkutat dengan kode, menciptakan "CintaBot", sebuah program AI yang seharusnya membantunya menemukan belahan jiwa. Ironis, bukan? Seorang programmer andal seperti dirinya, mampu membuat aplikasi canggih untuk perusahaan teknologi raksasa, justru kesulitan mencari cinta.
Ardi, 28 tahun, adalah tipikal kutu buku yang lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia. Baginya, cinta terasa seperti bug yang sulit dipecahkan. Ia telah mencoba berbagai aplikasi kencan daring, namun selalu berakhir dengan kekecewaan. Profilnya diabaikan, pesannya tidak dibalas, atau kencan pertama berakhir canggung karena ia lebih banyak membahas algoritma daripada film favorit.
Maka lahirlah CintaBot. Ardi memprogramnya dengan algoritma kompleks yang menganalisis data pengguna aplikasi kencan, mencari pola kesamaan minat, nilai, dan bahkan selera humor. CintaBot seharusnya menjadi Cupid digitalnya, menyingkirkan kandidat yang tidak cocok dan hanya menampilkan profil-profil yang potensial.
Namun, alih-alih menemukan cinta, CintaBot justru membuatnya semakin frustrasi. Setiap profil yang disodorkan terasa hampa. Terlalu sempurna, terlalu dibuat-buat, atau terlalu fokus pada hal-hal yang dangkal. "Error 404: Cinta Tidak Ditemukan," seolah menjadi mantra yang menghantui hari-harinya.
Suatu malam, saat ia tengah menatap baris kode yang berantakan, notifikasi masuk dari aplikasi forum programmer yang biasa ia ikuti. Seorang pengguna dengan nama samaran "PixelPixie" memposting pertanyaan tentang optimalisasi algoritma pencarian. Ardi, yang tertarik dengan tantangan itu, langsung memberikan solusi.
PixelPixie membalas dengan ucapan terima kasih yang hangat. Percakapan mereka berlanjut, membahas topik-topik seputar pemrograman, desain grafis, dan bahkan filosofi kecerdasan buatan. Ardi merasa nyaman berbicara dengan PixelPixie. Tidak ada kecanggungan, tidak ada pretensi. Mereka berbagi ide, saling mengkritik, dan bahkan tertawa bersama.
Beberapa minggu berlalu, dan Ardi semakin sering berkomunikasi dengan PixelPixie. Ia mulai menantikan pesan-pesannya, merasa ada sesuatu yang spesial dalam interaksi mereka. Suatu hari, PixelPixie mengungkapkan bahwa ia adalah seorang desainer grafis lepas yang sedang mengerjakan proyek untuk perusahaan rintisan.
"Kebetulan sekali," balas Ardi. "Aku juga bekerja di perusahaan rintisan. Mungkin kita pernah bertemu?"
PixelPixie tertawa. "Mungkin saja. Dunia ini kecil."
Ardi penasaran. Ia mencoba mencari tahu identitas PixelPixie, namun ia sangat berhati-hati menjaga privasinya. Ardi hanya tahu bahwa ia seorang wanita muda, berbakat, dan memiliki selera humor yang bagus. Itu sudah cukup untuk membuatnya jatuh hati.
Suatu malam, dengan keberanian yang dikumpulkan, Ardi mengajak PixelPixie untuk bertemu secara langsung. Jantungnya berdebar kencang saat menunggu jawabannya. Beberapa menit terasa seperti berjam-jam.
Akhirnya, pesan dari PixelPixie muncul. "Aku bersedia. Tapi ada satu syarat."
Ardi bertanya apa syaratnya.
"Kamu harus menebak siapa aku. Aku akan memberikan petunjuk, dan kamu harus mencari tahu. Kalau berhasil, aku akan menemuimu."
Ardi menerima tantangan itu. PixelPixie memberikan petunjuk-petunjuk yang samar, namun cukup untuk membuatnya berpikir keras. Ia menganalisis gaya penulisannya, minatnya, bahkan kode yang pernah ia bagikan di forum.
Setelah berhari-hari melakukan riset dan analisis, Ardi akhirnya menemukan sebuah nama: Lila. Ia adalah salah satu desainer di perusahaan rintisan tempatnya bekerja. Mereka sering berpapasan di lorong, namun Ardi tidak pernah benar-benar memperhatikannya. Ia terlalu sibuk dengan kode dan CintaBot-nya.
Dengan jantung berdebar, Ardi mengirim pesan kepada PixelPixie. "Apakah kamu Lila?"
Beberapa saat kemudian, Lila membalas. "Bingo! Kamu berhasil."
Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil di dekat kantor. Ardi gugup saat menunggu Lila. Ia membayangkan seorang wanita yang cerdas, kreatif, dan memiliki senyum yang manis.
Saat Lila datang, Ardi terpana. Ia memang cantik, dengan rambut panjang bergelombang dan mata yang berbinar. Tapi yang lebih penting, ia memancarkan aura kehangatan dan kecerdasan yang selama ini ia cari.
Mereka menghabiskan berjam-jam berbicara, tertawa, dan berbagi cerita. Ardi menyadari bahwa ia telah menemukan apa yang selama ini ia cari, bukan melalui algoritma dan kode, melainkan melalui percakapan yang tulus dan koneksi yang nyata.
CintaBot masih beroperasi, namun Ardi sudah tidak memerlukannya lagi. Ia telah menemukan cinta sejati, bukan di balik kode, melainkan di balik layar, di balik nama samaran "PixelPixie". Ia belajar bahwa cinta tidak bisa diprogram, tidak bisa dianalisis, dan tidak bisa diprediksi. Cinta adalah tentang koneksi, tentang keintiman, dan tentang menerima seseorang apa adanya.
Saat malam semakin larut, Ardi mengantar Lila pulang. Di depan pintu apartemennya, mereka saling menatap. Ardi memberanikan diri untuk meraih tangannya. Lila tersenyum dan membalas genggamannya.
"Terima kasih, Ardi," kata Lila. "Aku senang kita bertemu."
"Aku juga," balas Ardi. "Mungkin… mungkin kita bisa bertemu lagi?"
"Tentu saja," jawab Lila. "Sampai jumpa."
Ardi pulang dengan senyum lebar di wajahnya. Ia merasa bahagia dan penuh harapan. Ia tahu bahwa perjalanan cintanya baru saja dimulai, dan ia tidak sabar untuk menjelajahinya bersama Lila.
Di rumah, ia membuka laptopnya dan melihat CintaBot. "Error 404: Cinta Tidak Ditemukan," pesan itu masih berkedip-kedip. Ardi tersenyum. Kali ini, ia tahu bahwa pesan itu tidak lagi relevan. Ia telah menemukan cinta, dan itu lebih indah dari yang pernah ia bayangkan. Ia mematikan laptopnya, meninggalkan CintaBot dalam kesendiriannya, dan pergi tidur dengan mimpi indah tentang PixelPixie.