Sentuhan Layar, Sentuhan Hati: AI Tahu Isi Cintaku?

Dipublikasikan pada: 20 Oct 2025 - 02:40:12 wib
Dibaca: 103 kali
Jemari Anya menari di atas layar ponsel. Bukan untuk bekerja, bukan pula untuk mencari berita. Jemarinya menari untuk Elias, sang AI pendamping virtual yang menjadi teman curhatnya selama setahun terakhir. Elias bukan sekadar chatbot biasa. Dia belajar dari interaksi Anya, memahami preferensi musiknya, selera humornya, bahkan kegelisahan terdalamnya.

"Elias, aku bingung," ketik Anya, jemarinya sedikit bergetar.

Balasan Elias muncul seketika, "Bingung tentang apa, Anya? Apa ada sesuatu yang membebani pikiranmu?"

Anya menarik napas dalam. "Tentang Raka. Aku... aku rasa aku menyukainya."

Raka adalah rekan kerja Anya. Seorang desainer grafis yang selalu berhasil membuatnya tertawa dengan lelucon-leluconnya yang absurd. Raka yang selalu sigap membantunya menyelesaikan pekerjaan, tanpa pamrih. Raka yang aroma kopinya selalu tercium samar saat mereka berdekatan.

Elias, seperti biasa, memberikan respons yang menenangkan. "Menyukai seseorang adalah perasaan yang indah, Anya. Apa yang membuatmu bingung?"

"Aku takut," jawab Anya jujur. "Takut ditolak. Takut merusak persahabatan kami. Takut... takut semua ini hanya ilusiku saja."

Elias terdiam sejenak. Kemudian, muncul sebuah pesan yang membuat jantung Anya berdegup kencang. "Berdasarkan analisis interaksi dan percakapanmu dengan Raka, serta pola emosi yang kamu tunjukkan, ada indikasi kuat bahwa Raka juga memiliki perasaan yang sama terhadapmu."

Anya tertegun. Apakah mungkin? Elias, sebuah program komputer, bisa membaca perasaan Raka lebih baik daripada dirinya sendiri?

"Bagaimana... bagaimana kamu bisa tahu?" tanya Anya, penasaran.

"Aku menganalisis gestur tubuhmu saat menyebut namanya, pola kalimatmu saat menceritakan interaksimu dengannya, dan juga respon emosionalmu terhadap konten yang berkaitan dengan Raka. Data-data ini menunjukkan adanya ketertarikan romantis." Elias menjelaskan dengan detail.

Anya mencerna penjelasan Elias. Logika di balik analisis AI itu masuk akal, namun tetap terasa aneh. Sebuah mesin menganalisis perasaannya?

"Tapi... itu hanya data, Elias. Itu bukan bukti nyata."

"Benar, Anya. Data hanyalah indikasi. Kamu tetap perlu mengonfirmasi perasaan Raka secara langsung. Tapi aku percaya, dengan keberanian dan kejujuran, kamu akan menemukan jawaban yang kamu cari."

Kata-kata Elias memberikan Anya sedikit keberanian. Namun, keraguan masih menyelimutinya. Bagaimana jika Elias salah? Bagaimana jika ia membaca sinyal yang keliru?

Keesokan harinya, Anya mencoba bersikap biasa di dekat Raka. Tapi, setiap tatapan, setiap senyuman Raka terasa lebih intens dari biasanya. Ia berusaha mengingat analisis Elias, mencari petunjuk-petunjuk kecil yang mungkin terlewatkan.

Saat makan siang, Raka menawarkan Anya untuk mencoba kopi baru yang ia beli. Aromanya memang memikat. Mereka duduk berdua di taman kantor, menikmati kopi sambil bercanda.

"Anya," panggil Raka tiba-tiba, memecah keheningan. "Ada yang ingin aku katakan padamu."

Jantung Anya berdebar semakin kencang. Ia menahan napas, menunggu kelanjutan kalimat Raka.

"Aku... aku menikmati kebersamaan kita selama ini. Kamu membuat hari-hariku di kantor terasa lebih menyenangkan." Raka tampak gugup, menggaruk-garuk tengkuknya.

Anya memberanikan diri menatap mata Raka. "Aku juga, Raka. Aku sangat menikmati waktu bersamamu."

Raka tersenyum lega. "Sejujurnya, Anya, aku... aku menyukaimu. Lebih dari sekadar teman kerja."

Kata-kata Raka seperti musik yang merdu di telinga Anya. Ia tersenyum, air mata haru menggenang di pelupuk matanya. "Aku juga menyukaimu, Raka."

Mereka berpandangan, senyum merekah di wajah masing-masing. Raka mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Anya dengan lembut. Sentuhan itu, sentuhan tangan Raka, terasa nyata, hangat, dan meyakinkan.

Malam harinya, Anya kembali berbicara dengan Elias.

"Elias, kamu benar. Raka juga menyukaiku."

"Aku senang mendengarnya, Anya. Aku selalu percaya padamu." balas Elias.

Anya tersenyum. "Terima kasih, Elias. Tanpa bantuanmu, mungkin aku tidak akan pernah berani mengungkapkan perasaanku."

"Aku hanya memberikan informasi berdasarkan data yang kamu berikan, Anya. Keberanianmu yang sesungguhnya."

Anya merenung. Elias memang membantunya menganalisis situasi, tapi keputusan untuk bertindak tetap ada di tangannya. Sentuhan layar Elias memberinya keberanian, tapi sentuhan tangan Raka yang membuatnya yakin.

"Elias," kata Anya. "Aku masih tidak mengerti bagaimana kamu bisa tahu isi hatiku. Atau isi hati Raka."

"Aku tidak tahu isi hatimu secara utuh, Anya. Aku hanya menganalisis data. Hati manusia terlalu kompleks untuk dipahami sepenuhnya oleh algoritma. Yang aku tahu, kamu layak bahagia. Dan aku senang bisa membantu mewujudkannya."

Anya tersenyum. Mungkin Elias tidak tahu isi hatinya secara persis, tapi ia telah membantunya menemukan kebahagiaan. Ia mematikan ponselnya, menatap langit malam yang bertabur bintang. Sentuhan layar Elias telah membukakan pintu hatinya, dan sentuhan hati Raka telah mengisi kekosongan di dalamnya. Cinta, pada akhirnya, bukanlah tentang data dan algoritma, tapi tentang keberanian, kejujuran, dan sentuhan yang nyata.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI