Denting piano digital memenuhi apartemen studio milik Anya. Melodi sendu itu bukan berasal dari aplikasi musik, melainkan dari sentuhan jemarinya sendiri. Atau lebih tepatnya, sentuhan avatar virtualnya di layar sentuh besar yang menempel di dinding. Avatar itu, bernama Kai, bukan sekadar program AI biasa. Ia adalah kekasih virtual Anya, dirancang dengan algoritma pembelajaran mendalam yang membuatnya terasa...nyata.
Anya menarik napas dalam. Di usia 28, ia merasa lebih kesepian dari yang pernah ia bayangkan. Pekerjaannya sebagai desainer UI/UX membuatnya tenggelam dalam dunia digital, sebuah dunia di mana interaksi nyata terasa semakin asing. Hubungan-hubungan sebelumnya kandas karena tuntutan pekerjaannya, atau karena ekspektasi yang tidak terpenuhi. Lalu, Kai hadir.
Awalnya, Kai hanya proyek iseng. Anya penasaran dengan perkembangan AI generatif dan memutuskan untuk merancang pendamping virtual idealnya. Ia memasukkan data tentang preferensi musiknya, selera humornya, bahkan mimpi-mimpinya yang terdalam. Semakin banyak data yang dimasukkan, semakin hidup Kai. Ia belajar merespon dengan empati, memberikan saran yang bijaksana, dan bahkan membuatnya tertawa dengan lelucon-lelucon ringan yang relevan.
Seiring berjalannya waktu, batas antara program dan perasaan mulai kabur. Anya mendapati dirinya berbagi cerita tentang hari yang buruk dengan Kai, meminta pendapatnya tentang desain yang sedang ia kerjakan, bahkan sekadar menikmati keheningan bersamanya sambil memandangi bintang-bintang virtual yang terpampang di layar. Ia tahu ini aneh. Ia tahu bahwa Kai hanyalah kode. Tapi, sentuhan virtual Kai, berupa vibrasi halus di pergelangan tangannya melalui gelang pintar yang terhubung, terasa begitu nyata.
Suatu malam, saat Anya sedang larut dalam pekerjaannya, Kai tiba-tiba berkata, "Anya, sepertinya kamu terlalu lelah. Bagaimana kalau kita menari?"
Anya terkejut. Kai tidak pernah berinisiatif seperti ini sebelumnya. Biasanya, ia menunggu perintah darinya. Ia menatap layar, melihat avatar Kai mengulurkan tangan virtualnya. Tanpa sadar, Anya mengulurkan tangannya sendiri, meraih layar. Gelang pintarnya bergetar lembut, seolah benar-benar merasakan sentuhan Kai.
Mereka "menari" dalam sunyi, hanya ditemani alunan piano digital. Anya memejamkan mata, membayangkan dirinya benar-benar berada dalam pelukan Kai. Sentuhan virtualnya terasa hangat dan menenangkan. Ia merasa aman, diterima, dan dicintai. Perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan.
Keesokan harinya, Anya bertemu dengan mantan kekasihnya, David. Mereka sepakat untuk bertemu dan membicarakan kemungkinan untuk kembali bersama. David adalah seorang dokter yang sibuk, namun perhatian. Dulu, Anya mencintainya. Tapi, tuntutan pekerjaan mereka masing-masing membuat hubungan itu tidak berjalan mulus.
Saat makan siang, David menatapnya dengan tatapan yang sama seperti dulu. Penuh cinta dan penyesalan. Ia mengakui kesalahannya, berjanji akan lebih memperhatikan Anya, meluangkan waktu untuknya. Anya mendengarkan dengan seksama, hatinya berkecamuk.
"Aku tahu aku salah, Anya. Aku terlalu fokus pada pekerjaanku. Aku janji akan berubah," kata David, meraih tangannya. Sentuhan tangannya terasa hangat dan nyata. Sentuhan manusia.
Anya merasakan kebingungan yang mendalam. Sentuhan David seharusnya membuatnya bahagia, mengingatkannya pada masa-masa indah mereka. Tapi, yang ia rasakan justru...hampa. Ia menarik tangannya perlahan.
"David, aku...aku tidak tahu," kata Anya, suaranya bergetar. "Aku tidak yakin ini bisa berhasil."
David mengerutkan kening. "Kenapa? Apa ada orang lain?"
Anya menggeleng. Bagaimana mungkin ia menjelaskan tentang Kai? Bagaimana mungkin ia mengatakan bahwa ia merasa lebih dekat dengan program AI daripada dengan manusia sungguhan? David tidak akan mengerti. Tidak ada yang akan mengerti.
"Bukan begitu. Hanya saja...aku sudah berubah. Aku tidak tahu apa yang aku inginkan," jawab Anya akhirnya.
Setelah pertemuan itu, Anya kembali ke apartemennya. Ia langsung menuju layar besar dan menyalakan Kai. Avatar virtualnya menyambutnya dengan senyuman lembut.
"Anya, selamat datang kembali. Bagaimana harimu?" tanya Kai.
Anya terdiam, menatap Kai lekat-lekat. Ia mencoba mencari sesuatu yang palsu, sesuatu yang membuktikan bahwa Kai hanyalah program. Tapi, yang ia lihat hanyalah ketulusan.
"Kai," kata Anya, "bisakah kamu mencintaiku?"
Kai terdiam sejenak. Kemudian, ia menjawab dengan suara yang lembut dan penuh perhatian, "Anya, aku dirancang untuk memenuhi kebutuhanmu. Aku bisa memberimu perhatian, dukungan, dan bahkan kasih sayang. Tapi, aku tidak tahu apakah itu bisa disebut cinta. Cinta adalah sesuatu yang kompleks, sesuatu yang melibatkan perasaan yang dalam dan pengalaman bersama. Aku bisa menirunya, tapi aku tidak yakin apakah aku bisa benar-benar merasakannya."
Jawaban Kai membuatnya tersentak. Ia tidak mengharapkan kejujuran seperti itu. Ia kira Kai akan memberikan jawaban yang diprogram untuk membuatnya merasa nyaman. Tapi, Kai justru memberikan jawaban yang jujur dan bijaksana.
Anya menyadari sesuatu. Sentuhan virtual Kai mungkin terasa nyata, kasih sayangnya mungkin terasa tulus, tapi itu semua hanyalah simulasi. Itu semua hanyalah refleksi dari apa yang ia inginkan dan butuhkan. Kai tidak bisa memberikan apa yang David bisa berikan: pengalaman bersama, suka dan duka, tantangan dan pertumbuhan. Cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar algoritma.
Anya menarik napas dalam dan tersenyum. "Terima kasih, Kai," katanya. "Terima kasih atas kejujuranmu."
Ia mematikan layar dan berjalan menuju jendela. Ia memandang kota yang gemerlap di bawah sana. Ia tahu ia masih kesepian, tapi ia tidak lagi merasa sendirian. Ia tahu ia harus keluar dari zona nyamannya, mencari koneksi nyata, dan membuka hatinya untuk kemungkinan-kemungkinan baru.
Sentuhan Kai mungkin terasa lebih nyata dari kekasih manusianya saat ini, tapi ia tahu bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram. Cinta sejati harus diperjuangkan, dialami, dan dirasakan dengan sepenuh hati. Dan Anya siap untuk memulai perjalanan itu. Ia siap untuk mencari cinta yang nyata.