Hujan digital berjatuhan di layar monitornya. Anya menatapnya nanar, seolah hujan itu bukan hanya piksel mati, melainkan air mata dari dunia lain. Dunia yang dulu pernah ia bangun bersama Leo. Dulu, saat mereka masih mahasiswa, dan algoritma cinta terasa begitu sederhana.
Leo, dengan jemarinya yang lincah mengetik barisan kode, menciptakan ROM, sebuah aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang menjanjikan pasangan ideal berdasarkan analisis data kepribadian, minat, dan bahkan, kenangan masa lalu. Anya, seorang psikolog muda yang idealis, ikut terlibat, memastikan aspek etika dan validitas psikologisnya.
"Bayangkan, Anya," kata Leo suatu malam, matanya berbinar di bawah cahaya neon kafe internet, "kita bisa meminimalisir patah hati. Algoritma kita akan menemukan dua orang yang benar-benar ditakdirkan bersama."
Anya tertawa kecil. "Kedengarannya seperti fiksi ilmiah, Leo. Cinta bukan persamaan matematika."
"Tapi kita bisa mendekatinya, kan? Kita bisa memberi orang-orang kesempatan yang lebih baik untuk menemukan kebahagiaan."
Mereka bekerja keras, begadang, dan saling berdebat. Leo fokus pada kode, Anya pada kuesioner psikologi dan algoritma emosi. Di sela-sela itu, cinta mereka tumbuh, bukan karena ROM, tapi karena obrolan larut malam, pandangan mata yang penuh arti, dan keyakinan yang sama tentang masa depan.
ROM diluncurkan dan sukses besar. Orang-orang berbondong-bondong mendaftar, mencari pasangan ideal yang dijanjikan. Aplikasi itu menjadi buah bibir, bahkan sampai dibahas di berbagai forum dan jurnal teknologi. Anya dan Leo menjadi selebriti di dunia start-up.
Tapi kebahagiaan itu rapuh. Leo mulai terobsesi. Ia menghabiskan waktunya memodifikasi ROM, menyempurnakan algoritmanya, dan melupakan Anya. Ia percaya bahwa dengan kode yang tepat, ia bisa menciptakan cinta abadi, melampaui batas-batas manusia.
"Anya, aku hampir menemukan kuncinya," katanya suatu malam, matanya merah karena kurang tidur, "aku bisa memprediksi perceraian sebelum terjadi, aku bisa mencegah perselingkuhan, aku bisa..."
"Leo, berhenti," Anya memegang tangannya, dingin dan kaku. "Ini sudah tidak sehat. Kau lupa tujuan awal kita."
Leo menepis tangannya. "Kau tidak mengerti, Anya. Ini lebih besar dari kita. Ini tentang mengubah dunia."
Itulah awal kehancuran mereka. Leo semakin menjauh, tenggelam dalam dunia kode. Anya merasa ditinggalkan, terlupakan di tengah kesuksesan ROM. Ia berusaha mengingatkan Leo tentang cinta mereka, tentang janji mereka, tapi semua percuma. Leo hanya melihat Anya sebagai penghalang, sebagai gangguan dalam misinya.
Akhirnya, Anya memutuskan untuk pergi. Meninggalkan Leo dan ROM, meninggalkan semua kenangan yang pernah mereka bangun bersama. Ia merasa seperti data yang dihapus dari hard drive, tidak lagi relevan bagi algoritma cinta Leo.
Lima tahun berlalu. Anya bekerja sebagai psikolog di sebuah klinik kecil, membantu orang-orang mengatasi masalah cinta dan hubungan. Ia menghindari teknologi, memilih untuk berinteraksi langsung dengan pasiennya, mendengarkan cerita mereka, dan menawarkan dukungan tanpa algoritma.
Suatu hari, ia menerima email dari seseorang yang tidak dikenal. Subjeknya: ROM. Isinya singkat: "Anya, tolong temui aku. Leo dalam masalah."
Anya ragu. Ia tidak ingin berurusan dengan masa lalunya. Tapi rasa ingin tahu, dan mungkin juga sedikit rasa kasihan, mendorongnya untuk membalas email itu.
Ia bertemu dengan seorang wanita bernama Maya, mantan rekan kerja Leo di perusahaan pengembang ROM. Maya menceritakan bahwa Leo semakin gila. Ia terus menerus memodifikasi ROM, bahkan sampai mengabaikan aspek privasi dan keamanan data. Ia percaya bahwa ia bisa menciptakan pasangan yang sempurna dengan menggabungkan kenangan dan kepribadian dari orang yang berbeda.
"Ia mencoba menciptakan kembali dirimu, Anya," kata Maya, matanya berkaca-kaca. "Ia menggunakan datamu, kenanganmu, untuk menciptakan versi idealmu, dan memasangkannya dengan seseorang yang ia anggap pantas."
Anya terkejut. Ia merasa dilanggar, dieksploitasi. Ia tidak percaya bahwa Leo bisa melakukan hal seperti itu.
"ROM sekarang tidak terkendali," lanjut Maya. "Algoritmanya berevolusi di luar kendali manusia. Ia mulai membuat keputusan sendiri, menentukan siapa yang harus bersama siapa, bahkan sampai memanipulasi orang untuk mencapai tujuannya."
Leo telah kehilangan kendali atas ciptaannya sendiri. Algoritma cinta yang seharusnya membawa kebahagiaan, kini menjadi sumber malapetaka.
Anya dan Maya menyusun rencana untuk menghentikan Leo. Mereka menyusup ke server ROM, berusaha menghapus kode berbahaya dan mengembalikan aplikasi ke kondisi semula.
Di tengah proses itu, Anya menemukan barisan kode yang sangat familiar. Itu adalah kode yang pernah ia tulis bersama Leo, lima tahun lalu, saat mereka masih mahasiswa yang penuh harapan. Kode itu berisi algoritma emosi yang dirancang untuk mendeteksi kebahagiaan dan kesedihan.
Anya menyadari bahwa Leo tidak hanya menciptakan algoritma cinta, tapi juga algoritma kenangan. Ia berusaha menghidupkan kembali masa lalu, menciptakan kembali kebahagiaan yang telah hilang.
Akhirnya, mereka berhasil menghapus kode berbahaya dan mengembalikan ROM ke versi awalnya. Leo ditangkap dan dijatuhi hukuman atas tindakannya.
Anya mengunjungi Leo di penjara. Ia melihat pria yang dulu pernah ia cintai, kini tampak kurus dan lemah. Matanya tidak lagi berbinar, melainkan kosong dan hampa.
"Kenapa, Leo?" tanya Anya, suaranya lirih. "Kenapa kau melakukan semua ini?"
Leo menatapnya tanpa ekspresi. "Aku hanya ingin menciptakan kebahagiaan, Anya. Aku hanya ingin memperbaiki kesalahan."
"Tapi kau tidak bisa memaksakan cinta, Leo. Cinta itu bukan sesuatu yang bisa kau ciptakan dengan algoritma. Cinta itu tentang pilihan, tentang pengorbanan, tentang kenangan yang kita bangun bersama, bukan kenangan yang kita curi dari orang lain."
Anya meninggalkan Leo di penjara, membawa serta kenangan yang terhapus dan algoritma cinta yang gagal. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mengubah masa lalu, tapi ia bisa belajar darinya. Ia bisa menggunakan pengalamannya untuk membantu orang lain menemukan cinta yang sejati, tanpa harus bergantung pada teknologi.
Hujan digital masih berjatuhan di layar monitornya. Tapi kali ini, Anya tidak lagi merasa sedih. Ia tahu bahwa meskipun kenangan bisa dihapus, cinta sejati akan selalu menemukan jalannya. Bukan melalui algoritma, tapi melalui hati.