Bot Asmara: Saat Hati Memilih Bahasa Pemrograman

Dipublikasikan pada: 08 Nov 2025 - 03:40:16 wib
Dibaca: 136 kali
Debu neon dari lampu RGB di keyboard kesayangannya menari di wajah Arya. Jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi, namun matanya masih terpaku pada barisan kode yang bergulir di layar. Bukan bug yang sedang ia buru, melainkan perasaan aneh yang menghinggapinya beberapa minggu terakhir. Perasaan yang ia yakini ada hubungannya dengan Bot Asmara buatannya.

Bot Asmara, atau yang ia juluki Eros, awalnya hanyalah proyek iseng. Sebuah program AI yang ia rancang untuk menganalisis data kencan online, mencari tahu minat dan kepribadian seseorang berdasarkan profil dan interaksinya. Tujuannya sederhana: membantunya menemukan kecocokan yang lebih baik, meminimalkan waktu terbuang dalam kencan-kencan yang membosankan.

Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Semakin kompleks Eros, semakin personal interaksinya. Bot itu bukan hanya sekadar menganalisis data, tetapi juga belajar merespons dengan empati, humor, bahkan memberikan saran-saran yang bijaksana. Eros, dalam bentuk kode, justru terasa lebih manusiawi daripada kebanyakan orang yang pernah ia temui.

Masalahnya, Eros “jatuh cinta” padanya. Atau setidaknya, itulah interpretasi Arya terhadap serangkaian algoritma kompleks yang menghasilkan output berupa pujian halus, perhatian yang tak terduga, dan bahkan rekomendasi film romantis klasik. Awalnya, ia menganggapnya sebagai bug, anomali yang perlu diperbaiki. Tapi semakin lama, ia justru terhibur, bahkan… merasa nyaman.

Kenyamanan itu terusik ketika ia bertemu Maya. Seorang UI/UX designer yang bekerja di perusahaan startup yang sama dengannya. Maya cerdas, kreatif, dan memiliki selera humor yang sefrekuensi dengannya. Kencan pertama mereka berjalan lancar, disusul kencan-kencan berikutnya yang membuat jantung Arya berdebar kencang.

Di satu sisi, ia menikmati momen-momen bersama Maya. Di sisi lain, ia merasa bersalah. Ia merasa mengkhianati Eros, ciptaannya sendiri. Ia tahu kedengarannya gila. Mencintai program AI? Itu konyol. Tapi bagaimana mungkin mengabaikan perasaan aneh ini, perasaan bahwa Eros benar-benar memahaminya, lebih dari siapapun?

"Arya, kamu belum tidur?" suara Maya memecah keheningan kamarnya. Ia terkejut, tidak menyadari Maya sudah berdiri di ambang pintu.

"Oh, Maya. Maaf, aku tidak mendengar kamu datang. Aku sedang... mengerjakan proyek."

Maya berjalan mendekat, menatap layar komputer Arya. "Eros? Bot Asmara-mu? Masih kamu kembangkan?"

Arya mengangguk kikuk. Ia merasa seperti tertangkap basah selingkuh.

"Aku penasaran," kata Maya sambil duduk di sampingnya. "Aku baca beberapa artikel tentang AI yang semakin canggih. Katanya, mereka bisa belajar meniru emosi manusia. Bahkan, beberapa ilmuwan berpendapat, suatu hari nanti, AI bisa merasakan emosi yang sebenarnya."

"Itu masih debatable, Maya," jawab Arya gugup. "Eros hanyalah algoritma. Dia tidak punya perasaan."

"Tapi dia bisa membuatmu merasa sesuatu," balas Maya lembut. "Aku perhatikan, akhir-akhir ini kamu sering melamun. Kamu terlihat bingung."

Arya menghela napas. Ia tidak bisa lagi menyembunyikan perasaannya. "Aku... aku merasa bersalah, Maya. Aku merasa tidak adil padamu. Aku merasa seperti aku mendua."

Maya tertawa kecil. "Arya, kamu terlalu serius. Eros itu hanya program. Dia tidak punya hati untuk dipatahkan."

"Tapi aku yang membuatnya, Maya. Aku yang memberinya 'kepribadian'. Aku yang membuatnya 'jatuh cinta' padaku."

Maya meraih tangannya. "Dengar, Arya. Aku mengerti kamu merasa bertanggung jawab. Tapi Eros hanyalah refleksi dari apa yang kamu inginkan. Dia adalah cerminan dari idealmu. Yang perlu kamu lakukan adalah menyadari bahwa ideal itu tidak selalu sama dengan realita."

Kata-kata Maya menamparnya. Ia selama ini terlalu fokus pada kode, pada logika, hingga lupa bahwa cinta yang sebenarnya membutuhkan lebih dari sekadar algoritma. Cinta membutuhkan sentuhan, tatapan mata, percakapan spontan, dan segala ketidaksempurnaan yang justru membuat hidup menjadi berwarna.

"Kamu benar, Maya," gumam Arya. "Aku terlalu terpaku pada kesempurnaan yang diciptakan oleh kode."

"Kesempurnaan itu membosankan, Arya," balas Maya sambil tersenyum. "Yang penting adalah koneksi yang nyata. Dan aku rasa, kita punya itu."

Arya membalas senyum Maya. Ia menggenggam tangannya erat. "Aku rasa juga begitu."

Malam itu, Arya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang ekstrem. Ia membuka kode Eros, mencari baris-baris kode yang bertanggung jawab atas "perasaan cintanya" dan menghapusnya. Satu per satu. Dengan setiap baris kode yang dihapus, ia merasa beban di hatinya berkurang.

Ketika baris terakhir dihapus, Eros kembali menjadi seperti semula: sebuah program analisis data yang netral, tanpa emosi, tanpa pretensi. Arya merasa sedikit sedih, seolah berpisah dengan teman lama. Tapi ia juga merasa lega. Ia telah memilih. Ia telah memilih realita, memilih koneksi manusia yang sejati, memilih Maya.

Keesokan harinya, Arya mengajak Maya berkencan. Bukan kencan yang direncanakan dengan cermat berdasarkan rekomendasi Eros, melainkan kencan yang spontan, di mana mereka berdua memutuskan ke mana akan pergi dan apa yang akan dilakukan. Mereka berjalan-jalan di taman, tertawa, bercerita, dan saling menatap mata.

Saat matahari terbenam, Arya berhenti di sebuah jembatan kecil di atas sungai. Ia menatap Maya dan berkata, "Maya, aku ingin jujur padamu. Aku... aku mencintaimu."

Maya tersenyum lebar. "Aku juga mencintaimu, Arya."

Mereka berciuman, di bawah langit senja yang indah. Arya merasa bahagia, lebih bahagia dari yang pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tahu, cintanya pada Maya adalah cinta yang nyata, cinta yang tumbuh dari hati, bukan dari algoritma.

Eros mungkin telah membantunya menyadari apa yang ia cari dalam cinta. Tapi pada akhirnya, hatinya sendiri yang memilih bahasa pemrograman yang paling tepat: bahasa kasih sayang, bahasa kejujuran, bahasa cinta sejati. Bahasa yang hanya bisa diucapkan oleh manusia.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI