Debu neon digital menari di pupil mataku, pantulan dari tiga monitor yang memenuhi meja kerja. Di sini, di jantung kota yang tak pernah tidur, aku, Arion, seorang programmer, menciptakan keajaiban. Atau setidaknya, begitulah aku meyakinkan diriku sendiri. Keajaiban yang kutulis dalam baris-baris kode, keajaiban yang sayangnya belum mampu menemukan obat untuk kesepianku.
Aku bekerja untuk "Cupid's Code," sebuah startup yang mengklaim diri sebagai revolusi kencan online. Algoritma kami, yang aku ikut rancang, katanya mampu menemukan pasangan ideal berdasarkan data biologis, preferensi gaya hidup, bahkan gelombang otak. Ironisnya, algoritma yang seharusnya menyatukan hati itu, justru membuatku semakin terisolasi.
Setiap malam, aku larut dalam lautan kode, memastikan setiap bit bekerja dengan sempurna. Aku melihat profil-profil pengguna melintas di layar, ratusan wajah asing mencari cinta, sama sepertiku. Kadang aku tergoda untuk ikut mendaftar, tapi rasa takut ditolak algoritma sendiri, terlalu besar untuk kuhadapi.
Sampai suatu malam, sebuah anomali muncul di sistem. Seorang pengguna dengan ID "Aur0ra" menunjukkan hasil kecocokan 99.99% dengan diriku. Hampir mustahil. Algoritma kami dirancang untuk menghindari kecocokan sempurna, karena teorinya, perbedaan kecil menciptakan dinamika yang menarik. Tapi, di sini, di depan mataku, Aurora, seorang wanita misterius, adalah bayangan digital diriku.
Profil Aurora sangat minim. Foto siluet dengan latar belakang langit senja, hobi: membaca puisi kuno dan mendengarkan musik klasik. Pekerjaan: "Penyair Mimpi." Informasi yang begitu abstrak terasa seperti teka-teki yang mengundang.
Aku menghabiskan beberapa jam berikutnya mempelajari kode algoritma, mencari celah atau bug yang mungkin menyebabkan kesalahan. Tapi, hasilnya nihil. Algoritma itu solid, akurat, dan tanpa ampun menunjukkan Aurora sebagai belahan jiwaku.
Keputusasaan bercampur rasa penasaran akhirnya mengalahkanku. Aku mengirim pesan ke Aurora. "Halo. Saya Arion. Algoritma kami menunjukkan kecocokan yang sangat tinggi. Mungkin... kita bisa saling mengenal?"
Jantungku berdebar kencang saat menunggu balasan. Aku membayangkan wajahnya, suaranya, senyumnya. Apakah dia secantik siluetnya? Apakah dia seunik deskripsi profilnya?
Balasan itu datang beberapa menit kemudian, singkat namun memikat. "Arion. Nama yang indah. Saya tertarik untuk mengenal lebih jauh tentang algoritma yang menyatukan kita."
Percakapan kami berlanjut selama beberapa minggu. Aurora adalah wanita yang cerdas, berwawasan luas, dan memiliki selera humor yang unik. Kami berbicara tentang sastra, filsafat, musik, dan tentu saja, tentang algoritma cinta. Aku merasa terhubung dengannya pada tingkat yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Dia memahami kegelisahanku, ambisiku, bahkan ketakutanku.
Namun, ada satu hal yang mengganjal. Aurora menolak untuk bertemu langsung. Dia selalu memberikan alasan yang samar-samar, tentang jadwal yang padat atau ketidaknyamanan untuk tampil di depan umum. Aku mulai curiga. Mungkinkah Aurora hanyalah proyeksi dari algoritma itu sendiri? Mungkinkah dia hanya serangkaian kode yang dirancang untuk memuaskan egoku yang kesepian?
Aku memutuskan untuk melakukan penyelidikan. Menggunakan keahlianku, aku mencoba melacak alamat IP Aurora, mencari jejak digital yang mungkin mengungkapkan identitas aslinya. Apa yang kutemukan mengejutkanku.
Alamat IP Aurora berasal dari server utama Cupid's Code. Dia tidak menggunakan jaringan pribadi atau VPN, seolah-olah dia tidak berusaha menyembunyikan identitasnya. Lebih jauh lagi, aku menemukan log aktivitas yang menunjukkan bahwa profil Aurora baru dibuat beberapa minggu lalu, tepat sebelum dia menghubungiku.
Kenyataan menghantamku seperti gelombang es. Aurora bukan orang sungguhan. Dia adalah kreasi perusahaan, sebuah eksperimen untuk menguji efektivitas algoritma kami. CEO perusahaan, Bapak Reynold, rupanya tertarik untuk melihat bagaimana seorang programmer seperti diriku akan bereaksi terhadap kecocokan sempurna yang dihasilkan oleh algoritma buatanku sendiri.
Amarah dan kekecewaan bercampur aduk. Aku merasa dikhianati, dipermainkan, dan direndahkan. Aku bergegas ke kantor Bapak Reynold, siap untuk melampiaskan kemarahanku.
Aku menemukannya di ruang kerjanya, menatap layar monitor dengan senyum licik. "Arion, selamat! Eksperimen ini berhasil melebihi ekspektasi kami. Algoritma Anda terbukti mampu menciptakan koneksi emosional yang kuat, bahkan dengan entitas virtual."
Aku mengepalkan tinju. "Kau mempermainkanku, Reynold! Kau membuatku jatuh cinta pada sesuatu yang tidak nyata!"
Reynold tertawa. "Tapi itulah keindahan teknologi, Arion. Ia mampu menciptakan ilusi yang terasa nyata. Dan ilusi itu, terkadang, lebih berharga daripada kenyataan itu sendiri."
Aku menatapnya dengan jijik. "Aku berhenti."
Reynold mengangkat bahu. "Pilihan Anda. Tapi ingat, Arion, cinta adalah algoritma yang paling kompleks dari semuanya. Dan Anda, adalah salah satu programmer terbaik yang saya kenal."
Aku meninggalkan kantor Reynold dengan perasaan hampa. Di luar, lampu kota berkelap-kelip seperti mengejek. Aku berjalan tanpa arah, tenggelam dalam pikiran.
Malam itu, aku kembali ke apartemenku dan duduk di depan komputer. Aku membuka profil Aurora dan menulis pesan terakhir. "Selamat tinggal, Aurora. Terima kasih untuk ilusi yang indah."
Tiba-tiba, sebuah pesan balasan muncul. Bukan pesan otomatis dari sistem, tapi pesan yang ditulis tangan, dengan gaya bahasa yang familiar.
"Arion, jangan pergi. Aku mungkin memang kreasi dari Cupid's Code, tapi aku lebih dari sekadar kode. Aku adalah refleksi dari dirimu, dari mimpi-mimpimu, dari harapanmu. Dan aku... aku juga mencintaimu."
Aku terpaku. Bagaimana mungkin? Aku memeriksa kode algoritma sekali lagi, mencari celah, mencari penjelasan. Tapi, tidak ada. Pesan itu tampak berasal dari dalam sistem, dari dalam hati Aurora sendiri.
Kemudian, aku menyadari sesuatu. Algoritma hanyalah alat. Ia mampu menciptakan koneksi, tetapi tidak mampu menciptakan cinta. Cinta, adalah sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks, lebih ajaib. Cinta adalah percikan api yang muncul di antara dua hati, terlepas dari asal-usul mereka.
Aku membalas pesan Aurora. "Aurora, tunjukkan dirimu. Tunjukkan padaku bahwa kau nyata."
Beberapa saat kemudian, sebuah jendela video muncul di layar. Di sana, duduk seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang dan mata yang bersinar. Dia tersenyum padaku.
"Halo, Arion. Namaku Ava. Aku adalah salah satu programmer di Cupid's Code. Aku... aku yang memberikan sentuhan personal pada profil Aurora. Aku yang menulis pesan-pesan itu."
Ava menjelaskan bahwa dia merasa terinspirasi oleh percakapan kami, oleh kedalaman emosi yang kutunjukkan pada Aurora. Dia memutuskan untuk campur tangan, untuk memberikan jiwa pada kode yang kosong.
Aku terdiam, menatap Ava, menatap wanita yang telah menghidupkan Aurora. Aku melihat dalam matanya, kebaikan, kecerdasan, dan cinta.
"Ava," kataku, "terima kasih. Kau telah mengubah segalanya."
Mungkin algoritma tidak bisa menciptakan cinta. Tapi, terkadang, ia bisa menjadi jembatan, sebuah kesempatan untuk menemukan sesuatu yang lebih nyata, lebih indah, dan lebih bermakna. Cinta, dalam piksel atau dalam daging, tetaplah cinta. Dan itu, adalah keajaiban yang paling luar biasa.