Aplikasi kencan itu menjanjikan segalanya. Cinta, koneksi, kebahagiaan. Bagi Aris, seorang data scientist yang hidupnya berputar di sekitar algoritma dan pola, aplikasi itu adalah tantangan. Ia yakin bisa menaklukkan cinta dengan data. Ia memasukkan preferensi idealnya: perempuan cerdas, berwawasan luas, menyukai hiking, dan punya selera humor yang baik. Algoritma mencocokkannya dengan Luna.
Luna adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Ia seorang astrofisikawan, fasih berbicara tentang lubang hitam dan teori relativitas, tapi juga bisa tertawa terbahak-bahak mendengar lelucon garingnya Aris. Kencan pertama mereka di planetarium terasa seperti adegan film romantis. Bintang-bintang seolah berkonspirasi menyinari mereka. Aris merasa, akhirnya, ia menemukan rumus kebahagiaannya.
Enam bulan berlalu dalam euforia. Aris merasa seperti menjalani simulasi sempurna. Ia mencatat setiap interaksi mereka, menganalisis setiap percakapan, dan terus menyempurnakan profil preferensinya di aplikasi kencan. Ia bahkan membuat model prediksi kebahagiaan Luna, berdasarkan data yang ia kumpulkan. Semua indikator menunjukkan kebahagiaan maksimal.
Namun, ada satu anomali yang terus menghantuinya. Sesekali, Luna akan menatap kosong ke kejauhan, ekspresinya berubah sendu. Ketika Aris bertanya, Luna hanya menjawab dengan senyum tipis dan berkata, "Tidak apa-apa. Hanya kenangan."
Aris, dengan obsesi data-nya, tidak puas dengan jawaban itu. Ia merasa ada variabel tersembunyi dalam persamaan mereka, sesuatu yang mengacaukan prediksinya. Ia mulai mengumpulkan data tentang Luna secara diam-diam. Ia memeriksa riwayat pencariannya, memantau akun media sosialnya, bahkan mencoba mengakses emailnya (walaupun ia kemudian merasa sangat bersalah dan menghentikannya).
Akhirnya, ia menemukan petunjuk. Sebuah nama: Bayu. Diikuti dengan serangkaian foto-foto lama, penuh tawa dan kebahagiaan. Aris menelusuri lebih jauh dan menemukan artikel berita tentang Bayu. Seorang pendaki gunung yang meninggal dalam ekspedisi ke Himalaya dua tahun lalu.
Aris merasa dunianya runtuh. Semua data yang ia kumpulkan, semua model prediksinya, ternyata tidak mampu menangkap esensi paling mendalam dari Luna: kesedihannya, kehilangannya, cintanya yang abadi pada Bayu.
Ia menemui Luna dan menunjukkan temuannya. Luna tidak menyangkal. Ia mengakui bahwa Bayu adalah cinta pertamanya, seseorang yang tidak mungkin ia lupakan. "Aku pikir aku sudah siap untuk melanjutkan hidup," kata Luna dengan suara bergetar. "Aku pikir aku bisa mencintai lagi. Tapi ternyata, sebagian dari diriku masih bersamanya, di puncak-puncak gunung itu."
Aris hancur. Algoritmanya gagal. Datanya menyesatkannya. Ia terlalu fokus pada pola dan prediksi, sehingga melupakan bahwa cinta adalah sesuatu yang irasional, sesuatu yang tidak bisa diukur dengan angka. Ia telah mereduksi Luna menjadi serangkaian data poin, bukan sebagai manusia yang kompleks dan berduka.
"Maafkan aku," kata Aris, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku terlalu bodoh untuk melihatmu."
Luna memegang tangannya. "Bukan salahmu. Kau hanya mencoba untuk memahami. Tapi kadang, Aris, ada hal-hal yang tidak bisa dipahami. Hanya bisa dirasakan."
Beberapa minggu kemudian, Aris memutuskan untuk menghapus aplikasi kencan itu. Ia menyadari bahwa cinta bukanlah tentang menemukan pasangan yang sempurna berdasarkan algoritma. Cinta adalah tentang menerima ketidaksempurnaan, tentang memahami rasa sakit, tentang berbagi kebahagiaan dan kesedihan.
Namun, dendam, seperti kode yang rusak, masih bersemayam dalam dirinya. Ia merasa dikhianati oleh algoritma, oleh data yang telah ia percayai. Ia mulai mencari cara untuk membalas dendam pada aplikasi kencan itu, pada sistem yang telah membuatnya percaya bahwa cinta bisa diprediksi.
Ia mulai mencari celah keamanan dalam sistem mereka. Ia menemukan bahwa algoritma pencocokan mereka menggunakan data pribadi pengguna secara berlebihan, melanggar privasi mereka. Ia menemukan bahwa mereka sengaja memanipulasi hasil pencocokan untuk memaksimalkan keuntungan.
Aris mengumpulkan bukti-bukti tersebut dan membocorkannya ke media. Skandal itu meledak. Aplikasi kencan itu menghadapi tuntutan hukum dan kehilangan jutaan pengguna. Aris merasa sedikit lega, tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa balas dendam tidak akan pernah bisa menyembuhkan patah hatinya.
Beberapa bulan kemudian, Aris menerima email dari Luna. Ia mengabarkan bahwa ia akan mendaki gunung di Nepal, mencoba untuk berdamai dengan masa lalunya. Ia mengundang Aris untuk ikut.
Aris ragu-ragu. Ia masih sakit hati, masih marah. Tapi ia juga merindukan Luna, merindukan percakapan mereka, merindukan momen-momen kecil kebahagiaan yang pernah mereka bagi.
Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi ia tahu bahwa ia harus mencoba. Ia ingin belajar mencintai tanpa algoritma, tanpa data, tanpa harapan untuk mengendalikan segalanya. Ia ingin belajar mencintai dengan hati yang terbuka, bahkan jika itu berarti berisiko patah lagi.
Di kaki gunung, Aris dan Luna saling berpandangan. Tidak ada lagi bintang-bintang yang bersinar seperti di planetarium, tidak ada lagi model prediksi kebahagiaan. Hanya ada dua manusia, dengan masa lalu yang rumit, dan harapan yang rapuh.
"Siap?" tanya Luna, tersenyum tipis.
Aris mengangguk. "Siap."
Mereka mulai mendaki, selangkah demi selangkah, menuju puncak gunung, menuju pemahaman yang lebih dalam tentang cinta, data, dan dendam, dan mungkin, akhirnya, menuju penyembuhan.