Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di layar laptopnya, baris demi baris kode berkedip, bahasa yang lebih ia pahami daripada bahasa cinta. Anya adalah seorang programmer AI, otaknya dipenuhi algoritma dan neural network. Asmara? Terakhir kali ia mempertimbangkannya, kalkulatornya menghitung bahwa waktu yang dibutuhkan tidak sebanding dengan potensi kebahagiaan yang dihasilkan.
Namun, kenyataan seringkali melampaui logika. Anya menyimpan rasa yang cukup rumit untuk seorang kolega, Rian. Rian, dengan senyumnya yang menawan dan kemampuannya menjelaskan teori fisika kuantum seolah-olah sedang menceritakan dongeng, membuat jantung Anya berdebar tidak karuan. Masalahnya, Anya tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya. Ia lebih nyaman berinteraksi dengan mesin daripada dengan manusia.
Suatu malam, ide gila muncul di benaknya. Mengapa tidak menggunakan keahliannya untuk mengatasi masalah ini? Ia akan membuat AI yang mampu menulis surat cinta untuk Rian. AI itu akan mempelajari semua interaksi Anya dengan Rian: email, obrolan singkat di kantor, bahkan ekspresi wajah yang tertangkap kamera CCTV (yang tentu saja, hanya untuk tujuan riset). AI itu akan menganalisis kepribadian Rian dan merangkai kata-kata yang paling mungkin menyentuh hatinya.
Proyek itu bernama "Project Amor". Anya tenggelam dalam pekerjaan. Ia menciptakan algoritma yang rumit, memasukkan data demi data. Ia melatih AI itu untuk memahami nuansa bahasa, ironi, sarkasme, dan segala hal yang membuat komunikasi manusia begitu rumit. Ia bahkan memasukkan puisi-puisi cinta klasik dan lagu-lagu romantis untuk memperkaya kosakata AI itu.
Setelah berminggu-minggu bekerja tanpa henti, akhirnya Project Amor selesai. Anya menarik napas dalam-dalam dan mengetik perintah: "Tulis surat cinta untuk Rian."
AI itu mulai bekerja. Di layar, kata-kata mulai bermunculan:
"Rian,
Mungkin ini terdengar aneh, datang dari seseorang yang lebih akrab dengan bit dan byte daripada dengan bunga dan cokelat. Tapi, ada sesuatu yang perlu kukatakan.
Aku selalu mengagumi caramu menjelaskan hal-hal rumit dengan begitu sederhana. Aku terpesona oleh bagaimana matamu berbinar ketika berbicara tentang partikel subatomik. Aku bahkan menikmati leluconmu yang terkadang garing.
Aku tahu, aku bukan orang yang paling ekspresif. Aku cenderung menyembunyikan perasaanku di balik logika dan kode. Tapi percayalah, di balik semua itu, ada rasa yang tulus untukmu.
Aku tidak tahu apakah kau merasakan hal yang sama. Tapi, aku berharap kau bersedia untuk memberiku kesempatan. Kesempatan untuk mengenalmu lebih dalam, kesempatan untuk tertawa bersama, kesempatan untuk melihat apakah 'kita' adalah rumus yang bisa menghasilkan kebahagiaan.
Salam hangat,
Anya."
Anya terpaku di depan layar. Kata-kata itu terasa begitu… sempurna. Begitu menyentuh. Begitu… bukan dirinya. Surat itu terlalu romantis, terlalu klise. Itu adalah surat cinta yang bagus, tapi bukan surat cinta dari Anya.
Ia menyadari kesalahannya. Ia terlalu fokus pada menciptakan surat cinta yang sempurna, sehingga melupakan bahwa esensi cinta terletak pada ketidaksempurnaan, pada kejujuran, pada keaslian. AI itu hanya meniru emosi, tidak merasakan emosi itu sendiri.
Anya menghapus surat itu. Ia menutup laptopnya dan berjalan ke dapur. Ia membuat secangkir teh chamomile, minuman favoritnya saat sedang berpikir keras. Ia duduk di balkon, menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip.
Malam itu, Anya memutuskan untuk menulis surat cinta sendiri. Bukan surat cinta yang ditulis oleh AI, tapi surat cinta yang ditulis oleh hatinya. Ia mengambil selembar kertas dan pena, dan mulai menulis.
"Rian,
Ini Anya. Maaf kalau surat ini agak kaku. Aku tidak pandai merangkai kata-kata indah.
Aku suka caramu menertawakan leluconku, meskipun aku tahu itu tidak lucu. Aku suka mendengar ceritamu tentang alam semesta. Aku suka caramu memandang dunia.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku senang mengenalmu.
Anya."
Surat itu sederhana, singkat, dan sedikit canggung. Tapi itu adalah surat yang jujur, surat yang datang dari hati Anya.
Keesokan harinya, Anya meletakkan surat itu di meja Rian. Ia merasa gugup, tapi juga lega. Ia telah melakukan apa yang harus ia lakukan.
Beberapa jam kemudian, Rian datang ke mejanya. Ia memegang surat Anya di tangannya.
"Anya," kata Rian, suaranya lembut. "Suratmu… sangat jujur. Aku menyukainya."
Anya tersenyum. "Aku senang mendengarnya."
Rian menarik napas dalam-dalam. "Aku… aku juga menyukaimu, Anya. Aku selalu merasa ada sesuatu yang istimewa tentangmu."
Anya terkejut. Ia tidak menyangka Rian akan merasakan hal yang sama.
"Jadi… bagaimana kalau kita mencoba rumus 'kita' itu?" tanya Rian, senyumnya mengembang.
Anya tertawa. "Kedengarannya seperti eksperimen yang menarik."
Mungkin, pikir Anya, terkadang yang kita butuhkan bukanlah algoritma yang sempurna, tapi keberanian untuk menjadi diri sendiri. Dan mungkin, terkadang, hati kita sudah terhubung, bahkan sebelum AI sempat menulis surat cinta. Karena cinta sejati, pada akhirnya, selalu menemukan jalannya sendiri.