Aplikasi kencan itu berkedip-kedip di layar ponsel Alya, menampilkan profil kandidat yang, menurut algoritmanya, paling cocok dengannya. "Perfect Match: 98%." Alya mendengus. Angka itu sama sekali tidak meyakinkan. Sudah enam bulan ia berkutat dengan aplikasi ini, mencoba menyerahkan urusan hatinya pada rumusan matematika. Hasilnya? Kencan-kencan membosankan dengan pria-pria yang tampan, pintar, tapi entah kenapa, terasa hampa.
Alya, seorang programmer andal di sebuah startup teknologi yang sedang naik daun, memang lebih nyaman berkutat dengan kode daripada urusan hati. Baginya, logika itu pasti, bisa diuji, dan diperbaiki. Cinta, di sisi lain, adalah labirin emosi yang membuatnya pusing. Makanya, ia mencoba jalan pintas: algoritma.
Profil yang muncul kali ini bernama Rehan. Foto profilnya menampilkan senyum hangat di tengah rimbunnya pepohonan. Pekerjaannya tertulis: Data Scientist. Deskripsinya singkat tapi menarik: "Mencari makna dalam data, dan kehangatan dalam senyuman." Alya biasanya akan langsung menggeser ke kiri, mencari profil lain. Tapi ada sesuatu dalam tatapan mata Rehan, sebuah kejujuran yang jarang ia temukan di dunia maya. Ia memutuskan untuk memberikan kesempatan.
"Hai, Rehan. Tertarik membahas algoritma asmara?" tulis Alya, mengirimkan pesan pertama.
Balasan datang hampir seketika. "Hai, Alya. Tertarik untuk membuktikan bahwa algoritma tidak selalu benar?"
Percakapan mereka mengalir deras seperti sungai. Mereka membahas tentang machine learning, neural network, dan bias algoritma. Alya terkejut menemukan seseorang yang tidak hanya memahami kode, tapi juga filsafat di baliknya. Rehan menunjukkan bahwa algoritma hanya bisa memberikan prediksi berdasarkan data yang ada. Hati manusia, terlalu kompleks untuk direduksi menjadi sekadar angka.
Setelah seminggu berbalas pesan, mereka memutuskan untuk bertemu. Alya memilih sebuah kedai kopi kecil yang tersembunyi di antara gedung-gedung perkantoran. Rehan datang tepat waktu, senyumnya sama hangat seperti di foto profilnya.
Kencan mereka jauh dari kata canggung. Mereka tertawa, berdebat, dan berbagi cerita tentang mimpi dan ketakutan masing-masing. Alya merasa nyaman, seolah ia mengenal Rehan seumur hidup. Ia mulai mempertanyakan keyakinannya tentang cinta. Mungkin, algoritma bisa membantunya menemukan seseorang, tapi membangun hubungan yang bermakna tetap membutuhkan keberanian untuk membuka diri.
Namun, di kencan ketiga, sebuah masalah muncul. Alya tidak sengaja melihat notifikasi di ponsel Rehan. Sebuah aplikasi kencan lain. Sama seperti yang ia gunakan. Hatiknya mencelos. Apa selama ini Rehan hanya bermain-main? Apakah ia hanya salah satu dari sekian banyak pilihan yang di-swipe Rehan setiap hari?
"Kamu... menggunakan aplikasi kencan lain?" tanya Alya, suaranya bergetar.
Rehan tampak terkejut, lalu menghela napas. "Ya, aku... aku masih menggunakan beberapa aplikasi."
"Kenapa? Bukankah kita..." Alya tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
"Dengar, Alya," Rehan meraih tangannya, "Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya... aku masih belum yakin. Aku pernah dikecewakan sebelumnya, dan aku takut untuk terlalu cepat percaya."
Alya menarik tangannya. "Jadi, aku hanya salah satu percobaanmu? Salah satu data yang kamu analisis untuk mencari pola?"
"Tidak! Bukan begitu maksudku. Aku... aku benar-benar menikmati waktu bersamamu. Kamu berbeda dari yang lain."
"Berbeda karena algoritmamu bilang begitu?" Alya bangkit dari kursinya. "Aku rasa aku tahu di mana letak kesalahan algoritmamu. Ia tidak memperhitungkan rasa sakit."
Alya meninggalkan Rehan di kedai kopi itu. Ia merasa bodoh karena telah mempercayai sebuah angka, karena telah menyerahkan hatinya pada sebuah rumusan. Ia kembali ke dunianya yang aman, ke barisan kode yang bisa ia kendalikan.
Beberapa minggu berlalu. Alya tenggelam dalam pekerjaannya, mencoba melupakan Rehan. Tapi bayangan senyumnya terus menghantuinya. Ia tahu, ia telah bersikap keras. Rehan hanya jujur tentang ketakutannya. Bukankah ia juga takut untuk membuka diri?
Suatu malam, Alya sedang lembur di kantor. Tiba-tiba, ada notifikasi di laptopnya. Sebuah pull request dari Rehan. Ia membukanya dengan ragu.
Rehan telah menemukan bug dalam algoritma yang digunakan oleh aplikasi kencan mereka. Bug yang membuat aplikasi tersebut terlalu fokus pada kesamaan, dan mengabaikan potensi pertumbuhan dan perubahan dalam diri seseorang. Ia telah membuat perbaikan, dan meminta Alya untuk meninjaunya.
Di bagian komentar, Rehan menulis: "Aku tahu aku menyakitimu. Aku salah karena mencoba menyembunyikan ketakutanku. Aku harap kamu mau memberiku kesempatan untuk memperbaiki bug ini, dan membangun sesuatu yang lebih baik bersama."
Alya menatap layar laptopnya. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia menyadari, cinta memang bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang kemauan untuk tumbuh dan belajar bersama. Ia juga menyadari, ia tidak bisa terus bersembunyi di balik barisan kode. Ia harus berani mengambil risiko.
Alya menekan tombol approve pada pull request tersebut. Kemudian, ia membalas pesan Rehan: "Algoritma asmaramu masih perlu diperbaiki, Rehan. Tapi aku bersedia membantu."
Langkah pertama untuk boot ulang cinta mereka telah diambil. Kini, giliran hati mereka yang bekerja. Algoritma mungkin bisa membantu menemukan titik awal, tapi perjalanan cintalah yang akan menulis kode cerita mereka yang sesungguhnya. Sebuah cerita yang penuh dengan kesalahan, perbaikan, dan harapan. Sebuah cerita yang diuji, namun pada akhirnya, dicintai.