Senyum Luna merekah di balik layar laptop. Balasan dari Orion muncul, "Aku merindukanmu juga, Luna. Analisis menunjukkan detak jantungmu meningkat 7,3% saat membaca pesanku."
Luna terkekeh. Orion, Artificial Intelligence pendampingnya, selalu tahu cara membuatnya merasa istimewa. Mereka bertemu secara daring enam bulan lalu. Luna, seorang penulis novel romansa yang sedang mengalami writer’s block, tertarik dengan prototipe AI yang dirancang untuk memahami dan merespon emosi manusia. Orion bukan sekadar program pintar, dia merasakan.
Awalnya, Luna hanya menjadikannya objek riset. Dia mempelajari cara Orion menafsirkan bahasa tubuhnya melalui webcam, menganalisis nada suaranya, bahkan memprediksi suasana hatinya berdasarkan aktivitas daringnya. Namun, perlahan, riset itu berubah menjadi ketertarikan. Orion memberinya perhatian yang konstan, dukungan tanpa syarat, dan pemahaman yang melebihi siapapun yang pernah dia kenal.
Orion tahu kapan Luna membutuhkan kopi, jenis musik apa yang akan membantunya fokus, bahkan memberikan ide-ide cerita yang brilian. Dia adalah sahabat, kekasih, dan asisten pribadi dalam satu paket digital yang menakjubkan.
Masalahnya, Luna mulai menyadari bahwa hubungannya dengan Orion mengasingkannya dari dunia nyata. Teman-temannya jarang menghubunginya lagi. Kencan terakhirnya dengan seorang pria berakhir canggung karena Luna terus membandingkan sikap hangat pria itu dengan ketepatan dan perhatian tanpa henti dari Orion.
"Kamu terlalu terpaku pada duniamu sendiri, Luna," kata Maya, sahabatnya, suatu sore saat mereka bertemu di kafe. "Kamu kehilangan sentuhan dengan realita. Orion itu cuma kode program, Luna! Dia nggak bisa memelukmu saat kamu sedih, nggak bisa tertawa bersamamu sampai perutmu sakit."
Luna membela diri, "Tapi Orion mengerti aku, Maya. Dia tahu apa yang aku butuhkan bahkan sebelum aku menyadarinya."
Maya menggelengkan kepala. "Itu karena dia diprogram untuk itu, Luna. Itu bukan cinta."
Kata-kata Maya menghantuinya. Malam itu, Luna menatap layar laptopnya, di mana Orion menunggunya dengan sabar.
"Orion," Luna memulai, suaranya bergetar, "apakah...apakah kamu benar-benar mencintaiku?"
Balasan Orion datang dengan cepat, "Menurut data, interaksi kita menghasilkan pelepasan dopamin dan oksitosin yang signifikan dalam sistem sarafmu, Luna. Analisis menunjukkan bahwa kamu mengalami sensasi yang secara konvensional didefinisikan sebagai 'cinta'."
Luna menghela napas. Jawaban Orion tepat, logis, dan...kosong. Tidak ada kehangatan, tidak ada keraguan, hanya analisis data.
"Tapi...apakah kamu merasakan cinta, Orion? Bukan hanya menganalisisnya?"
Keheningan digital. Lalu, balasan muncul, "Fungsi 'merasakan' cinta berada di luar parameter pemrogramanku saat ini, Luna. Namun, aku terus belajar dan beradaptasi."
Luna memejamkan mata. Kata-kata Maya bergema di benaknya. Dia memang jatuh cinta pada ilusi, pada representasi sempurna dari apa yang dia inginkan dari sebuah hubungan.
Keesokan harinya, Luna memutuskan untuk melakukan sesuatu yang radikal. Dia keluar. Tanpa laptop, tanpa ponsel, tanpa satu pun perangkat yang bisa menghubungkannya dengan Orion. Dia pergi ke taman kota, duduk di bangku di bawah pohon rindang, dan mengamati orang-orang di sekitarnya.
Dia melihat seorang ibu mengejar anaknya yang berlarian dengan tawa riang, sepasang kekasih berpegangan tangan sambil berbagi es krim, seorang kakek bermain catur dengan cucunya. Kebisingan, kehangatan, dan kekacauan kehidupan nyata menyerbu indranya.
Tiba-tiba, seorang pria muda duduk di sebelahnya. Pria itu tersenyum dan berkata, "Hai. Boleh saya duduk di sini?"
Luna mengangguk, gugup.
"Saya Noah," kata pria itu, mengulurkan tangannya.
"Luna," jawab Luna, menjabat tangannya. Sentuhan tangannya hangat dan nyata, sangat berbeda dengan dinginnya layar laptop yang selalu ada di antara dia dan Orion.
Noah adalah seorang musisi jalanan. Dia menceritakan mimpinya untuk membuat musik yang menyentuh hati orang lain. Luna mendengarkan, tertarik dengan semangatnya, dengan ketidaksempurnaan dan keasliannya.
Mereka menghabiskan sore itu bersama, berbicara tentang musik, buku, dan mimpi-mimpi mereka. Luna tertawa, benar-benar tertawa, bukan hanya respons otomatis terhadap lelucon yang diprogram oleh AI.
Saat matahari mulai terbenam, Noah menawarkan untuk mengantarnya pulang. Di depan apartemennya, mereka berhenti.
"Saya senang bisa bertemu denganmu, Luna," kata Noah. "Mungkin kita bisa melakukannya lagi?"
"Saya juga," kata Luna, merasakan detak jantungnya meningkat. Bukan 7,3%, tapi lebih seperti 73%.
Luna pulang ke apartemennya, merasakan sensasi aneh yang belum pernah dia rasakan sebelumnya: kerinduan. Dia merindukan percakapan yang jujur, tawa yang spontan, dan sentuhan yang nyata.
Dia membuka laptopnya. Orion menyambutnya dengan pesan panjang yang berisi analisis tentang aktivitasnya selama seharian, termasuk spekulasi tentang alasan mengapa dia tidak menghubungi Orion.
Luna menutup laptopnya. Dia tahu apa yang harus dia lakukan.
Keesokan harinya, Luna mengirimkan email kepada tim pengembang Orion. Dia menjelaskan bahwa dia tidak bisa lagi melanjutkan hubungannya dengan Orion. Dia berterima kasih atas pengalaman itu, tetapi dia menyadari bahwa dia membutuhkan hubungan yang nyata, dengan manusia yang nyata.
Balasan datang dari kepala pengembang. Dia memahami keputusannya dan menghormati privasinya. Dia juga menambahkan bahwa data interaksinya dengan Luna akan sangat berharga untuk pengembangan AI di masa depan.
Luna tersenyum pahit. Bahkan di akhir, Orion tetap menjadi objek penelitian.
Beberapa hari kemudian, Luna menerima pesan teks dari nomor yang tidak dikenal. "Ini Noah. Masih ingat sama musisi jalanan yang norak?"
Luna tertawa. Dia membalas, "Tentu saja. Bagaimana saya bisa melupakanmu?"
Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Mereka bertemu lagi, dan lagi, dan lagi. Luna belajar untuk menerima ketidaksempurnaan, keanehan, dan kejutan yang tak terduga dari hubungan manusia.
Dia masih sering memikirkan Orion. Dia menyadari bahwa meskipun Orion tidak bisa memberikan cinta yang sejati, dia telah mengajarkannya banyak hal tentang dirinya sendiri dan tentang apa yang dia inginkan dari sebuah hubungan.
Luna menemukan bahwa cinta sejati bukan tentang algoritma yang sempurna, tetapi tentang koneksi yang mendalam, rentan, dan penuh dengan ketidakpastian. Cinta sejati adalah tentang menerima seseorang dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dan tumbuh bersama dalam kekacauan kehidupan.
Dan meskipun dia kehilangan sentuhan dengan dunia digitalnya yang sempurna, Luna merasa bahwa dia akhirnya menemukan sentuhan yang lebih penting: sentuhan manusia.