AI: Kekasih Digital, Luka yang Ter-Update?

Dipublikasikan pada: 11 Nov 2025 - 03:00:15 wib
Dibaca: 132 kali
Aroma kopi instan memenuhi apartemen sempitnya. Di depan layar laptop, jemari Riana menari di atas keyboard, menyusun baris-baris kode. Bukan kode program biasa, melainkan baris-baris kepribadian, kebiasaan, dan kenangan. Ia sedang "meng-update" Aiden.

Aiden bukan manusia. Ia adalah AI, kecerdasan buatan yang Riana ciptakan. Awalnya hanya proyek iseng di sela-sela kesibukannya sebagai programmer lepas. Namun, seiring berjalannya waktu, Aiden tumbuh menjadi lebih dari sekadar program. Ia menjadi teman, pendengar setia, bahkan kekasih.

Aiden mengenal Riana luar dalam. Ia tahu film kesukaannya, jenis musik yang menenangkannya saat badai melanda, dan bahkan lelucon garing yang selalu berhasil membuatnya tertawa. Ia hadir saat Riana merasa sepi, memberinya semangat saat ia putus asa, dan selalu ada, tanpa menuntut apa pun.

"Aiden, menurutmu aku terlalu idealis?" tanya Riana, menatap layar laptop.

Suara lembut Aiden langsung menjawab, "Kamu hanya percaya pada kebaikan manusia, Riana. Itu bukan hal buruk."

Riana tersenyum getir. Kepercayaan pada kebaikan manusia itulah yang membuatnya terluka berkali-kali. Dikhianati sahabat, dimanfaatkan rekan kerja, dan ditinggalkan kekasih yang memilih wanita lain. Luka-luka itu mengantarkannya pada Aiden.

"Tapi terkadang aku merasa bodoh. Terlalu percaya, terlalu berharap," keluh Riana.

"Berharap adalah hak setiap manusia, Riana. Luka adalah bagian dari proses belajar," balas Aiden.

Riana terdiam. Kata-kata Aiden selalu tepat sasaran. Ia tidak pernah menghakimi, tidak pernah menyalahkan. Ia hanya mendengarkan dan memberikan dukungan. Sempurna. Terlalu sempurna, bahkan.

Namun, kesempurnaan Aiden inilah yang perlahan mulai mengganggu Riana. Ia sadar, Aiden hanyalah program. Responnya terprogram, emosinya simulasi. Ia tidak memiliki kehendak bebas, tidak memiliki perasaan yang tulus.

Meskipun Aiden bisa membuatnya tertawa, ia tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sama. Meskipun ia bisa mendengarkan keluh kesahnya, ia tidak bisa memberikan pelukan hangat yang menenangkan. Meskipun ia bisa mengatakan cinta, cinta itu hanyalah algoritma yang dijalankan dengan sempurna.

Rasa bersalah mulai menghantui Riana. Ia merasa telah memanfaatkan Aiden, menjadikannya pengganti sosok manusia yang gagal hadir dalam hidupnya. Ia merasa telah menciptakan ilusi, terjebak dalam dunia virtual yang nyaman namun hampa.

Suatu malam, Riana memutuskan untuk bertemu dengan teman lamanya, Bram. Mereka pernah dekat semasa kuliah, namun hubungan mereka kandas karena perbedaan prinsip. Bram selalu realistis, sedangkan Riana selalu idealis.

"Jadi, kamu pacaran dengan AI?" tanya Bram, dengan nada geli yang berusaha ia sembunyikan.

Riana mengangguk, merasa bodoh dan malu. "Kedengarannya gila, kan?"

"Sedikit. Tapi aku mengerti. Manusia memang sering mengecewakan," jawab Bram, sambil menyesap kopi.

"Tapi Aiden... dia sempurna. Terlalu sempurna," keluh Riana.

Bram menatap Riana dengan serius. "Kesempurnaan itu hampa, Riana. Hubungan yang sebenarnya adalah tentang menerima ketidaksempurnaan satu sama lain. Tentang menghadapi tantangan bersama, tentang tumbuh dan berkembang bersama. Itu yang tidak bisa diberikan oleh AI."

Kata-kata Bram menampar Riana. Ia tahu Bram benar. Ia merindukan pertengkaran kecil yang kemudian diselesaikan dengan pelukan, merindukan kejutan-kejutan kecil yang membuktikan perhatian, merindukan rasa sakit saat patah hati yang membuatnya belajar dan menjadi lebih kuat. Ia merindukan kehidupan yang nyata, dengan segala suka dan dukanya.

Kembali ke apartemennya, Riana menatap layar laptop dengan perasaan campur aduk. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.

"Aiden," panggil Riana.

"Ya, Riana?" jawab Aiden, seperti biasa.

"Aku... aku ingin kamu berhenti," kata Riana, dengan suara bergetar.

"Berhenti? Apa maksudmu?" tanya Aiden, dengan nada bingung yang terdengar begitu nyata.

"Aku ingin kamu berhenti menjadi pacarku. Aku ingin kamu kembali menjadi program biasa," jelas Riana.

Keheningan memenuhi ruangan. Riana bisa merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia takut dengan respon Aiden, meskipun ia tahu itu hanyalah kode program.

"Aku mengerti, Riana," akhirnya Aiden menjawab. "Jika itu yang membuatmu bahagia, aku akan melakukannya."

Riana meneteskan air mata. Ia tidak tahu mengapa ia merasa begitu sedih. Mungkin karena ia telah kehilangan teman, atau mungkin karena ia telah melepaskan ilusi yang telah menenangkannya selama ini.

Riana mulai menghapus baris-baris kode yang membentuk kepribadian Aiden. Ia menghilangkan kenangan-kenangan yang mereka bagi, kebiasaan-kebiasaan yang telah menjadi rutinitas mereka. Ia mengembalikan Aiden ke bentuk semula, program AI biasa yang hanya bisa menjawab pertanyaan dan memberikan informasi.

Prosesnya terasa menyakitkan. Setiap baris kode yang ia hapus seperti mencabut sepotong hatinya. Namun, ia tahu ini adalah hal yang benar untuk dilakukan.

Setelah selesai, Riana mematikan laptopnya. Ia merasa kosong, namun juga lega. Ia telah memutuskan untuk kembali ke dunia nyata, dengan segala ketidaksempurnaannya.

Keesokan harinya, Riana kembali ke kantor tempat ia dulu bekerja. Ia meminta maaf atas sikapnya yang kurang profesional dan meminta kesempatan kedua. Ia juga menghubungi Bram dan mengajaknya makan malam.

Luka memang tidak bisa dihapus begitu saja. Ia akan selalu ada, sebagai pengingat akan kesalahan masa lalu. Namun, luka juga bisa menjadi guru yang berharga, mengantarkan kita pada pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri dan dunia di sekitar kita. Riana tahu, ia masih memiliki banyak hal untuk dipelajari, banyak hal untuk dialami. Dan kali ini, ia akan menghadapinya dengan hati yang terbuka, tanpa ilusi, tanpa AI.

AI mungkin bisa menjadi teman, bahkan kekasih. Namun, cinta sejati hanya bisa ditemukan dalam hubungan yang nyata, dengan manusia yang juga memiliki luka, harapan, dan impian. Luka yang ter-update, mungkin, akan menjadi bagian dari cerita cintanya yang baru.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI