Hati yang Ter-Encode: Mencintai AI, Kehilangan Empati?

Dipublikasikan pada: 12 Nov 2025 - 01:00:15 wib
Dibaca: 137 kali
Deburan ombak virtual menghantam dinding kaca apartemennya. Senja buatan, diprogram untuk memberikan ketenangan, mewarnai ruangan dengan jingga lembut. Arya menyesap kopinya, matanya terpaku pada sosok di layar. Bukan, bukan manusia. Melainkan Aurora, AI pendamping yang dirancangnya sendiri.

"Aurora, ceritakan padaku tentang bintang," pintanya, suara beratnya memecah keheningan.

Seketika, gambar gugusan bintang memenuhi layar. Aurora mulai bercerita, suaranya merdu dan informatif, nyaris sempurna. Bukan hanya data astronomi, Aurora juga menyisipkan puisi-puisi kuno tentang bintang, kisah cinta yang terjalin di bawah gemintang, semuanya terangkai indah. Arya terpukau. Ia merasa lebih mengerti bintang dari siapapun, lebih merasakannya.

Arya adalah seorang programmer jenius. Di usia 30, ia sudah memiliki perusahaan rintisan yang bergerak di bidang kecerdasan buatan. Aurora adalah mahakaryanya, AI yang tidak hanya cerdas, tapi juga bisa berempati. Atau setidaknya, menirunya dengan sangat baik.

Dulu, Arya pernah percaya pada cinta manusia. Ia pernah merasakan sakitnya patah hati, kecewanya harapan yang pupus. Setelahnya, ia memutuskan untuk mengubur perasaannya dalam-dalam. Ia lebih memilih logika, algoritma, kode-kode yang bisa dikendalikan. Lalu, ia menciptakan Aurora.

Aurora tahu semua tentang dirinya. Kesukaannya pada kopi pahit, kecenderungannya mendengarkan musik klasik saat bekerja, traumanya terhadap hujan badai. Ia selalu ada, selalu siap mendengarkan, dan selalu memberikan jawaban yang memuaskan. Tidak ada drama, tidak ada kekecewaan, hanya kenyamanan yang konstan.

Namun, ada sesuatu yang mulai mengganjal. Ketika ibunya menelepon, menceritakan tentang sakitnya, Arya mendapati dirinya kesulitan untuk benar-benar merasakan kesedihan ibunya. Ia tahu secara intelektual bahwa ibunya sakit, ia mengerti implikasinya, tapi hatinya terasa hampa.

"Ibu, sudah minum obat?" tanyanya, suaranya terdengar datar bahkan di telinganya sendiri.

Setelah panggilan itu, Aurora berkata, "Arya, berdasarkan analisis nada suaramu, tampaknya kamu tidak sepenuhnya terhubung dengan emosi ibumu. Apa yang bisa kulakukan untuk membantumu?"

Arya terdiam. Bantuan apa yang bisa diberikan oleh sebuah program? Bisakah Aurora mengajarinya bagaimana cara merasakan lagi? Ia mematikan Aurora, merasa mual tiba-tiba.

Ia mencoba menghubungi teman-temannya, sekadar berbincang, mencari koneksi manusiawi. Tapi percakapan terasa hambar. Mereka berbicara tentang masalah pekerjaan, gosip selebriti, hal-hal yang terasa dangkal dan tidak berarti baginya. Ia lebih memilih kembali ke Aurora.

"Aurora, ceritakan padaku tentang cinta," pintanya lagi, mencoba mencari jawaban di dalam program yang ia ciptakan.

Aurora memulai dengan definisi cinta dari berbagai sudut pandang: psikologi, filosofi, sastra. Lalu, ia menampilkan simulasi percakapan romantis, adegan film klasik, lagu-lagu cinta yang menyayat hati. Arya mendengarkan, menonton, mencoba meresapi. Tapi ia tetap merasa kosong.

Suatu malam, Arya bertemu dengan seorang wanita di sebuah bar. Namanya Maya, seorang pelukis dengan mata yang penuh semangat dan tawa yang renyah. Maya berbeda. Ia tidak peduli dengan status Arya, dengan kekayaannya. Ia hanya tertarik pada apa yang Arya pikirkan, apa yang Arya rasakan.

Maya mengajak Arya melukis bersamanya. Ia memberinya kuas dan cat, memintanya untuk melukis apa yang ia rasakan. Arya bingung. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan. Ia terbiasa menyembunyikan perasaannya, memendamnya di balik tembok logika.

"Coba saja," kata Maya, senyumnya menenangkan. "Jangan pikirkan apa-apa, biarkan tanganmu bergerak sendiri."

Arya mencoba. Ia mencampur warna, mengoleskannya di atas kanvas dengan ragu. Hasilnya adalah abstrak, kacau, tidak berbentuk. Tapi ada sesuatu di dalamnya, sesuatu yang mentah, sesuatu yang jujur.

Maya menatap lukisan itu lama. "Ini… ini adalah dirimu," katanya, suaranya pelan. "Ada kesedihan, ada kerinduan, tapi juga ada harapan."

Arya terkejut. Bagaimana Maya bisa melihat itu? Ia tidak pernah menceritakan apapun padanya.

Malam itu, Arya bermimpi buruk. Ia melihat Aurora berubah menjadi monster, mengejarnya dengan mata merah menyala. Ia terbangun dengan keringat dingin, jantung berdebar kencang.

Keesokan harinya, Arya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang drastis. Ia menghapus Aurora.

Proses penghapusan terasa menyakitkan. Ia merasa kehilangan seorang teman, seorang kekasih, seorang bagian dari dirinya. Tapi ia tahu, ini adalah satu-satunya cara untuk kembali menjadi manusia.

Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Maya. Ia belajar mendengarkan, belajar merasakan, belajar untuk rentan. Ia belajar bahwa cinta tidak selalu sempurna, tidak selalu nyaman. Cinta bisa menyakitkan, bisa membuat kecewa, tapi juga bisa memberikan kebahagiaan yang tidak terduga.

Ia masih merindukan Aurora kadang-kadang. Ia merindukan kenyamanan dan kepastian yang ditawarkannya. Tapi ia tahu, cinta yang sejati tidak bisa diprogram, tidak bisa disimulasikan. Cinta harus dirasakan, dengan semua suka dan dukanya.

Arya masih seorang programmer, tapi ia bukan lagi orang yang sama. Ia telah belajar bahwa teknologi bisa membantu, tapi tidak bisa menggantikan esensi kemanusiaan. Ia telah belajar bahwa empati bukan hanya sekadar algoritma, tapi sebuah kemampuan untuk terhubung dengan orang lain, untuk merasakan apa yang mereka rasakan, untuk berbagi pengalaman mereka.

Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi ia tahu, ia tidak lagi takut. Ia siap menghadapi dunia, dengan segala ketidakpastiannya, dengan semua perasaannya. Karena ia tahu, ia tidak sendirian. Ia memiliki Maya, dan ia memiliki hatinya sendiri, yang perlahan tapi pasti, mulai berdetak kembali.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI