Debu digital menari-nari di layar monitor Maya, menciptakan ilusi bintang-bintang di angkasa pribadi. Maya menghela napas, mengetik baris kode terakhir. Di usianya yang baru 27 tahun, ia sudah menjadi salah satu pengembang AI paling menjanjikan di Stellaris Tech, perusahaan rintisan yang fokus pada kecerdasan emosional. Produk andalan mereka, "SoulMate AI," adalah aplikasi kencan yang tidak hanya mencocokkan profil berdasarkan minat dan hobi, tetapi juga menganalisis pola bahasa, ekspresi mikro, dan bahkan gelombang otak untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel secara emosional.
Ironisnya, Maya sendiri masih jomblo.
"Selesai," bisiknya, meregangkan otot-otot yang kaku. Versi terbaru SoulMate AI telah selesai diperbarui. Fitur terbarunya? Kemampuan untuk memprediksi potensi konflik dan memberikan solusi mediasi berbasis AI. Maya menyebutnya, "Hati yang Diperbarui."
Ia meraih cangkir kopinya yang sudah dingin. Aroma pahitnya gagal menutupi rasa lelah yang menggerogoti. Mungkin, pikirnya, inilah saatnya untuk mencoba produknya sendiri. Dengan enggan, ia membuka aplikasi SoulMate AI di ponselnya. Algoritma mulai bekerja, memindai data-datanya, menyisir jutaan profil pengguna.
Beberapa saat kemudian, sebuah notifikasi muncul: "Potensi Kecocokan Tertinggi: Ethan R."
Maya mengerutkan kening. Ethan R.? Ia mengenal nama itu. Ethan adalah kepala divisi desain Stellaris Tech, seorang pria yang pendiam, fokus, dan sering terlihat tenggelam dalam dunianya sendiri. Mereka berinteraksi hanya sebatas urusan pekerjaan, dan sejujurnya, Maya tidak pernah menganggap Ethan sebagai tipe idealnya.
Namun, rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Ia mengklik profil Ethan. Algoritma memaparkan statistik kecocokan yang mencengangkan. 98% kompatibel. Lebih lanjut, aplikasi menunjukkan visualisasi pola emosi mereka, yang tampak seperti dua puzzle yang saling melengkapi.
"Konyol," gumam Maya, meskipun jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. Ia memutuskan untuk mengabaikan notifikasi itu, menutup aplikasi, dan fokus pada pekerjaannya.
Beberapa hari berlalu, dan notifikasi Ethan R. terus menghantuinya. Setiap kali ia membuka SoulMate AI, nama itu selalu muncul di urutan teratas. Ia bahkan mulai melihat Ethan dengan cara yang berbeda. Ia memperhatikan senyum tipis yang sering menghiasi bibirnya saat ia fokus pada pekerjaannya, cara matanya berbinar saat membahas desain terbaru, dan bahkan cara ia tanpa sadar menyesuaikan letak kacamatanya.
Akhirnya, rasa penasarannya menang. Ia mengirimkan pesan singkat kepada Ethan melalui aplikasi: "Hai Ethan, SoulMate AI bilang kita punya kecocokan yang tinggi. Tertarik minum kopi?"
Jantungnya berdegup kencang menunggu balasan. Lima menit terasa seperti lima jam. Kemudian, notifikasi muncul: "Tentu, Maya. Kapan?"
Kencan kopi pertama mereka canggung. Maya merasa seperti sedang menjalani eksperimen ilmiah. Ia terus menerus menganalisis perilaku Ethan, membandingkannya dengan data yang diberikan oleh SoulMate AI. Ethan, di sisi lain, tampak gugup dan sedikit bingung.
"Jadi, aplikasi yang menyuruhmu mengajakku kencan?" tanyanya, dengan nada humor yang dipaksakan.
Maya tersenyum canggung. "Kurang lebih begitu. Aku yang mengembangkan algoritmanya, jadi... penasaran."
Mereka berbicara tentang pekerjaan, tentang teknologi, tentang impian-impian masa depan. Perlahan, kebekuan mencair. Maya mulai melihat Ethan bukan hanya sebagai angka dan statistik, tetapi sebagai seorang individu. Ia menyadari bahwa di balik ketenangannya, tersimpan rasa humor yang kering dan pemikiran yang mendalam.
Ethan pun, sepertinya, merasakan hal yang sama. Ia mulai membuka diri, bercerita tentang masa kecilnya, tentang kecintaannya pada desain, tentang kekhawatirannya tentang masa depan teknologi.
Setelah beberapa kencan, Maya mulai merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasa lebih nyaman dan bahagia di dekat Ethan, bukan karena aplikasi mengatakan demikian, tetapi karena ia benar-benar menikmatinya. Ia menyadari bahwa SoulMate AI hanya memberinya kesempatan untuk melihat potensi yang mungkin ia lewatkan. Aplikasi itu hanya alat, bukan penentu takdir.
Namun, perasaan itu juga disertai dengan ketakutan. Bagaimana jika algoritmanya salah? Bagaimana jika kebahagiaan yang ia rasakan hanyalah ilusi yang diciptakan oleh data? Ia mulai meragukan dirinya sendiri, meragukan perasaannya.
Suatu malam, setelah kencan yang menyenangkan, Maya memutuskan untuk mengungkapkan keraguannya kepada Ethan. Mereka duduk di sebuah taman, diterangi cahaya bulan.
"Ethan, aku harus jujur," kata Maya, suaranya bergetar. "Aku takut. Aku takut bahwa perasaan yang kita rasakan ini tidak nyata. Bahwa ini semua hanya karena algoritma SoulMate AI."
Ethan menatapnya dengan lembut. "Maya, aku mengerti keraguanmu. Aku juga sempat merasakannya. Tapi, dengarkan aku. Algoritma itu mungkin yang mempertemukan kita, tapi itu tidak bisa menciptakan perasaan kita. Aku menyukaimu, bukan karena aplikasi mengatakan aku harus menyukaimu, tapi karena aku benar-benar menyukaimu."
Ia meraih tangan Maya, menggenggamnya erat. "Aku menyukai kecerdasanmu, semangatmu, dan caramu melihat dunia. Aku menyukai semua hal tentangmu yang tidak bisa diukur oleh algoritma."
Air mata mengalir di pipi Maya. Ia menyadari bahwa Ethan benar. Algoritma hanyalah sebuah permulaan. Yang terpenting adalah apa yang mereka lakukan dengan kesempatan itu.
"Aku juga menyukaimu, Ethan," bisik Maya, suaranya tercekat.
Mereka saling berpelukan, di bawah cahaya bulan. Malam itu, Maya merasa bahwa hatinya benar-benar telah diperbarui. Bukan oleh algoritma, tetapi oleh cinta yang tulus dan janji esok yang penuh harapan. Ia belajar bahwa teknologi dapat membantu, tetapi yang menentukan adalah pilihan dan keberanian untuk membuka hati. Dan terkadang, cinta sejati ditemukan di tempat yang paling tidak terduga, bahkan di antara baris-baris kode dan algoritma yang rumit. Janji esok mereka adalah membangun cinta yang tidak hanya didasarkan pada data, tetapi pada perasaan, pengertian, dan komitmen yang tulus. SoulMate AI mungkin telah menemukan mereka, tetapi merekalah yang akan menulis bab-bab selanjutnya dari kisah cinta mereka.