Jemari Aira menari lincah di atas keyboard. Deretan kode Python berbaris rapi di layar laptopnya, menciptakan sebuah algoritma rumit yang ia beri nama “Soulmate Finder”. Proyek ambisius ini bukan sekadar tugas akhir kuliah. Ini adalah obsesinya, mimpinya untuk menemukan cinta sejati di tengah derasnya data yang membanjiri dunia.
Aira, seorang mahasiswi teknik informatika semester akhir, selalu merasa asing dengan cara konvensional dalam mencari pasangan. Baginya, kencan buta adalah horor, aplikasi kencan daring terasa dangkal, dan pertemuan kebetulan di kafe hanyalah mitos. Ia percaya, cinta sejati bisa ditemukan, dianalisis, dan diprediksi melalui data.
“Ngaco kamu, Air,” seringkali sahabatnya, Rina, menggelengkan kepala mendengar ide gilanya itu. “Cinta itu buta, Air! Mana bisa dihitung pakai angka?”
Aira hanya tersenyum. “Justru karena buta, Rin, makanya butuh penuntun. Aku mau membuat algoritma yang bisa menyaring jutaan profil berdasarkan preferensi, minat, nilai-nilai, bahkan sampai kebiasaan-kebiasaan kecil yang seringkali terlewatkan.”
Rina mendengus. “Ya sudah, deh. Semoga sukses dengan Soulmate Finder-mu. Tapi jangan lupa, perasaan itu lebih penting daripada data.”
Aira tahu Rina benar. Tapi ia tetap melanjutkan proyeknya. Ia menghabiskan berbulan-bulan mengumpulkan data, menyempurnakan algoritma, dan melakukan uji coba. Ia memasukkan data dirinya sendiri sebagai pembanding, untuk melihat seberapa akurat Soulmate Finder dalam mencarikan pasangan yang ideal baginya.
Hasilnya mengejutkan. Algoritma itu menghasilkan tiga nama dengan tingkat kecocokan di atas 90%. Salah satunya adalah namanya sendiri (sebagai kontrol), yang kedua adalah seorang profesor matematika yang sudah berumur dan jelas bukan tipenya, dan yang ketiga… adalah seorang pria bernama Leo.
Leo adalah seorang fotografer lepas dengan minat yang sama dengan Aira: coding, kopi, dan film-film indie. Profilnya di media sosial menunjukkan seorang pria yang cerdas, kreatif, dan punya selera humor yang unik. Aira terpaku menatap fotonya. Ada sesuatu dalam tatapan mata Leo yang membuatnya penasaran.
Namun, ada satu masalah: Leo tinggal di kota yang berbeda, sekitar 500 kilometer jauhnya.
Aira bimbang. Apakah ia harus percaya pada algoritmanya dan mengambil risiko bertemu dengan orang asing yang mungkin saja mengecewakannya? Atau ia harus mengabaikan hasil Soulmate Finder dan kembali pada kesendiriannya?
Setelah bergulat dengan pikirannya, Aira memutuskan untuk mengikuti kata hatinya. Ia mengirimkan pesan kepada Leo melalui media sosial.
“Halo, Leo. Aku Aira. Aku… menemukan profilmu melalui proyek penelitianku. Maaf kalau ini terdengar aneh, tapi algoritmaku mengatakan bahwa kita cocok.”
Ia menunggu dengan cemas balasan dari Leo. Jantungnya berdegup kencang setiap kali ada notifikasi di ponselnya. Akhirnya, setelah beberapa jam, pesan dari Leo muncul.
“Aira? Algoritma? Kedengarannya menarik. Aku penasaran. Ceritakan lebih lanjut.”
Percakapan mereka berlanjut selama beberapa hari. Mereka bertukar pikiran tentang coding, membahas film-film indie favorit mereka, dan saling berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing. Aira merasa nyaman dan terhubung dengan Leo, meskipun mereka belum pernah bertemu secara langsung.
Setelah beberapa minggu, Leo mengusulkan untuk bertemu. Ia menawarkan diri untuk datang ke kota Aira. Aira setuju, meskipun dengan sedikit keraguan. Ia takut bahwa pertemuan mereka tidak akan seindah percakapan daring mereka.
Hari pertemuan tiba. Aira berdandan rapi, tapi ia merasa gugup. Ia menunggu Leo di sebuah kedai kopi kecil di pusat kota. Ketika Leo akhirnya datang, Aira terpana. Ia lebih tampan dari fotonya.
“Aira?” sapa Leo dengan senyum ramah.
“Leo,” balas Aira dengan sedikit gugup.
Mereka menghabiskan sore itu untuk berbicara, tertawa, dan saling mengenal lebih dekat. Aira menyadari bahwa Leo adalah orang yang cerdas, perhatian, dan memiliki selera humor yang sama dengannya. Ia merasa nyaman berada di dekatnya.
Namun, di tengah percakapan mereka, Aira mulai meragukan proyek Soulmate Finder-nya. Apakah ia benar-benar menemukan Leo melalui algoritma, atau ada faktor lain yang berperan?
“Leo,” kata Aira dengan ragu. “Aku penasaran, kenapa kamu mau bertemu denganku? Bukankah ini aneh, bertemu dengan seseorang yang mengaku menemukanmu melalui algoritma?”
Leo tersenyum. “Awalnya aku memang ragu, Aira. Tapi aku tertarik dengan ide gilamu. Aku juga merasa jenuh dengan aplikasi kencan yang dangkal. Aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Dan setelah kita berbicara selama beberapa minggu, aku merasa ada sesuatu yang istimewa antara kita.”
Aira terdiam. Ia menyadari bahwa Leo tidak hanya tertarik dengan algoritmanya. Ia tertarik dengan dirinya, dengan kepribadiannya, dengan pemikirannya.
“Aku juga,” kata Aira akhirnya. “Aku juga merasa ada sesuatu yang istimewa antara kita.”
Mereka berdua tersenyum. Mereka saling bertatapan, dan Aira merasa ada getaran aneh di dadanya. Ia menyadari bahwa cinta itu memang tidak bisa dihitung dengan angka. Tapi data bisa menjadi jembatan untuk menemukan seseorang yang istimewa.
Setelah pertemuan itu, hubungan Aira dan Leo semakin dekat. Mereka saling mengunjungi setiap akhir pekan, menjelajahi kota bersama, dan berbagi mimpi-mimpi mereka. Aira menyadari bahwa ia mencintai Leo, bukan karena algoritmanya, tapi karena ia adalah dirinya sendiri.
Suatu malam, saat mereka sedang duduk di balkon apartemen Aira, menatap bintang-bintang, Leo menggenggam tangan Aira.
“Aira,” kata Leo dengan suara lembut. “Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku ingin bertanya sesuatu.”
Aira menatapnya dengan rasa ingin tahu.
“Maukah kamu menjadi pacarku?”
Aira tersenyum lebar. “Tentu saja, Leo. Aku mau.”
Mereka berpelukan erat. Aira merasa bahagia dan bersyukur. Ia menemukan cinta di tengah derasnya data, bukan karena algoritma, tapi karena keberaniannya untuk membuka hati dan mencoba sesuatu yang baru.
Beberapa bulan kemudian, Aira dan Leo menghadiri wisuda Aira. Aira berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan predikat cum laude. Proyek Soulmate Finder-nya menjadi bahan perbincangan di kalangan mahasiswa dan dosen.
Setelah wisuda, Aira dan Leo memutuskan untuk pindah ke kota yang sama. Mereka membuka sebuah studio foto dan coding bersama. Mereka hidup bahagia, saling mencintai, dan saling mendukung.
Aira menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa diprediksi dengan algoritma. Tapi teknologi bisa menjadi alat yang ampuh untuk mempertemukan dua hati yang ditakdirkan untuk bersama. Dan yang terpenting, adalah keberanian untuk membuka hati dan percaya pada keajaiban cinta.