Saat AI Memilih Jodoh: Apakah Hati Masih Bicara?

Dipublikasikan pada: 15 Nov 2025 - 00:40:18 wib
Dibaca: 135 kali
Aplikasi "Soulmate AI" itu berkedip di layar ponselnya, menampilkan foto seorang pria dengan senyum menawan dan mata teduh. Namanya Arion, seorang arsitek lanskap dengan hobi mendaki gunung dan membaca puisi. Profilnya, hasil analisis mendalam oleh algoritma Soulmate AI, menyatakan bahwa Arion memiliki keserasian 98% dengan Nadia. Hampir sempurna.

Nadia, seorang ilustrator lepas yang lebih suka menghabiskan malam dengan kuas dan cat air daripada keramaian pesta, menatap foto itu dengan ragu. Soulmate AI sudah lama menjadi perbincangan di kalangan teman-temannya. Konon, aplikasi ini menggunakan data pribadi, preferensi, riwayat interaksi media sosial, bahkan gelombang otak, untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel. Beberapa temannya sudah menikah berkat aplikasi ini, hidup bahagia dengan pasangan pilihan AI.

Dulu, Nadia skeptis. Baginya, cinta adalah sesuatu yang organik, tumbuh perlahan seperti tunas di musim semi. Bukan hasil perhitungan algoritma yang dingin dan presisi. Namun, kesepian mulai menyelinap ke dalam hidupnya, merayap seperti lumut di dinding kamar. Ia lelah dengan kencan buta yang selalu berakhir mengecewakan, dengan harapan yang pupus dan percakapan hambar. Akhirnya, ia menyerah dan mengunduh Soulmate AI.

Awalnya, ia hanya iseng mengisi profilnya, menjawab pertanyaan-pertanyaan aneh tentang filosofi hidup, makanan favorit, dan mimpi terliarnya. Ia bahkan sempat lupa dengan aplikasi itu, hingga notifikasi muncul beberapa minggu kemudian: "Soulmate AI telah menemukan pasangan yang paling kompatibel untuk Anda." Arion.

Nadia memutuskan untuk bertemu Arion. Ia merasa aneh, seperti sedang menjalankan perintah robot. Ia menyetujui kencan di sebuah kedai kopi kecil yang tenang. Arion tiba tepat waktu, senyumnya sama menawannya seperti di foto. Pembicaraan mengalir lancar, seolah mereka sudah saling mengenal lama. Mereka membahas arsitektur, seni, dan pendakian gunung. Arion bahkan membacakan puisi favoritnya, yang kebetulan juga puisi kesukaan Nadia.

Semuanya terasa...sempurna. Terlalu sempurna, justru membuat Nadia merasa tidak nyaman. Arion adalah pria yang ideal, memenuhi semua kriteria yang ia cari selama ini. Ia cerdas, perhatian, humoris, dan memiliki nilai-nilai yang sama dengannya. Tapi, di mana letak kejutan? Di mana letak ketidaksempurnaan yang justru membuat cinta terasa hidup?

Beberapa minggu berlalu, mereka semakin sering bertemu. Arion selalu tahu bagaimana membahagiakan Nadia. Ia selalu tahu apa yang ingin ia dengar, apa yang ingin ia lakukan. Ia bahkan selalu membawa bunga favorit Nadia, bunga lili putih, tanpa Nadia pernah memberitahunya.

Suatu malam, Arion mengajak Nadia makan malam romantis di sebuah restoran mewah. Di tengah alunan musik lembut dan cahaya lilin, Arion mengeluarkan sebuah kotak kecil beludru. Nadia menahan napas.

"Nadia," kata Arion, suaranya lembut dan penuh kasih sayang. "Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku merasa kita ditakdirkan untuk bersama. Soulmate AI tidak pernah salah. Maukah kamu menikah denganku?"

Nadia menatap Arion, matanya berkaca-kaca. Ia seharusnya bahagia. Ia seharusnya berteriak "ya" dan memeluk pria impiannya. Tapi, ia merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tidak bisa diukur oleh algoritma. Sesuatu yang tidak bisa ditemukan dalam profil yang sempurna.

Ia menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Arion, aku... aku tidak tahu."

Arion tampak terkejut. "Tidak tahu? Tapi, Soulmate AI..."

"Aku tahu," potong Nadia. "Aplikasi itu bilang kita sangat cocok. Dan mungkin memang benar. Tapi, aku tidak yakin apakah ini cinta. Aku merasa seperti sedang memainkan peran, mengikuti skenario yang sudah dituliskan untukku. Aku tidak merasakan getaran itu, Arion. Getaran yang membuat jantungku berdebar kencang, getaran yang membuatku merasa hidup."

Arion terdiam, menatap Nadia dengan tatapan kosong. Ia tidak mengerti. Bagi Arion, Soulmate AI adalah segalanya. Ia percaya bahwa aplikasi itu adalah kunci kebahagiaan, panduan untuk menemukan cinta sejati.

"Jadi, apa yang kamu inginkan, Nadia?" tanya Arion, suaranya pelan.

Nadia menghela napas. "Aku ingin merasakan cinta yang nyata, Arion. Cinta yang tumbuh dari ketidaksempurnaan, dari kesalahan, dari pertengkaran dan rekonsiliasi. Aku ingin memilih sendiri, bukan dipilihkan oleh algoritma."

Arion berdiri dari kursinya. "Aku mengerti," katanya dengan nada dingin. "Mungkin Soulmate AI memang salah kali ini."

Ia meninggalkan Nadia sendirian di meja, dengan kotak beludru yang terbuka dan cincin berlian yang berkilauan.

Nadia pulang dengan hati hancur. Ia tahu ia telah menyakiti Arion, tapi ia tidak bisa memaksakan perasaannya. Ia tidak bisa hidup dalam kebohongan.

Malam itu, Nadia menghapus aplikasi Soulmate AI dari ponselnya. Ia ingin memulai lagi dari awal, mencari cinta dengan cara yang lama dan kuno. Ia ingin membiarkan hatinya berbicara, tanpa campur tangan teknologi.

Beberapa bulan kemudian, Nadia sedang melukis di taman kota. Ia sedang menyelesaikan lukisan pemandangan, menangkap cahaya sore yang hangat dan dedaunan yang berguguran. Tiba-tiba, seorang pria berdiri di depannya, menghalangi cahayanya.

Pria itu adalah Liam, seorang musisi jalanan yang sering bermain gitar di taman. Mereka sudah sering bertemu sebelumnya, saling bertukar senyum dan sapaan singkat.

"Maaf mengganggu," kata Liam, suaranya serak dan ramah. "Lukisanmu indah sekali."

Nadia tersenyum. "Terima kasih. Kamu juga sering bermain musik yang bagus."

Mereka mulai berbicara, membahas tentang seni, musik, dan kehidupan. Nadia merasa nyaman berbicara dengan Liam. Ia merasa ada koneksi yang tulus di antara mereka, tanpa ada perhitungan atau ekspektasi yang tersembunyi.

Liam tidak memenuhi kriteria apa pun yang ada di profil Soulmate AI. Ia bukan arsitek, ia tidak suka mendaki gunung, dan ia tidak membaca puisi. Ia hanya seorang musisi sederhana dengan gitar dan hati yang tulus.

Tapi, saat Nadia menatap mata Liam, ia merasakan getaran itu. Getaran yang membuat jantungnya berdebar kencang, getaran yang membuat ia merasa hidup. Getaran yang tidak bisa diukur oleh algoritma.

Mungkin, pikir Nadia, cinta memang tidak bisa diprediksi. Mungkin, hati memang punya caranya sendiri untuk memilih. Dan mungkin, cinta sejati memang membutuhkan keberanian untuk melampaui batas-batas teknologi.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI