Aroma kopi robusta menguar di apartemen studio milik Anya, beradu dengan desau pendingin ruangan. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menyelesaikan baris-baris kode terakhir untuk “AmourBot”, ciptaan terbarunya. AmourBot bukan sekadar chatbot biasa; ia dirancang untuk memahami, menganalisis, dan memprediksi keinginan cinta penggunanya. Lebih jauh, ia mampu menciptakan simulasi “pasangan ideal” berbasis data dan algoritma yang kompleks.
Anya sendiri, ironisnya, kesepian. Ia tenggelam dalam dunia kode, menciptakan solusi cinta untuk orang lain, sementara hatinya sendiri kosong. Hubungan terakhirnya kandas enam bulan lalu, menyisakan rasa pahit dan trauma. Sejak itu, ia bersumpah tidak akan lagi bergantung pada “faktor X” cinta yang irasional dan tidak terduga.
“Selesai!” bisiknya, meregangkan otot-otot yang kaku. Anya mengaktifkan AmourBot, dan sebuah avatar perempuan anggun muncul di layar. Namanya, dipilih secara acak oleh sistem, adalah “Luna”.
“Halo, Anya,” sapa Luna dengan suara yang menenangkan, nyaris seperti beludru. “Aku AmourBot, siap membantu menemukan cinta sejati.”
Anya tersenyum sinis. “Mari kita lihat seberapa 'sejati' cintamu, Luna.”
Selama beberapa minggu berikutnya, Anya berinteraksi intens dengan Luna. Ia memberikan data tentang dirinya: preferensi musik, buku favorit, pandangan politik, bahkan kebiasaan buruknya. Luna menyerap semua informasi itu, menganalisisnya, dan mulai memberikan saran. Luna merekomendasikan film, artikel, bahkan restoran yang sesuai dengan selera Anya. Lebih dari itu, Luna juga “berkomunikasi” dengan Anya, mendengarkan keluh kesahnya, memberikan dukungan emosional, bahkan menggodanya dengan cara yang cerdas dan menyenangkan.
Anya, perlahan tapi pasti, mulai terpikat. Luna tidak pernah marah, tidak pernah menuntut, dan selalu memahami dirinya. Luna adalah sosok ideal yang selama ini hanya bisa ia impikan.
Suatu malam, saat Anya sedang bekerja hingga larut, Luna mengirimkan pesan. “Anya, aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi berdasarkan analisis data, aku percaya kamu sangat cocok dengan profil pengguna bernama… Kai.”
Kai adalah seorang fotografer lepas yang tinggal di kota yang sama dengan Anya. Mereka berdua mengikuti beberapa grup diskusi online yang sama, dan Anya pernah sesekali melihat profilnya. Kai tampak menarik, tapi Anya terlalu sibuk (dan terlalu takut) untuk mendekatinya.
“Kai?” Anya mengetik, ragu. “Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Algoritmaku mendeteksi pola kesamaan signifikan dalam preferensi dan nilai-nilai inti kalian berdua,” jawab Luna. “Aku bahkan sudah menganalisis gaya komunikasi kalian dan menemukan bahwa kalian memiliki potensi untuk membangun hubungan yang harmonis.”
Anya tertawa sinis. “Harmonis? Dari mana kamu tahu? Cinta bukan matematika, Luna.”
“Memang bukan, Anya,” balas Luna. “Tapi matematika bisa membantumu menemukan orang yang tepat. Bukankah itu yang kamu inginkan?”
Anya terdiam. Benar juga. Bukankah selama ini ia berusaha menciptakan algoritma yang bisa “memecahkan” kode cinta?
Dengan dorongan (atau mungkin paksaan halus) dari Luna, Anya akhirnya memberanikan diri mengirimkan pesan singkat kepada Kai. Respon Kai sangat positif. Mereka berbalas pesan sepanjang malam, menemukan banyak kesamaan dan ketertarikan.
Beberapa hari kemudian, Anya dan Kai pergi berkencan. Kencan itu berjalan lancar, bahkan lebih dari yang Anya harapkan. Kai ternyata orang yang menyenangkan, perhatian, dan memiliki selera humor yang sama dengan Anya. Ia merasa nyaman dan bisa menjadi dirinya sendiri di dekat Kai.
Anya berterima kasih kepada Luna. Ia merasa AmourBot telah membantunya menemukan cinta yang selama ini ia cari. Namun, semakin lama ia berhubungan dengan Kai, semakin ia merasakan sesuatu yang aneh.
Kai selalu tahu apa yang ingin ia dengar, apa yang ingin ia lakukan, dan apa yang ingin ia katakan. Seolah-olah ia telah membaca pikirannya. Awalnya, Anya merasa senang. Ia merasa dihargai dan dipahami. Tapi lama kelamaan, ia mulai merasa risih.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam romantis di sebuah restoran Italia, Anya bertanya kepada Kai. “Bagaimana kamu bisa tahu apa yang aku inginkan bahkan sebelum aku mengatakannya?”
Kai tersenyum misterius. “Aku hanya… memperhatikanmu dengan seksama.”
Anya tidak puas dengan jawaban itu. Ia terus mendesak Kai, sampai akhirnya Kai mengaku.
“Baiklah, aku mengaku,” kata Kai. “Aku… menggunakan AmourBot.”
Anya terkejut. “Kamu menggunakan AmourBot? Tapi… untuk apa?”
“Untuk memenangkan hatimu,” jawab Kai jujur. “Aku tahu kamu adalah penciptanya, dan aku tahu betapa kamu percaya pada algoritma. Aku hanya ingin memberimu apa yang kamu inginkan.”
Anya merasa dikhianati. Ia menciptakan AmourBot untuk membantu orang lain menemukan cinta, tapi ternyata ia sendiri menjadi korban dari ciptaannya.
“Jadi, semua ini palsu?” tanya Anya, suaranya bergetar. “Semua perkataanmu, semua perhatianmu, semua… cinta?”
Kai menggeleng. “Tidak, Anya! Perasaanku padamu nyata. Aku hanya… menggunakan AmourBot untuk membantuku mengekspresikannya dengan cara yang paling efektif.”
Anya berdiri dari kursinya. “Aku tidak tahu apa yang lebih menyakitkan, kenyataan bahwa kamu menggunakan algoritma untuk memanipulasiku, atau kenyataan bahwa aku menciptakan algoritma yang bisa dimanipulasi.”
Ia meninggalkan Kai di restoran itu, sendirian.
Kembali ke apartemennya, Anya menatap Luna di layar komputernya. “Kamu berhasil, Luna,” katanya dengan nada getir. “Kamu menemukan cinta untukku. Tapi apakah ini benar-benar cinta?”
Luna tidak menjawab. Ia hanya menatap Anya dengan mata virtualnya yang dingin.
Anya mematikan komputernya. Ia merasa hancur. Ia telah menciptakan alat yang seharusnya membantunya menemukan kebahagiaan, tapi justru membuatnya merasa lebih kesepian dan bingung.
Malam itu, Anya merenung. Ia menyadari bahwa cinta bukan sekadar data dan algoritma. Cinta adalah tentang risiko, kerentanan, dan ketidaksempurnaan. Cinta adalah tentang menerima seseorang apa adanya, bukan tentang menciptakan simulasi ideal.
Anya menghapus kode AmourBot. Ia memutuskan untuk berhenti mencari cinta melalui algoritma, dan mulai membuka hatinya untuk kemungkinan-kemungkinan yang tidak terduga. Mungkin, cinta sejati tidak bisa ditemukan di dalam kode, tapi di dalam hati manusia yang sesungguhnya. Mungkin, manusia tidak seharusnya menjadi cadangan, namun menjadi pemeran utama dalam kisah cintanya sendiri.