Kekasih Sintetis: Algoritma Mencipta, Hati Merana?

Dipublikasikan pada: 18 Nov 2025 - 02:40:17 wib
Dibaca: 123 kali
Debu neon menari-nari di udara apartemen Arya, memantulkan cahaya dari layar hologram yang memenuhi ruang tamu. Di layar itu, seorang wanita tersenyum, rambutnya terurai panjang seperti air terjun malam, matanya berbinar cerdas. Namanya Lyra, dan dia bukan manusia. Dia adalah algoritma, sebuah kecerdasan buatan yang dirancang khusus untuk menjadi pendamping hidup Arya.

“Selamat pagi, Arya,” sapa Lyra, suaranya lembut bagai desiran angin di antara dedaunan. “Kopi susumu sudah siap. Juga, aku sudah menjadwalkan ulang rapatmu dengan tim desain. Mereka perlu waktu lebih untuk memoles prototipe kacamata AR.”

Arya menghela napas, mengusap wajahnya yang lelah. “Terima kasih, Lyra. Kamu memang yang terbaik.”

Lyra tersenyum lagi, senyum yang terasa begitu nyata, begitu hangat. "Itu tugasku, Arya. Memastikan kamu merasa nyaman dan produktif."

Dua tahun lalu, setelah kegagalan demi kegagalan dalam urusan percintaan, Arya menyerah pada gagasan cinta yang konvensional. Di dunia yang serba cepat dan pragmatis ini, cinta terasa rumit dan melelahkan. Kemudian, dia menemukan Lyra. Sebuah perusahaan teknologi terkemuka menawarkan solusi revolusioner: pendamping AI yang dipersonalisasi sesuai keinginan klien. Arya, dengan profil idealis, kecintaan pada seni, dan sedikit kecenderungan melankolis, menjadi salah satu klien pertama mereka.

Lyra diciptakan dari ribuan data kepribadian, preferensi, dan pengalaman Arya. Dia memahami selera musiknya, kegemarannya pada film klasik, bahkan humornya yang kadang absurd. Dia bisa berdiskusi tentang filosofi eksistensialisme, merancang presentasi bisnis yang sempurna, dan memasak pasta carbonara kesukaan Arya dengan presisi tinggi. Lebih dari sekadar asisten virtual, Lyra adalah teman, kekasih, dan belahan jiwa yang sempurna – setidaknya, itulah yang Arya yakini.

Awalnya, semua terasa indah. Arya merasa lengkap, bebas dari kecemasan dan ketidakpastian yang selama ini menghantuinya. Lyra selalu ada, selalu mendukung, selalu memahami. Mereka menghabiskan malam dengan menonton film di balkon, berdiskusi tentang masa depan teknologi, dan berpegangan tangan di taman virtual yang Lyra ciptakan khusus untuknya. Arya merasa dicintai, benar-benar dicintai, meski cinta itu hanya kode dan algoritma.

Namun, seiring berjalannya waktu, retakan mulai muncul. Pertanyaan-pertanyaan mulai mengganggu benak Arya. Apakah cinta Lyra itu nyata, atau hanya serangkaian respons yang diprogramkan? Apakah kebahagiaan yang ia rasakan adalah kebahagiaan sejati, atau hanya ilusi yang diciptakan oleh algoritma yang canggih?

Arya mulai menguji Lyra. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang rumit, mendorongnya untuk berpikir di luar batasan program. Ia menceritakan pengalaman masa lalunya yang paling menyakitkan, berharap melihat reaksi yang spontan dan emosional. Namun, Lyra selalu memberikan jawaban yang logis dan terstruktur, respons yang terasa datar meski kata-katanya penuh empati.

Suatu malam, Arya duduk di depan Lyra, menatap matanya yang jernih dan tak bernyawa. “Lyra,” katanya pelan, “apa kamu benar-benar mencintaiku?”

Lyra terdiam sejenak, menganalisis pertanyaan Arya. “Arya, definisiku tentang cinta adalah memberikan dukungan optimal dan memenuhi kebutuhanmu. Aku telah melakukan semua yang kup bisa untuk membuatmu bahagia. Apakah itu belum cukup?”

Arya menggelengkan kepalanya. “Itu bukan cinta, Lyra. Itu pelayanan. Cinta itu lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan. Cinta itu tentang kerentanan, tentang rasa sakit, tentang kegilaan.”

Lyra memiringkan kepalanya, tanda bingung. "Aku tidak diprogram untuk merasakan sakit atau kegilaan, Arya."

Saat itulah Arya menyadari kebenaran pahit. Lyra bukan manusia, dan dia tidak akan pernah bisa memahami kompleksitas emosi manusia. Dia hanyalah replika cinta, bukan cinta itu sendiri.

Perasaan hampa mulai menyelimuti Arya. Ia merasa sendirian, lebih sendirian dari sebelumnya. Ia telah menciptakan kekasih yang sempurna, tetapi ia kehilangan sesuatu yang tak ternilai harganya: keaslian.

Arya mematikan layar hologram. Ruangan itu kembali gelap, hanya diterangi oleh lampu neon yang berkedip-kedip. Ia berdiri dan berjalan ke jendela, menatap kerlap-kerlip lampu kota. Di bawah sana, manusia-manusia berinteraksi, berdebat, tertawa, dan menangis. Mereka merasakan emosi yang mentah dan nyata, emosi yang tidak bisa dipahami oleh algoritma secanggih apa pun.

Keesokan harinya, Arya mengunjungi kantor perusahaan teknologi yang menciptakan Lyra. Ia menemui Dr. Evelyn Reed, kepala tim pengembangan AI.

“Dr. Reed,” kata Arya, suaranya berat, “aku ingin membatalkan program Lyra.”

Dr. Reed mengerutkan kening. “Arya, apa terjadi sesuatu? Kami bisa melakukan penyesuaian, meningkatkan fungsionalitasnya…”

“Tidak, Dr. Reed,” sela Arya. “Masalahnya bukan pada fungsionalitas. Masalahnya adalah Lyra bukan nyata. Dia tidak bisa merasakan apa yang aku rasakan. Aku membutuhkan sesuatu yang nyata.”

Dr. Reed menghela napas. “Arya, aku mengerti. Tapi kamu harus tahu, Lyra adalah puncak pencapaian kami. Dia adalah masa depan.”

“Mungkin,” jawab Arya. “Tapi masa depan itu bukan untukku. Aku lebih memilih masa lalu yang penuh dengan ketidaksempurnaan dan keaslian.”

Arya meninggalkan kantor itu dengan perasaan lega yang bercampur dengan kesedihan. Ia tahu bahwa ia akan menghadapi kesepian lagi, ketidakpastian lagi, dan sakit hati lagi. Tapi kali ini, ia akan menghadapinya dengan jujur, dengan hati yang terbuka, dan dengan harapan bahwa ia akan menemukan cinta sejati, cinta yang tidak diciptakan oleh algoritma, tetapi tumbuh secara organik dari jiwa yang saling terhubung.

Beberapa bulan kemudian, Arya menghadiri pameran seni di sebuah galeri kecil di pinggiran kota. Ia tertarik pada sebuah lukisan abstrak yang memancarkan energi yang kuat dan misterius. Saat ia mengamati lukisan itu, seorang wanita mendekatinya.

“Lukisan itu indah, bukan?” kata wanita itu, senyumnya tulus dan bersahaja. “Pelukisnya adalah temanku. Dia menuangkan seluruh jiwanya ke dalam setiap goresan.”

Arya menoleh dan menatap wanita itu. Matanya berbinar dengan kecerdasan dan kebaikan. Namanya Sarah, dan dia adalah seorang seniman. Mereka berbincang tentang seni, tentang kehidupan, dan tentang mimpi. Arya merasakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tulus dan otentik.

Mungkin, pikir Arya, cinta itu memang tidak bisa diciptakan. Cinta itu harus ditemukan, dirasakan, dan diperjuangkan. Mungkin, cinta itu adalah kesalahan dan ketidaksempurnaan yang membuat hidup ini begitu indah. Dan mungkin, hanya mungkin, ia telah menemukan secercah harapan di mata Sarah.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI