Cinta dalam Awan: Algoritma Menulis Akhir Bahagiaku?

Dipublikasikan pada: 18 Nov 2025 - 03:20:11 wib
Dibaca: 126 kali
Debu-debu digital menari di layar laptop usangku. Di depanku, berbaris kode-kode rumit, sebuah algoritma bernama "Project EverAfter" yang tengah kukembangkan. Tujuannya sederhana, namun ambisius: menulis akhir bahagia yang sempurna. Bukan sembarang akhir bahagia, tapi akhir bahagia untuk diriku sendiri.

Namaku Ara, seorang programmer yang lebih nyaman berkencan dengan baris kode daripada manusia. Pengalaman cintaku nihil, atau lebih tepatnya, tragis. Terakhir kali aku mencoba, aku berakhir dengan patah hati dan trauma berkepanjangan. Itulah mengapa aku menciptakan Project EverAfter. Aku percaya, dengan data yang cukup, logika yang tepat, dan sentuhan kreativitas, aku bisa memprediksi, bahkan menciptakan, kisah cinta yang sempurna.

Algoritma ini menganalisis ribuan novel romantis, film komedi romantis, dan bahkan database kencan online. Ia mempelajari pola-pola keberhasilan, kegagalan, preferensi, dan bias. Kemudian, ia menggabungkan semua informasi itu dengan data pribadiku: hobiku, kepribadianku, aspirasiku, bahkan makanan favoritku. Hasilnya adalah serangkaian karakter potensial dan alur cerita yang dirancang untuk memaksimalkan peluangku menemukan cinta sejati.

Awalnya, aku skeptis. Bagaimana mungkin sebuah program komputer bisa memahami kompleksitas emosi manusia? Tapi, rasa penasaran dan keputusasaan mendorongku untuk terus maju. Aku menghabiskan berbulan-bulan menyempurnakan algoritma, menyesuaikan variabel, dan menambahkan lapisan-lapisan kompleksitas.

Project EverAfter akhirnya selesai. Hasilnya mengejutkan. Algoritma itu menyarankan aku untuk bergabung dengan komunitas coding sukarela. Di sana, menurutnya, aku akan bertemu dengan seseorang bernama Rian, seorang developer yang memiliki minat dan nilai-nilai yang selaras denganku. Alur cerita yang diprediksi termasuk kolaborasi dalam proyek open source, percakapan larut malam tentang teknologi, dan akhirnya, pengakuan perasaan.

Aku tertawa. Kedengarannya klise, terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan. Tapi, aku memutuskan untuk mencobanya. Apa salahnya? Aku bergabung dengan komunitas coding sukarela, dan benar saja, Rian ada di sana.

Rian ternyata orang yang menyenangkan. Dia cerdas, humoris, dan memiliki semangat yang sama denganku untuk menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Kami bekerja sama dalam sebuah proyek untuk mengembangkan aplikasi pendidikan gratis bagi anak-anak di daerah terpencil. Kami sering berdebat tentang solusi teknis, bertukar ide, dan saling mendukung ketika menemui kesulitan.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Rian membuatku tertawa, membuatku merasa nyaman menjadi diriku sendiri. Dia melihatku bukan hanya sebagai seorang programmer yang kompeten, tapi juga sebagai seorang manusia yang memiliki mimpi dan kelemahan. Aku menyadari, aku mulai jatuh cinta padanya.

Tapi, ada sesuatu yang mengganjal. Aku terus teringat pada Project EverAfter. Apakah perasaanku ini nyata, atau hanya hasil manipulasi algoritma? Apakah aku mencintai Rian karena dia memang cocok denganku, atau karena program komputer menyuruhku untuk mencintainya?

Keraguan ini menghantuiku. Aku mulai menjauhi Rian, mencari-cari kesalahan padanya, mencoba membuktikan bahwa algoritma itu salah. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa membuat pilihan sendiri, bahwa aku tidak dikendalikan oleh program komputer.

Suatu malam, Rian mendatangiku. Wajahnya tampak sedih dan bingung. "Ara, ada apa denganmu? Aku merasa kamu menjauhiku," katanya.

Aku tidak bisa berbohong lagi. Aku menceritakan semuanya tentang Project EverAfter, tentang ketakutanku, tentang keraguanku. Rian mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi.

Setelah aku selesai berbicara, dia tersenyum. "Ara, aku tahu kamu orang yang cerdas dan logis. Tapi, terkadang, kamu terlalu terpaku pada logika sehingga lupa untuk mendengarkan hatimu sendiri," katanya.

"Algoritma mungkin bisa membantumu menemukan seseorang yang potensial. Tapi, algoritma tidak bisa menciptakan cinta. Cinta itu tumbuh secara alami, melalui interaksi, melalui pengalaman bersama, melalui penerimaan dan pengertian," lanjutnya.

Kata-kata Rian menampar kesadaranku. Dia benar. Aku terlalu fokus pada data dan logika, sehingga lupa untuk menikmati prosesnya. Aku lupa untuk membiarkan hatiku merasakan, membiarkan diriku terbuka terhadap kemungkinan.

Aku menatap mata Rian, dan aku melihat kejujuran dan ketulusan di sana. Aku melihat seseorang yang benar-benar peduli padaku, seseorang yang mencintaiku apa adanya, terlepas dari segala kerumitan dan ketidaksempurnaanku.

Aku tersenyum. "Kamu benar, Rian. Maafkan aku," kataku.

"Tidak apa-apa," jawabnya, menggenggam tanganku. "Yang penting sekarang, kita tahu apa yang kita rasakan. Dan aku tahu, perasaanku padamu itu nyata."

Kami berpelukan, erat dan lama. Saat itu, aku tahu, Project EverAfter mungkin telah membantuku menemukan Rian, tapi dialah yang mengajariku tentang arti cinta sejati. Dialah yang membantuku menulis akhir bahagia yang sesungguhnya, bukan dengan algoritma, tapi dengan hati.

Aku menutup laptopku. Debu-debu digital itu tidak lagi menakutkan. Mereka hanya mengingatkanku tentang perjalanan panjang yang telah kulalui, tentang pelajaran berharga yang telah kupelajari. Aku tidak lagi membutuhkan algoritma untuk menulis akhir bahagiaku. Aku sudah menemukannya, dalam pelukan Rian, dalam senyumnya, dalam cintanya. Dan itu, adalah akhir bahagia yang sempurna.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI