Jejak Digital Hati: Algoritma Mencari Cinta Sejati?

Dipublikasikan pada: 19 Nov 2025 - 00:00:21 wib
Dibaca: 138 kali
Aplikasi kencan itu bernama SoulMate, sebuah algoritma yang konon katanya lebih akurat daripada cupid. Anya mencibir, masih skeptis meski sudah tiga bulan menjadi penggunanya. Profilnya dipoles sedemikian rupa, foto terbaik dipilih, minat dan hobi diisi selengkap mungkin. Semua demi satu tujuan: menemukan seseorang yang sefrekuensi. Namun, yang muncul justru daftar nama-nama yang terasa asing, seperti kode program yang belum di-debug.

Malam ini, Anya sedang menikmati kopi di sebuah kafe buku favoritnya. Hujan rintik-rintik di luar, menciptakan suasana romantis yang ironis. Ia membuka SoulMate, berharap ada notifikasi baru. Alih-alih, ia malah melihat kembali profilnya sendiri. Ia mengedit sedikit, menambahkan satu baris kalimat di bagian “Tentang Saya”: “Mencari seseorang yang memahami bahwa membaca buku cetak lebih nikmat daripada ebook.”

Tiba-tiba, sebuah suara menyapanya. “Permisi, apa kursi ini kosong?”

Anya mendongak. Seorang pria dengan rambut sedikit acak-acakan dan kacamata berbingkai tebal berdiri di samping mejanya, memegang sebuah buku tebal berjudul "Algoritma Cinta". Anya tertegun. Judul buku itu seolah mengejeknya.

“Oh, silakan,” jawab Anya, sedikit gugup.

Pria itu tersenyum ramah. “Terima kasih. Maaf mengganggu, tapi semua kursi lain sudah penuh.” Ia duduk dan meletakkan bukunya di meja.

Anya kembali fokus pada aplikasinya, mencoba mengabaikan kehadiran pria di sampingnya. Namun, rasa penasaran mengalahkannya.

“Buku yang menarik,” kata Anya, berusaha bersikap santai.

Pria itu tersenyum. “Kebetulan saja. Saya sedang riset untuk proyek pekerjaan.”

“Riset tentang algoritma cinta? Kedengarannya… unik,” kata Anya.

“Lebih tepatnya, algoritma yang digunakan dalam aplikasi kencan,” koreksi pria itu. “Saya seorang programmer. Saya mencoba memahami bagaimana mereka bekerja, dan seberapa efektif mereka dalam menemukan pasangan yang cocok.”

Anya terdiam. Ia merasa seperti sedang diinterogasi oleh algoritma itu sendiri.

“Jadi, menurut Anda, seberapa efektif?” tanya Anya, penasaran.

Pria itu mengangkat bahu. “Itu tergantung. Algoritma hanya bisa memproses data yang diberikan. Jika data yang dimasukkan tidak akurat atau tidak lengkap, hasilnya juga tidak akan optimal. Selain itu, algoritma tidak bisa menangkap semua aspek penting dalam sebuah hubungan, seperti chemistry dan intuisi.”

Anya mengangguk setuju. Ia selalu merasa ada sesuatu yang hilang dalam interaksinya di SoulMate. Semua terasa terlalu kalkulatif, terlalu terstruktur.

“Nama saya Rehan,” kata pria itu, mengulurkan tangannya.

“Anya,” jawab Anya, menjabat tangannya.

Mereka melanjutkan percakapan. Ternyata, Rehan juga seorang penggemar buku. Mereka bertukar rekomendasi, berdebat tentang penulis favorit, dan tertawa bersama. Anya merasa nyaman berada di dekat Rehan. Ia merasa seperti sedang berbicara dengan seseorang yang benar-benar memahaminya, bukan hanya melihatnya sebagai kumpulan data dalam sebuah profil.

“Saya perhatikan, Anda sering melihat ponsel Anda,” kata Rehan, setelah beberapa saat. “Sedang menunggu seseorang?”

Anya tersipu. “Tidak juga. Hanya… sedang mencoba peruntungan di sebuah aplikasi kencan.”

Rehan mengangguk. “SoulMate?”

Anya terkejut. “Bagaimana Anda tahu?”

Rehan tertawa kecil. “Saya yang membuat sebagian besar algoritmanya.”

Anya terdiam. Ia merasa seperti sedang berada dalam plot twist sebuah film romantis yang aneh.

“Jadi, Anda tahu semua tentang saya?” tanya Anya, sedikit cemas.

“Tidak semuanya,” jawab Rehan. “Algoritma hanya tahu apa yang Anda masukkan. Tapi, ada banyak hal yang tidak bisa diukur dengan angka dan kode.”

Mereka terdiam sejenak. Anya menatap Rehan, mencoba membaca pikirannya. Ia melihat ketulusan di matanya, bukan sekadar data yang diproses oleh algoritma.

“Saya rasa, algoritma Anda gagal menemukan saya,” kata Anya, pelan.

Rehan tersenyum. “Mungkin. Tapi, mungkin juga algoritma itu membawa saya ke sini, ke kafe ini, bertemu dengan Anda.”

Hujan di luar semakin deras. Suara gemericik air memecah keheningan. Anya merasa jantungnya berdebar lebih kencang.

“Jadi, apa yang terjadi selanjutnya?” tanya Anya, penasaran.

Rehan menatap Anya lekat-lekat. “Itu tergantung pada kita. Algoritma hanya alat. Yang menentukan adalah bagaimana kita menggunakannya.” Ia menunjuk bukunya. “Saya rasa, kita perlu menguji hipotesis ini secara langsung. Bagaimana kalau kita mulai dengan kopi lagi besok?”

Anya tersenyum. “Saya suka ide itu.”

Malam itu, Anya pulang dengan perasaan yang berbeda. Ia menghapus aplikasinya dari ponselnya. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa ditemukan hanya dengan algoritma. Cinta adalah tentang koneksi, tentang intuisi, tentang keberanian untuk mengambil risiko. Dan kadang-kadang, cinta bisa ditemukan di tempat yang paling tidak terduga, seperti di sebuah kafe buku yang hujan, dengan seorang programmer yang sedang meriset algoritma cinta. Jejak digital yang membawanya pada Rehan mungkin hanyalah sebuah kebetulan, tapi interaksi tatap muka yang bermakna adalah kunci yang membuka hatinya. Mungkin, cinta sejati memang membutuhkan campur tangan algoritma, tapi lebih dari itu, cinta sejati membutuhkan keberanian untuk mematikan layar dan membuka hati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI