Algoritma Membisik: Jodoh dari Masa Depan, Hati Masa Lalu?

Dipublikasikan pada: 19 Nov 2025 - 00:40:17 wib
Dibaca: 133 kali
Aplikasi "SoulMate AI" itu memang gila. Kata teman-temanku, algoritma di dalamnya bisa membaca jiwa, memahami preferensi terdalam, dan menemukan pasangan yang paling kompatibel di seluruh jagat maya. Awalnya aku skeptis, tentu saja. Cinta bukan soal data dan angka. Cinta itu perasaan, intuisi, sesuatu yang tak bisa diprediksi. Tapi, setelah putus cinta yang menyakitkan dengan Arya, aku merasa tersesat. Mungkin, hanya mungkin, SoulMate AI bisa membantuku menemukan arah.

Maka, dengan berat hati, aku mengunduh aplikasi itu. Prosesnya terasa aneh. Aku harus menjawab ratusan pertanyaan tentang diriku, dari hal-hal remeh seperti makanan favorit hingga filosofi hidup yang paling aku yakini. Aku juga diminta mengunggah foto-foto, rekaman suara, bahkan contoh tulisan tanganku. Konon, semua data ini akan dianalisis mendalam untuk menciptakan profil kepribadian yang akurat.

Beberapa hari kemudian, SoulMate AI memberikan hasilnya: "Kompatibilitas 98%: Reihan Darmawan."

Foto Reihan muncul di layar ponselku. Tampan, dengan senyum teduh dan mata yang seolah menyimpan banyak cerita. Profilnya pun terasa familiar. Kami sama-sama suka musik jazz, film klasik, dan diskusi tentang filsafat eksistensialisme. Bahkan, makanan favorit kami sama: nasi goreng kambing tanpa acar. Aku merasa merinding. Ini terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan.

Aku memberanikan diri mengirim pesan. "Hai, Reihan. Aku Naya, dari SoulMate AI."

Balasannya datang hampir seketika. "Hai, Naya. Aku sudah membaca profilmu. Aku terkejut betapa cocoknya kita."

Obrolan kami mengalir begitu saja, seperti sungai yang menemukan jalannya. Kami membahas buku, film, musik, bahkan kenangan masa kecil. Reihan ternyata seorang arsitek yang bekerja di perusahaan rintisan yang fokus pada pembangunan berkelanjutan. Dia idealis, cerdas, dan punya selera humor yang sama denganku. Setiap malam, aku rela begadang demi bertukar pesan dengannya. Aku mulai percaya, mungkin SoulMate AI memang bukan sekadar omong kosong.

Setelah dua minggu berkomunikasi intensif, Reihan mengajakku bertemu. Kami memilih sebuah kafe kecil dengan interior minimalis dan alunan musik jazz yang lembut. Ketika Reihan datang, jantungku berdegup kencang. Dia persis seperti yang aku bayangkan, bahkan lebih. Senyumnya hangat, tatapannya tulus. Malam itu, kami berbicara selama berjam-jam, seolah waktu berhenti berputar. Aku merasa nyaman bersamanya, seolah kami sudah saling mengenal sejak lama.

Kencan-kencan selanjutnya terasa seperti mimpi. Kami mengunjungi galeri seni, menonton konser jazz di taman kota, bahkan mendaki gunung bersama. Reihan selalu tahu bagaimana membuatku tertawa, bagaimana membuatku merasa istimewa. Aku jatuh cinta padanya, tanpa ragu. Aku yakin dia adalah belahan jiwaku, jodoh yang dikirimkan oleh algoritma dari masa depan.

Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Suatu malam, ketika kami sedang makan malam romantis di sebuah restoran tepi pantai, Reihan tiba-tiba menjadi murung.

"Ada apa?" tanyaku, khawatir.

Dia menghela napas panjang. "Naya, ada sesuatu yang harus aku katakan padamu. Tentang SoulMate AI."

Jantungku berdebar kencang. Perasaan tidak enak mulai menghantuiku.

"Sebenarnya… aku tidak sepenuhnya jujur tentang bagaimana aku menemukanmu," kata Reihan, suaranya bergetar.

Dia menjelaskan bahwa dia sebenarnya adalah seorang programmer yang bekerja di balik layar SoulMate AI. Dia adalah salah satu tim inti yang mengembangkan algoritma pencarian jodoh itu. Dan, dia mengakui, dia sengaja memanipulasi algoritma tersebut agar kami bisa dipertemukan.

"Aku… aku sudah lama mengagumimu, Naya," ujarnya, menatapku dengan mata penuh penyesalan. "Aku melihat profilmu di database aplikasi. Aku tahu semua tentangmu. Aku tahu betapa hancurnya kamu setelah putus dengan Arya. Aku ingin membahagiakanmu. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa menahan diri."

Duniaku runtuh seketika. Semua yang aku yakini selama ini ternyata palsu. Cinta yang kurasakan, kebahagiaan yang ku alami, semuanya adalah hasil manipulasi. Aku merasa dikhianati, tidak hanya oleh Reihan, tapi juga oleh teknologi yang seharusnya membantuku.

"Jadi, selama ini… aku hanya hasil algoritma?" tanyaku, air mata mulai mengalir di pipiku.

Reihan meraih tanganku. "Tidak, Naya. Itu tidak benar. Algoritma mungkin yang mempertemukan kita, tapi perasaan yang kurasakan padamu nyata. Cinta yang aku berikan padamu tulus. Aku mencintaimu, Naya. Sungguh."

Aku menarik tanganku. "Aku tidak tahu apa yang harus aku percaya lagi." Aku berdiri, meninggalkan Reihan yang terpaku di kursinya.

Aku pulang dengan hati hancur. Aku mematikan ponselku, memutus semua koneksi dengan dunia luar. Aku merasa bodoh, naif, dan terlalu percaya pada teknologi. Aku menyesal telah mengunduh SoulMate AI. Aku menyesal telah membuka hatiku untuk seseorang yang ternyata berbohong padaku.

Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk bertemu Arya. Mantan kekasihku yang dulu sangat aku benci. Aku tahu ini mungkin keputusan yang aneh, tapi aku merasa perlu berbicara dengannya. Mungkin, hanya mungkin, dia bisa membantuku memahami apa yang sebenarnya aku inginkan.

Kami bertemu di sebuah taman kota yang sepi. Arya tampak terkejut melihatku. Dia bertanya kabarku, lalu menanyakan tentang Reihan.

Aku menceritakan semuanya, dari awal hingga akhir. Tentang SoulMate AI, tentang Reihan, tentang manipulasi dan kebohongan. Arya mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela.

Setelah aku selesai bercerita, Arya menghela napas panjang. "Naya, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Ini rumit."

"Aku tahu," jawabku, lesu.

"Tapi, dengarkan aku," lanjut Arya. "Mungkin Reihan salah. Mungkin dia melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dia lakukan. Tapi, satu hal yang aku yakini, cinta tidak bisa dipaksakan. Algoritma mungkin bisa mempertemukan dua orang, tapi algoritma tidak bisa menciptakan cinta. Cinta itu tumbuh, berkembang, melalui proses yang alami. Dan, terkadang, cinta itu juga membutuhkan waktu untuk kembali."

Aku menatap Arya, bingung.

"Aku tahu aku menyakitimu dulu, Naya," kata Arya, suaranya lembut. "Aku melakukan banyak kesalahan. Tapi, aku belajar dari kesalahan itu. Aku berubah. Aku ingin memperbaiki semuanya. Jika kamu mau memberiku kesempatan kedua…"

Aku terdiam. Kata-kata Arya menyentuh hatiku. Aku melihat ketulusan di matanya. Aku melihat penyesalan yang mendalam. Aku juga melihat cinta yang masih tersisa, cinta yang dulu pernah begitu membara.

Mungkin, algoritma tidak bisa menciptakan jodoh yang sempurna. Mungkin, jodoh sejati tidak bisa ditemukan melalui aplikasi atau teknologi apa pun. Mungkin, jodoh sejati adalah seseorang yang mau belajar dari kesalahan, seseorang yang mau berjuang untuk cinta, seseorang yang sudah ada di masa laluku, menunggu kesempatan untuk kembali.

Aku tersenyum tipis. "Mungkin… mungkin kita bisa mencobanya lagi, Arya."

Mungkin, hatiku memang bukan untuk algoritma masa depan. Mungkin, hatiku masih terpaut pada hati masa lalu. Dan, mungkin, kali ini, cinta akan menemukan jalannya sendiri, tanpa bantuan teknologi, tanpa manipulasi, hanya dengan kejujuran dan ketulusan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI