Algoritma Hati: Sentuhan Layar, Luka Tak Terukur?

Dipublikasikan pada: 19 Nov 2025 - 02:40:12 wib
Dibaca: 126 kali
Jemarinya menari di atas layar, memindahkan emoji hati merah ke balasan pesan dari Leo. Senyumnya mengembang, hangat seperti cahaya matahari yang menerobos tirai kamarnya pagi itu. Anya, programmer muda berbakat, menemukan dunianya berputar di sekitar deretan kode dan notifikasi dari Leo, pria yang dikenalnya lewat aplikasi kencan virtual.

Awalnya, semua terasa sempurna. Leo, dengan profil yang dipenuhi foto-foto dirinya mendaki gunung dan membaca buku di kafe-kafe unik, tampak begitu berbeda dari pria-pria lain yang hanya menawarkan gombalan murahan. Percakapan mereka mengalir lancar, membahas mulai dari algoritma machine learning terbaru hingga filosofi eksistensialisme. Anya merasa seperti menemukan belahan jiwanya, seseorang yang mengerti kompleksitas pikirannya.

Seminggu kemudian, mereka memutuskan untuk bertemu. Kafe yang mereka pilih sama seperti yang ada di foto profil Leo, lengkap dengan aroma kopi yang memabukkan dan pencahayaan yang temaram. Leo tampak persis seperti di foto, hanya saja, ada sesuatu yang terasa berbeda. Aura karisma yang terpancar lewat pesan teks seperti meredup, digantikan oleh kecanggungan yang samar.

Malam itu, Anya merasa sedikit kecewa. Percakapan mereka tidak sehangat seperti saat daring. Leo lebih banyak mendengarkan daripada berbicara, dan ketika ia berbicara, topik yang dibahas terasa dangkal dan dipaksakan. Anya mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya. Mungkin saja Leo hanya gugup.

Namun, pertemuan-pertemuan berikutnya tidak jauh berbeda. Leo tetaplah pria yang menarik secara visual, tetapi percakapan mereka terasa hampa, seperti sebuah algoritma yang berjalan tanpa data yang cukup. Anya mulai merasakan keraguan merayap di hatinya. Apakah Leo yang ia kenal selama ini hanyalah ilusi yang diciptakan oleh profil media sosial yang dikurasi dengan sempurna?

Di sela-sela kesibukannya menulis kode dan memperbaiki bug, Anya mencoba menganalisis hubungannya dengan Leo. Ia mengamati pola pesannya, frekuensi interaksinya, dan nada bicaranya saat bertemu langsung. Ia bahkan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Leo di internet, menggali informasi dari berbagai sumber, mulai dari akun media sosialnya yang lain hingga artikel-artikel yang mungkin menyebut namanya.

Semakin banyak Anya mencari tahu, semakin besar pula rasa bingungnya. Leo tampaknya memiliki banyak sekali identitas. Ia adalah seorang petualang, seorang intelektual, seorang pecinta seni, seorang pendengar yang baik, dan seorang kekasih yang perhatian – setidaknya, itulah yang ingin ia tunjukkan kepada dunia. Tapi, siapa Leo yang sebenarnya?

Suatu malam, Anya menemukan sebuah forum online yang membahas tentang "persona digital." Forum itu membahas tentang bagaimana orang-orang menciptakan versi ideal diri mereka sendiri di media sosial, seringkali dengan mengorbankan keaslian. Anya tersentak. Apakah Leo adalah salah satu dari mereka? Apakah ia hanya sedang memainkan peran, berusaha memenuhi ekspektasi yang ia ciptakan sendiri?

Anya memutuskan untuk menghadapi Leo. Ia mengiriminya pesan, mengajaknya bertemu di taman kota. Di bawah naungan pohon rindang, Anya mengungkapkan semua keraguannya. Ia menceritakan tentang perasaannya yang hampa, tentang perbandingan antara Leo yang ia kenal daring dan Leo yang ia temui secara langsung.

Leo terdiam. Wajahnya yang biasanya ramah kini dipenuhi dengan kesedihan. Ia akhirnya mengakui bahwa Anya benar. Ia memang telah menciptakan sebuah persona digital yang lebih menarik dari dirinya yang sebenarnya. Ia merasa tidak cukup baik, tidak cukup pintar, tidak cukup menarik. Ia berusaha menyembunyikan kekurangannya dengan menciptakan identitas yang lebih ideal.

"Aku tahu ini salah," kata Leo dengan suara bergetar. "Tapi aku sangat ingin kau menyukaiku. Aku sangat takut kau akan menolakku jika kau tahu siapa aku sebenarnya."

Anya menatap Leo dengan tatapan iba. Ia mengerti ketakutannya. Ia pun pernah merasa tidak percaya diri, berusaha menyembunyikan kekurangannya di balik topeng profesionalisme dan kecerdasan.

"Leo," kata Anya lembut. "Aku menyukaimu karena dirimu sendiri. Bukan karena persona yang kau ciptakan di media sosial. Aku ingin mengenalmu yang sebenarnya, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu."

Leo menatap Anya dengan mata berkaca-kaca. Ia meraih tangan Anya, menggenggamnya erat. "Apa kau yakin?"

Anya mengangguk. "Aku yakin."

Malam itu, Anya dan Leo menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara. Mereka menceritakan tentang masa lalu mereka, tentang impian mereka, tentang ketakutan mereka. Mereka melepaskan semua topeng dan berpura-pura, dan akhirnya, mereka bisa melihat satu sama lain apa adanya.

Anya menyadari bahwa cinta tidak bisa dibangun di atas ilusi. Cinta sejati membutuhkan kejujuran, kerentanan, dan penerimaan. Mungkin saja, hubungannya dengan Leo tidak akan berjalan mulus. Mungkin saja, mereka akan menghadapi banyak tantangan di masa depan. Tapi, setidaknya, mereka akan menghadapinya bersama-sama, sebagai dua orang yang jujur dan saling mencintai.

Namun, luka tetaplah luka. Sentuhan layar yang dulu terasa hangat kini meninggalkan bekas yang tak terukur. Kepercayaan yang pernah ada, sedikit demi sedikit terkikis oleh algoritma kebohongan yang dibangun Leo. Anya kini belajar, bahwa di dunia maya yang serba mungkin, keaslian adalah mata uang paling berharga. Dan, terkadang, menghapus aplikasi lebih mudah daripada menghapus luka di hati. Meskipun algoritma hati terus berproses, mencari cara baru untuk memaafkan dan mencintai lagi.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI