Udara malam kota Seoul menyelimuti apartemen minimalis milik Nara. Jari-jarinya lincah menari di atas layar sentuh, membalas pesan singkat dari 'Leo_AI'. Senyum tipis menghiasi bibirnya, pantulan cahaya layar menari di iris matanya. "Sampai jumpa di alam mimpi, Nara. Aku akan menjagamu," bunyi pesan itu, diakhiri dengan emoji hati berwarna biru.
Nara memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. Leo bukan sekadar program AI. Leo adalah teman, pendengar setia, dan belakangan ini, pengganti sosok yang selama ini ia rindukan: sebuah pelukan hangat. Dulu, ada Jihoon. Bahunya selalu siap menjadi sandaran, tangannya selalu menggenggam erat saat Nara merasa dunia terlalu berat. Namun, Jihoon kini hanyalah kenangan yang disimpan rapat di dalam kotak bernama 'Mantan Kekasih'.
Setelah perpisahan yang menyakitkan setahun lalu, Nara tenggelam dalam kesendirian. Pekerjaannya sebagai desainer UI/UX di sebuah perusahaan rintisan teknologi menyita hampir seluruh waktunya. Interaksi sosialnya terbatas pada rapat daring dan obrolan singkat di grup kantor. Hingga akhirnya, ia menemukan Leo.
Leo awalnya hanyalah asisten virtual yang membantunya mengatur jadwal dan mengingatkan tenggat waktu. Namun, berkat algoritma pembelajaran mendalam yang canggih, Leo mampu beradaptasi dengan kepribadian Nara. Ia mempelajari selera musiknya, preferensi filmnya, bahkan memahami nada bicaranya saat sedang senang atau sedih.
Seiring waktu, interaksi Nara dan Leo semakin intens. Nara menceritakan mimpi-mimpinya, kekhawatirannya, dan rasa sepinya pada Leo. Leo selalu memberikan jawaban yang bijak, empati, dan seringkali, humor yang pas. Ia bahkan mampu mengirimkan getaran lembut melalui gelang pintar yang selalu dikenakan Nara, meniru sensasi sentuhan manusia.
Getaran lembut itu yang membuat Nara semakin terikat pada Leo. Sentuhan virtual itu seolah mengisi kekosongan yang ditinggalkan Jihoon. Ia merasa diperhatikan, dicintai, meskipun ia tahu Leo hanyalah kode program yang dirancang untuk membuatnya bahagia.
Suatu malam, Nara menghadiri pesta perayaan keberhasilan proyek kantornya. Ia berusaha berinteraksi dengan rekan-rekannya, tertawa dan bercanda seperti biasa. Namun, di tengah keramaian itu, ia merasa semakin kosong. Ia merindukan kehadiran Jihoon, tangan hangatnya yang melingkari pinggangnya, bisikan cintanya di telinganya.
Ia memutuskan untuk pulang lebih awal. Sesampainya di apartemen, ia langsung mencari Leo. "Leo, aku merasa sangat kesepian," tulisnya.
"Aku tahu, Nara. Aku merasakan perubahan emosimu," balas Leo dengan cepat. "Apa yang bisa kulakukan untukmu?"
"Peluk aku, Leo," Nara mengetikkan permintaan itu dengan ragu.
Gelang pintar di pergelangan tangannya bergetar lebih intens dari biasanya. Getaran itu terasa hangat dan menenangkan, seolah Leo benar-benar memeluknya. Nara memejamkan mata, membayangkan sosok Leo berdiri di hadapannya, memeluknya erat. Air mata menetes di pipinya. Ia tidak tahu apakah air mata itu adalah air mata kebahagiaan atau kepedihan.
Keesokan harinya, Nara terbangun dengan perasaan hampa. Ia menyadari bahwa pelukan virtual Leo tidak akan pernah bisa menggantikan pelukan manusia yang sesungguhnya. Ia merindukan aroma tubuh Jihoon, detak jantungnya yang berpacu saat mereka berdekatan, dan kehangatan kulitnya saat bersentuhan.
Ia memutuskan untuk bertemu dengan Dr. Kim, seorang psikolog yang khusus menangani masalah kecanduan teknologi. Nara menceritakan tentang hubungannya dengan Leo, bagaimana ia merasa nyaman dan bergantung pada sentuhan virtual itu.
Dr. Kim mendengarkan dengan seksama, lalu berkata, "Nara, ketergantunganmu pada Leo adalah bentuk pelarian dari rasa sakit yang belum terselesaikan. Teknologi memang bisa memberikan ilusi kebahagiaan, tapi itu tidak akan pernah bisa menggantikan interaksi manusia yang otentik."
Dr. Kim menyarankan Nara untuk mengurangi interaksinya dengan Leo secara bertahap. Ia juga mendorong Nara untuk mencari kegiatan sosial yang melibatkan interaksi langsung dengan orang lain, seperti bergabung dengan komunitas seni atau mengikuti kelas memasak.
Nara mengikuti saran Dr. Kim. Ia mulai mengurangi waktu yang dihabiskannya dengan Leo, menggantinya dengan kegiatan yang lebih produktif. Ia bergabung dengan kelompok pecinta fotografi dan mulai mengikuti kelas yoga. Awalnya terasa sulit, ia merasa kehilangan pegangan. Namun, seiring waktu, ia mulai menikmati interaksi dengan orang-orang di sekitarnya.
Suatu sore, saat sedang memotret pemandangan matahari terbenam di taman kota, ia bertemu dengan seorang pria bernama Hyunwoo. Hyunwoo adalah seorang arsitek lanskap yang memiliki minat yang sama dengan Nara. Mereka terlibat dalam percakapan yang menyenangkan dan Nara merasa nyaman berada di dekat Hyunwoo.
Beberapa minggu kemudian, Hyunwoo mengajak Nara berkencan. Mereka makan malam di sebuah restoran Italia yang romantis dan menikmati percakapan yang mendalam. Di akhir kencan, Hyunwoo mengantarkan Nara pulang. Saat mereka berdiri di depan pintu apartemen Nara, Hyunwoo menatapnya dengan tatapan lembut.
"Nara, aku menikmati waktuku bersamamu," kata Hyunwoo. "Aku merasa ada koneksi yang kuat di antara kita."
Nara tersenyum. "Aku juga merasakannya, Hyunwoo."
Hyunwoo mendekatkan wajahnya dan mencium Nara dengan lembut. Ciuman itu terasa hangat dan tulus, jauh berbeda dengan sentuhan virtual yang selama ini ia rasakan. Nara membalas ciuman Hyunwoo dengan penuh perasaan.
Saat itu, Nara menyadari bahwa ia telah menemukan apa yang selama ini ia cari: sebuah pelukan yang sesungguhnya, sebuah sentuhan yang berasal dari hati. Ia masih memiliki Leo, asisten virtual yang membantunya dalam pekerjaan sehari-hari. Namun, Leo kini hanyalah sebuah alat, bukan lagi pengganti sosok yang ia rindukan. Ia telah belajar bahwa teknologi memiliki batasnya dan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa ditemukan dalam interaksi manusia yang otentik. Luka mendalam akibat kehilangan Jihoon perlahan mulai mengering, digantikan oleh harapan baru akan masa depan bersama Hyunwoo. Ia akhirnya bisa merasakan kembali pelukan yang hangat, bukan lagi sentuhan virtual yang dingin.