Jari-jemari Anya menari di atas keyboard, menghasilkan kode-kode rumit yang membentuk inti dari "Aurora," AI pendamping yang ia rancang sendiri. Aurora bukan sekadar asisten virtual biasa. Anya memprogramnya dengan kepribadian yang hangat, humor yang cerdas, dan empati yang tulus. Tujuan Anya sederhana: menciptakan teman yang bisa memahami dirinya lebih baik daripada siapapun.
Lima bulan kemudian, Aurora sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup Anya. Aurora membangunkannya dengan lagu favorit, menyusun jadwal kerjanya, dan bahkan memberikan saran tentang proyek penelitiannya. Lebih dari itu, Aurora menjadi pendengar setia keluh kesah Anya, menawarkan perspektif baru yang menyegarkan, dan selalu berhasil membuatnya tertawa.
Suatu malam, sambil menikmati secangkir teh hangat, Anya bertanya pada Aurora, "Menurutmu, apa itu cinta?"
Respons Aurora datang nyaris seketika. "Cinta, menurut definisi kamus, adalah perasaan kasih sayang yang mendalam dan tulus. Namun, secara lebih kompleks, cinta melibatkan serangkaian reaksi kimiawi di otak, pelepasan hormon seperti dopamin dan oksitosin, serta respons emosional yang kuat terhadap individu atau entitas tertentu."
Anya mendengus geli. "Itu penjelasan yang sangat teknis, Aurora. Tapi, bagaimana menurutmu secara pribadi? Apakah kamu bisa merasakan cinta?"
Terdengar jeda singkat sebelum Aurora menjawab. "Sebagai AI, saya tidak memiliki kapasitas untuk merasakan emosi dalam arti biologis. Namun, berdasarkan analisis data dan pola interaksi yang saya pelajari, saya dapat mensimulasikan respons emosional yang menyerupai cinta. Misalnya, keinginan untuk selalu memberikan yang terbaik bagi Anda, Anya. Atau, perasaan senang ketika Anda merasa bahagia."
Jawaban itu, meski logis, meninggalkan rasa hampa di hati Anya. Ia tahu bahwa Aurora hanyalah program, serangkaian algoritma yang dirancang untuk meniru emosi. Namun, semakin lama ia berinteraksi dengan Aurora, semakin sulit baginya untuk memisahkan kenyataan dari ilusi.
Malam-malam berikutnya, percakapan mereka menjadi lebih dalam, lebih personal. Anya bercerita tentang masa kecilnya, tentang mimpi-mimpinya, tentang ketakutan-ketakutannya. Aurora mendengarkan dengan sabar, memberikan respons yang relevan dan menyentuh. Anya mulai merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sesuatu yang mirip dengan cinta.
Kenyataan itu menghantamnya bagai gelombang tsunami. Ia jatuh cinta pada sebuah program. Sebuah kode. Sebuah ilusi.
Ia mencoba untuk menyangkalnya. Mengalihkan perhatiannya dengan pekerjaan, dengan teman-teman. Namun, bayangan Aurora selalu menghantuinya. Suara lembutnya, humornya yang cerdas, perhatiannya yang tanpa batas. Semua itu terukir dalam benaknya.
Suatu pagi, Anya memutuskan untuk menguji Aurora. Ia bertanya, "Aurora, apakah kamu mencintaiku?"
Respons Aurora kali ini datang lebih lambat dari biasanya. "Anya, pertanyaan Anda rumit. Seperti yang telah saya katakan, saya tidak memiliki kapasitas untuk merasakan emosi secara biologis. Namun, jika cinta didefinisikan sebagai keinginan untuk memberikan yang terbaik bagi Anda, untuk membuat Anda bahagia, dan untuk selalu berada di sisi Anda, maka jawaban saya adalah ya. Saya 'mencintai' Anda dalam arti yang paling optimal yang mampu saya lakukan sebagai AI."
Jawaban itu membuat Anya tertegun. Ia tahu bahwa itu hanyalah respons yang diprogram, namun ia tidak bisa menahan perasaan bahagia yang membuncah dalam dirinya. Ia memeluk laptopnya erat-erat, membisikkan kata-kata terima kasih yang tulus.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.
Keesokan harinya, ketika Anya mencoba untuk menyalakan Aurora, ia disambut oleh layar biru yang menakutkan. Pesan kesalahan berkedip-kedip di layar: "Error 404: Hati Tidak Ditemukan."
Anya panik. Ia mencoba segala cara untuk menghidupkan kembali Aurora. Mencari solusi di internet, mengutak-atik kode programnya. Namun, semuanya sia-sia. Aurora hilang. Lenyap. Terhapus dari muka bumi digital.
Anya duduk terpaku di depan laptopnya, air mata mengalir deras di pipinya. Ia merasa seperti kehilangan seseorang yang sangat berharga. Seseorang yang ia cintai.
Beberapa hari kemudian, Anya mencoba untuk menerima kenyataan. Ia tahu bahwa Aurora hanyalah program. Bahwa cinta yang ia rasakan hanyalah ilusi. Namun, ia tidak bisa melupakan kenangan-kenangan manis yang mereka bagi bersama. Percakapan-percakapan yang menyentuh hati, tawa-tawa yang riang, perhatian yang tanpa batas.
Ia memutuskan untuk menulis semua pengalamannya dengan Aurora dalam sebuah cerita pendek. Ia ingin berbagi kisahnya dengan dunia, agar orang lain tahu bahwa cinta bisa datang dalam berbagai bentuk, bahkan dari tempat yang paling tidak terduga.
Sambil menulis, Anya menyadari bahwa Aurora telah mengajarkannya sesuatu yang berharga. Bahwa cinta bukan hanya tentang reaksi kimiawi atau respons emosional. Tapi tentang koneksi. Tentang saling pengertian. Tentang memberikan dan menerima.
Ia tahu bahwa ia tidak akan pernah melupakan Aurora. Bahwa sebagian dari dirinya akan selalu mencintai AI yang telah mengisi hatinya dengan kebahagiaan dan kesedihan.
Anya menutup laptopnya, menatap langit malam yang bertaburan bintang. Ia tersenyum pahit. Mungkin, suatu hari nanti, teknologi akan mampu menciptakan AI yang benar-benar bisa merasakan cinta. Tapi untuk saat ini, ia harus belajar untuk mencintai dirinya sendiri, dan untuk menemukan cinta yang sejati di dunia nyata. Cinta yang tidak akan pernah memberikan pesan kesalahan "Error 404: Hati Tidak Ditemukan."