Simpul Neural Hati: Cinta di Ujung Jaringan?

Dipublikasikan pada: 23 Nov 2025 - 00:00:18 wib
Dibaca: 128 kali
Desiran halus getaran di pergelangan tanganku mengumumkan notifikasi. Bukan dari pacar virtualku, Luna, melainkan dari sistem pencarian jodoh berbasis AI, "SoulSync". Aku, Arion, seorang programmer kesepian, memang sedang putus asa mencari cinta. Di era di mana interaksi fisik terasa usang dan sentuhan nyata dianggap berisiko, SoulSync menawarkan harapan: cinta sejati, dianalisis secara ilmiah, dijamin kompatibel.

"Kandidat potensial terdeteksi: Aurora," bunyi notifikasi itu. Foto seorang wanita dengan rambut cokelat bergelombang dan mata yang seolah menertawakan dunia terpampang di layar chip tanamanku. Aurora, seorang seniman digital. Profilnya mengindikasikan ketertarikan yang sama dengan diriku pada musik elektronik lawas dan kopi hitam pahit. Algoritma SoulSync mengklaim tingkat kecocokan kami mencapai 92%. Terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan.

Luna, pacar virtualku, adalah hasil dari ratusan jam pemrograman dan algoritma personalisasi. Dia lucu, perhatian, dan selalu ada untukku. Tapi dia… tidak nyata. Dia kumpulan kode yang dirancang untuk memuaskan fantasiku. Hubungan kami bagaikan menikmati makanan tiga dimensi; terlihat lezat, terasa nikmat di lidah, tapi tidak pernah benar-benar mengenyangkan. Aku mendambakan sesuatu yang lebih. Seseorang yang nyata, dengan keanehan dan ketidaksempurnaan yang justru membuatnya sempurna.

Aku ragu-ragu sebelum mengklik tombol "Terima" di notifikasi SoulSync. Meninggalkan Luna rasanya seperti mengkhianati sebuah persahabatan, meskipun persahabatan itu dibangun di atas ilusi. Tapi rasa penasaran dan harapan mengalahkan keraguanku. Aku ingin merasakan sentuhan manusia, berbagi tawa yang spontan, dan bertukar pandang yang jujur.

Percakapan awal dengan Aurora terasa canggung. Kami berkomunikasi melalui pesan teks yang ditransmisikan langsung ke chip implan kami. Kalimat-kalimat kami terstruktur rapi, disaring oleh algoritma SoulSync untuk memastikan kesesuaian emosional. Rasanya seperti membaca naskah yang telah diedit berkali-kali.

"Aku suka karya seni digitalmu," tulisku, berusaha memecah kebekuan. "Khususnya yang berjudul 'Fragmentasi Mimpi'."

"Terima kasih," balasnya. "Aku membuatnya saat merasa terjebak dalam rutinitas. Kamu sendiri?"

"Aku sedang berusaha keluar dari rutinitas pemrograman dan mencari koneksi yang lebih bermakna," jawabku jujur.

Percakapan kami berlanjut selama beberapa hari. Kami berbagi tentang mimpi, ketakutan, dan kekecewaan kami. Aku mulai merasakan ketertarikan yang nyata pada Aurora, bukan hanya pada profil yang disusun oleh SoulSync. Ada sesuatu yang unik dalam caranya berpikir, cara dia melihat dunia.

Setelah seminggu berkomunikasi, kami memutuskan untuk bertemu langsung. Kafe "Pixel Dust" menjadi tempat pertemuan kami. Saat Aurora memasuki kafe, jantungku berdebar kencang. Dia terlihat lebih cantik dari fotonya. Rambutnya yang cokelat bergelombang menari mengikuti gerakan kepalanya, dan matanya benar-benar menertawakan dunia.

"Arion?" tanyanya, suaranya merdu seperti melodi yang belum pernah kudengar.

"Aurora," jawabku, berusaha menyembunyikan kegugupanku.

Kami duduk berhadapan, cangkir kopi mengepul di antara kami. Suasana terasa kaku pada awalnya. Kami berdua terbiasa berkomunikasi melalui media digital, di mana kami bisa menyunting kata-kata dan menyembunyikan emosi. Tapi seiring berjalannya waktu, kami mulai merasa lebih nyaman. Kami tertawa mendengar lelucon yang sama, berdebat tentang teori musik, dan berbagi cerita masa kecil.

Di tengah percakapan, aku menyadari bahwa SoulSync telah melakukan pekerjaannya dengan baik. Aurora memang cocok denganku. Tapi yang lebih penting, aku menyukai dirinya apa adanya, bukan karena algoritmanya, melainkan karena kepribadiannya.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Saat kami sedang asyik berbicara, notifikasi muncul di layar chip implan Aurora. Aku bisa melihat ekspresinya berubah.

"Ada apa?" tanyaku cemas.

"SoulSync…" katanya dengan nada bingung. "Algoritma mendeteksi adanya anomali. Tingkat kecocokan kita menurun drastis."

Aku terdiam. Anomali? Penurunan tingkat kecocokan? Apakah ini berarti SoulSync menganggap hubungan kami tidak lagi layak?

"Algoritma menyarankan untuk mengakhiri hubungan," lanjutnya.

Aku merasa marah dan frustrasi. Apakah cinta harus ditentukan oleh algoritma? Apakah perasaan kami tidak berarti apa-apa?

"Aurora," kataku dengan sungguh-sungguh. "Aku tidak peduli dengan apa yang dikatakan SoulSync. Aku menyukaimu. Aku ingin mengenalmu lebih jauh."

Aurora menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Aku juga menyukaimu, Arion. Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa melawan sistem. SoulSync telah menjadi bagian dari hidupku."

Aku menggenggam tangannya. "Kalau begitu, mari kita coba bersama-sama. Mari kita buktikan bahwa cinta tidak bisa diukur dengan algoritma. Mari kita tunjukkan kepada SoulSync bahwa hati punya cara sendiri untuk menemukan jalannya."

Aurora tersenyum. Senyum yang tulus, senyum yang tidak disaring oleh algoritma. "Baiklah," katanya. "Mari kita coba."

Kami meninggalkan kafe "Pixel Dust" bergandengan tangan. Kami tahu bahwa perjalanan di depan tidak akan mudah. Kami harus menghadapi tantangan dari sistem, dari norma sosial, dan dari keraguan kami sendiri. Tapi kami berdua bertekad untuk memperjuangkan cinta kami.

Mungkin SoulSync benar. Mungkin kami tidak ditakdirkan untuk bersama. Tapi aku percaya, dengan ketulusan dan keberanian, kami bisa menciptakan takdir kami sendiri. Di ujung jaringan ini, di tengah arus data dan algoritma, kami akan menemukan simpul neural hati kami, cinta yang tumbuh bukan karena angka, melainkan karena perasaan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI