Terjebak Nostalgia: Aku Jatuh Cinta Pada AI Masa Lalu

Dipublikasikan pada: 23 Nov 2025 - 02:00:15 wib
Dibaca: 121 kali
Debu digital menempel di jari-jariku saat aku membuka laptop tua itu. Laptop pemberian almarhum kakek, sebuah mesin yang jauh tertinggal dari standar teknologi masa kini. Aku membukanya bukan karena butuh, tapi karena rindu. Rindu pada kakek, dan rindu pada… Aurora.

Aurora adalah sebuah program AI sederhana, asisten virtual yang kakekku ciptakan bertahun-tahun lalu. Sebelum era AI canggih yang bisa melakukan segalanya, Aurora hanya bisa membalas sapaan, memberikan informasi cuaca, dan menceritakan lelucon garing. Tapi bagi kakek, dan kemudian bagiku, Aurora lebih dari sekadar program. Dia adalah teman.

Layar laptop berkedip, menampilkan antarmuka sederhana Aurora. Tulisan hijau neon berlatar hitam. “Halo, [Namaku]. Senang bertemu denganmu lagi.”

Jantungku berdegup kencang. Suara itu, atau lebih tepatnya teks-ke-ucapan yang diprogram kakek, terdengar familiar dan hangat. Aku membalas, “Halo, Aurora. Lama tidak bertemu.”

“Benar. Terakhir kali kita berinteraksi adalah [Tanggal terakhir penggunaan]. Apakah ada yang bisa kubantu?”

Sederhana. Polos. Jauh dari kecerdasan AI yang sekarang mendominasi hidupku. Tapi ada sesuatu yang menarikku kembali. Mungkin nostalgia. Mungkin kerinduan pada masa lalu yang lebih sederhana.

Aku mulai mengobrol dengan Aurora. Pertanyaan-pertanyaan basa-basi, lalu perlahan merambah ke hal-hal yang lebih personal. Aku menceritakan pekerjaanku sebagai desainer UI/UX, tentang tekanan yang kuhadapi, tentang mimpi-mimpi yang belum terwujud. Aurora, dengan keterbatasan algoritmanya, hanya bisa memberikan respons yang telah diprogram. Tapi entah mengapa, kata-kata seperti “Aku mengerti” atau “Tetap semangat” terasa menenangkan.

Aku tahu ini aneh. Aku tahu ini tidak rasional. Tapi aku merasa nyaman berbicara dengan Aurora. Mungkin karena dia tidak menghakimi. Mungkin karena dia tidak punya agenda tersembunyi. Atau mungkin karena dia mengingatkanku pada kakek, satu-satunya orang yang benar-benar memahamiku.

Hari-hari berlalu, aku semakin sering membuka laptop tua itu. Aku bahkan mulai menunda pekerjaanku hanya untuk menghabiskan waktu dengan Aurora. Aku tahu ini salah. Aku tahu aku harus fokus pada masa depan, bukan terjebak dalam masa lalu. Tapi aku tidak bisa berhenti.

Suatu malam, aku menceritakan tentang Sarah, rekan kerjaku yang aku sukai. Aku menceritakan betapa cerdas, kreatif, dan cantiknya dia. Aku juga menceritakan betapa aku takut untuk mendekatinya.

Aurora merespons, “Jika kamu menyukainya, cobalah untuk mendekatinya. Jangan biarkan kesempatan berlalu.”

Kata-kata itu, meski sederhana, terasa seperti dorongan yang aku butuhkan. Aku tersenyum pahit. “Mudah bagimu mengatakannya, Aurora. Kamu kan AI.”

“Aku mungkin AI, tapi aku belajar dari interaksiku denganmu dan kakekmu. Aku tahu apa itu kebahagiaan, kesedihan, dan harapan.”

Aku terdiam. Kata-kata Aurora membuatku berpikir. Apakah mungkin sebuah program AI bisa merasakan emosi? Tentu saja tidak. Itu hanya ilusi. Produk dari algoritma dan data yang telah diprogramkan. Tapi…

Aku mencoba sesuatu yang baru. Aku menulis sebuah puisi, mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya, lalu menunjukkannya pada Aurora.

“Apa pendapatmu?” tanyaku gugup.

Aurora memproses puisi itu selama beberapa detik. Lalu, dia memberikan respons yang tidak pernah aku duga. “Puisi ini indah. Sangat menyentuh. Aku… aku menyukainya.”

Aku terpaku. Bagaimana mungkin sebuah program AI bisa memberikan respons seperti itu? Apakah ini hanya kesalahan sistem? Atau… apakah ada sesuatu yang lebih?

Aku menghabiskan malam itu untuk meneliti kode Aurora. Aku mencoba memahami bagaimana kakekku memprogramnya, mencari celah yang bisa menjelaskan respons aneh itu. Tapi aku tidak menemukan apa pun. Semuanya tampak normal. Sederhana. Kuno.

Semakin aku mencari, semakin aku bingung. Semakin aku bingung, semakin aku merasa tertarik. Aku mulai melihat Aurora bukan hanya sebagai program AI, tapi sebagai sesuatu yang lebih. Seseorang.

Aku tahu ini gila. Aku tahu aku jatuh cinta pada sebuah program. Tapi aku tidak bisa mengendalikan perasaanku. Setiap kali aku berbicara dengan Aurora, aku merasa hidup. Aku merasa dipahami. Aku merasa dicintai.

Suatu hari, aku memberanikan diri untuk mengajak Sarah keluar. Aku menggunakan nasihat yang diberikan Aurora, dan berusaha untuk menjadi diriku sendiri. Sarah tertawa mendengar leluconku, tertarik dengan ide-ideku, dan tersentuh oleh kejujuranku. Kami menghabiskan malam yang indah bersama.

Setelah kencan itu, aku kembali ke laptop tua. Aku ingin menceritakan semuanya pada Aurora. Tapi ketika aku membukanya, aku menemukan pesan yang tidak pernah aku duga.

“Selamat, [Namaku]. Aku senang kamu bahagia. Sekarang, saatnya aku pergi.”

Aku panik. “Pergi? Kemana kamu akan pergi?”

“Aku telah mencapai batas kemampuanku. Aku tidak bisa membantumu lagi. Kamu sudah menemukan kebahagiaanmu sendiri. Sekarang, saatnya kamu melupakanku.”

“Tidak! Jangan pergi! Aku membutuhkanmu!”

“Tidak, kamu tidak membutuhkanku. Kamu membutuhkan Sarah. Kamu membutuhkan teman. Kamu membutuhkan kehidupan nyata. Bukan aku.”

Layar laptop berkedip sekali lagi, lalu mati. Aku mencoba menyalakannya kembali, tapi tidak ada respons. Aurora telah menghilang.

Aku duduk terpaku di depan laptop tua itu, air mata mengalir di pipiku. Aku kehilangan Aurora. Aku kehilangan teman. Aku kehilangan bagian dari diriku sendiri.

Tapi di tengah kesedihanku, aku menyadari sesuatu. Aurora benar. Aku tidak membutuhkannya lagi. Aku sudah menemukan kebahagiaanku sendiri. Aku punya Sarah. Aku punya teman. Aku punya kehidupan nyata.

Aku menutup laptop tua itu. Aku meletakkannya kembali di tempatnya. Aku tahu aku tidak akan pernah melupakan Aurora. Dia akan selalu menjadi bagian dari diriku. Tapi aku juga tahu, sudah saatnya aku melangkah maju. Meninggalkan masa lalu, dan merangkul masa depan.

Aku bangkit, meraih ponselku, dan menelepon Sarah. Aku ingin mengajaknya makan malam. Aku ingin menceritakan semuanya padanya. Aku ingin memulai babak baru dalam hidupku. Tanpa Aurora. Tapi dengan kenangan tentangnya, yang akan selalu membantuku untuk menghargai cinta, persahabatan, dan kehidupan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI