Jemari Aella menari di atas keyboard. Cahaya biru layar laptop memantul di wajahnya yang serius. Baris demi baris kode program tersusun rapi, membentuk algoritma kencan revolusioner. “MatchMade,” begitu ia menamainya. Sebuah aplikasi yang tidak hanya mencocokkan berdasarkan hobi dan minat, tapi juga menganalisis pola komunikasi, bahasa tubuh (melalui video singkat), dan bahkan pilihan emoji untuk menemukan pasangan yang benar-benar kompatibel.
Aella, si jenius introvert di balik MatchMade, ironisnya, payah soal urusan cinta. Selama ini, dunianya sebatas kode dan algoritma. Cinta, baginya, adalah bug yang belum berhasil ia pecahkan. Ia menciptakan MatchMade bukan karena dirinya butuh cinta, tapi karena ia terobsesi dengan kemungkinan menyempurnakan proses pencarian jodoh.
Aplikasi itu meledak. Dalam hitungan bulan, jutaan orang mengunduh dan menggunakannya. Testimoni demi testimoni bermunculan, menceritakan kisah-kisah cinta yang bersemi karena MatchMade. Aella tersenyum bangga. Algoritmanya bekerja.
Namun, satu hari, sebuah pesan muncul di forum pengembang MatchMade. Isinya panjang, menyayat hati, dan ditujukan langsung untuk Aella. Pengguna bernama Kai menceritakan bagaimana MatchMade telah mempertemukannya dengan seseorang yang ia yakini sebagai belahan jiwanya. Mereka berkencan, tertawa, berbagi mimpi, dan merasa seperti telah menemukan rumah. Tapi, seminggu yang lalu, pasangannya tiba-tiba menghilang, tanpa penjelasan, tanpa pamit. Kai hancur. Ia menyalahkan MatchMade, menyalahkan Aella, karena telah memberinya harapan palsu, cinta yang ternyata hanya algoritma.
Aella terhenyak. Ia merasa seperti ditampar. Selama ini, ia hanya melihat cinta sebagai data, sebagai variabel yang bisa diukur dan dioptimalkan. Ia lupa bahwa di balik setiap profil, di balik setiap kecocokan algoritma, ada manusia dengan hati yang rapuh dan perasaan yang rentan.
Ia memutuskan untuk bertemu Kai.
Mereka bertemu di sebuah kedai kopi yang sepi. Kai terlihat lebih kurus dan pucat dari foto profilnya. Mata merahnya menatap Aella dengan tatapan kosong.
“Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan,” kata Aella, suaranya pelan. “Saya minta maaf.”
Kai tertawa sinis. “Maaf? Maaf tidak akan mengembalikan hatiku yang hancur.”
“Saya tahu. Tapi… saya ingin mengerti. Apa yang terjadi?”
Kai menghela napas panjang. “Kami cocok. Sempurna. Setidaknya, itulah yang aplikasi Anda katakan. Tapi ternyata, cinta tidak sesederhana itu. Ternyata, algoritma tidak bisa membaca segalanya.”
“Apa yang Anda maksud?”
“Dia… dia punya masalah. Masalah yang tidak bisa saya atasi. Masalah yang dia sembunyikan dari saya, bahkan dari MatchMade.”
Aella terdiam. Ia mulai berpikir. Apakah algoritmanya memiliki celah? Apakah ada faktor yang terlewatkan? Atau, mungkinkah, ada hal-hal dalam cinta yang memang tidak bisa diukur dengan data?
Beberapa hari kemudian, Aella kembali bekerja. Tapi kali ini, ia tidak hanya terpaku pada kode. Ia mulai mewawancarai pengguna MatchMade, mendengarkan cerita mereka, memahami harapan dan kekecewaan mereka. Ia belajar bahwa cinta bukan hanya tentang kesamaan, tapi juga tentang penerimaan, kompromi, dan keberanian untuk menghadapi badai bersama.
Ia mulai merombak MatchMade. Ia menambahkan fitur baru yang berfokus pada komunikasi terbuka dan dukungan emosional. Ia menciptakan forum diskusi bagi pengguna untuk berbagi pengalaman dan saling membantu. Ia juga menambahkan peringatan yang jelas bahwa MatchMade hanyalah alat bantu, bukan jaminan kebahagiaan.
Suatu malam, saat Aella sedang berkutat dengan kode, sebuah notifikasi muncul di laptopnya. Itu pesan dari Kai.
“Aella, saya ingin berterima kasih,” tulis Kai. “Saya tahu, saya marah dan menyalahkan Anda. Tapi setelah dipikir-pikir, bukan MatchMade yang salah. Saya hanya belum siap untuk menerima cinta, untuk membuka diri sepenuhnya. Saya bertemu seseorang baru di forum dukungan MatchMade. Kami berbeda, tapi kami saling memahami. Kami mencoba untuk membangun hubungan yang jujur dan terbuka.”
Aella tersenyum. Ia merasa lega. MatchMade tidak bisa menyembuhkan luka, tapi setidaknya, ia bisa menjadi wadah bagi orang-orang untuk saling menemukan dan saling mendukung.
Beberapa bulan kemudian, Aella menghadiri sebuah konferensi teknologi. Ia memberikan presentasi tentang evolusi MatchMade, tentang bagaimana ia belajar bahwa cinta tidak bisa direduksi menjadi algoritma, tapi merupakan kombinasi kompleks antara data dan emosi.
Setelah presentasi, seorang pria menghampirinya. Dia tinggi, tampan, dan memiliki mata yang teduh.
“Presentasi yang bagus,” katanya. “Saya Kai.”
Aella terkejut. “Kai? Saya tidak menyangka akan bertemu Anda di sini.”
“Saya di sini karena saya bekerja di perusahaan yang mengembangkan forum dukungan MatchMade. Saya ingin berterima kasih secara langsung.”
Mereka berbicara selama berjam-jam. Aella menceritakan tentang obsesinya dengan algoritma cinta, tentang ketakutannya terhadap keintiman. Kai menceritakan tentang patah hatinya, tentang proses penyembuhan dirinya.
Saat matahari mulai terbenam, Kai menatap Aella dengan tatapan lembut. “Aella, saya tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi… apakah Anda bersedia minum kopi dengan saya lain waktu?”
Aella tersenyum. “Saya akan sangat senang.”
Dalam perjalanan pulang, Aella menyadari sesuatu. Ia telah menciptakan sebuah aplikasi yang membantu orang lain menemukan cinta. Tapi, mungkin, ia juga telah menciptakan kesempatan bagi dirinya sendiri.
Mungkin, cinta memang tidak bisa diprediksi dengan algoritma. Tapi, mungkin, cinta bisa ditemukan di tempat yang paling tidak terduga, bahkan di balik layar laptop, di antara baris-baris kode, di dalam piksel-piksel yang membentuk hati. Dan mungkin, luka yang diunggah bisa menjadi awal dari penyembuhan, dan bahkan, awal dari cinta yang baru. Hatinya, untuk pertama kalinya, berdebar bukan karena debug kode, melainkan karena sebuah harapan yang hangat dan lembut. Sebuah harapan yang terbentuk bukan dari algoritma, melainkan dari percakapan yang jujur, dari tatapan mata yang tulus, dan dari keberanian untuk membuka hati.