Skripsi Cinta: Algoritma Menemukanmu, Hati Memilihku?

Dipublikasikan pada: 24 Nov 2025 - 02:40:11 wib
Dibaca: 122 kali
Jari-jemariku menari di atas keyboard, menuntaskan baris-baris kode yang terasa lebih rumit dari biasanya. Bukan karena sintaks yang salah, melainkan karena hati yang tak fokus. Skripsi tentang algoritma pencari jodoh ini seharusnya menjadi puncak prestasiku, gerbang menuju dunia riset yang gemerlap. Tapi kini, layaknya algoritma yang kususun, hatiku dipenuhi variabel yang saling bertentangan, memaksa otakku bekerja lebih keras dari seharusnya.

“Reza, kopi?” suara lembut menyentakku dari lamunan.

Kulihat Anya berdiri di ambang pintu lab, senyumnya menenangkan seperti debug yang berhasil kulakukan setelah semalaman bergadang. Anya, si cerdas nan cantik, asisten dosen yang selalu siap membantu. Dialah alasan utama kenapa aku betah berlama-lama di lab, bahkan saat deadline skripsi menghantuiku.

“Terima kasih, Anya. Kamu penyelamatku,” ucapku sambil menerima cangkir berisi cairan hitam pekat itu.

Anya terkekeh. “Kamu ini, lebay. Semangat ya, sebentar lagi selesai kan?”

Aku mengangguk ragu. Algoritmaku memang sudah berjalan, bahkan bisa memprediksi pasangan yang cocok berdasarkan data kepribadian, hobi, dan preferensi lainnya. Ironisnya, algoritma itu justru mempertemukanku dengan seseorang yang jauh dari bayanganku.

“Ngomong-ngomong soal skripsi kamu, algoritma itu sudah menghasilkan ‘match’?” tanya Anya, matanya berbinar penuh minat.

Aku menghela napas. “Sudah. Dan hasilnya… cukup mengejutkan.”

Anya menaikkan alisnya, menunggu kelanjutanku.

“Algoritma itu mempertemukanku dengan… Sarah.”

Nama itu terasa asing di lidahku. Sarah. Seorang mahasiswi jurusan sastra, yang hobinya menulis puisi senja dan membaca buku-buku klasik. Kami bertemu di acara seminar kampus beberapa waktu lalu. Jujur saja, interaksi kami saat itu hanya sebatas basa-basi.

“Sarah? Yang anak sastra itu?” tanya Anya, raut wajahnya sedikit berubah.

Aku mengangguk lagi. “Ya. Menurut algoritma, kami memiliki kecocokan yang tinggi. Nilai kompatibilitas kami mencapai 92%.”

Keheningan menyelimuti kami. Aku bisa merasakan perubahan aura Anya. Senyumnya memudar, digantikan ekspresi yang sulit kubaca.

“Itu… bagus,” ucapnya pelan, nyaris tak terdengar.

Aku tahu dia berbohong. Anya selama ini selalu mendukungku, bahkan sering memberikan ide-ide brilian untuk skripsiku. Tapi sekarang, entah kenapa dia terlihat tidak senang dengan hasil algoritmaku.

“Anya, kamu… kenapa?” tanyaku hati-hati.

Dia menggeleng. “Tidak apa-apa, Reza. Aku cuma sedikit lelah. Mungkin butuh kopi juga.”

Aku memperhatikannya. Ada sesuatu yang dia sembunyikan. Aku mengenalnya terlalu baik untuk tidak menyadarinya.

Malam itu, aku kembali berkutat dengan skripsi. Namun, pikiranku melayang jauh dari algoritma. Aku terus memikirkan Anya dan reaksinya terhadap hasil algoritmaku. Mungkinkah… dia menyukaiku?

Aku menggelengkan kepala, menepis pikiran itu. Anya terlalu baik, terlalu pintar, untuk menyukai seorang kutu buku sepertiku. Tapi, semakin aku mencoba melupakannya, semakin jelas bayangannya di benakku.

Akhirnya, aku memutuskan untuk jujur pada diriku sendiri. Aku memang menyukai Anya. Lebih dari sekadar teman, lebih dari sekadar rekan kerja. Tapi bagaimana mungkin? Aku terlalu fokus pada skripsi, terlalu sibuk mencari algoritma cinta, hingga tak menyadari perasaan yang tumbuh di dekatku.

Keesokan harinya, aku memberanikan diri menemui Anya. Kutemukan dia sedang duduk di taman kampus, membaca buku.

“Anya, boleh aku bicara sebentar?”

Dia mendongak, menyambutku dengan senyum tipis. “Tentu, Reza. Ada apa?”

Aku menarik napas dalam-dalam. “Soal Sarah… dan algoritma itu… aku merasa ada yang salah.”

“Salah? Maksud kamu?” tanya Anya, raut wajahnya menunjukkan kebingungan.

“Algoritma itu memang bisa memprediksi kecocokan berdasarkan data. Tapi, cinta bukan hanya soal data, kan? Cinta itu tentang perasaan, tentang koneksi, tentang chemistry yang tidak bisa diukur dengan angka.”

Aku mendekatinya, menatap matanya dalam-dalam. “Anya, aku selama ini terlalu sibuk mencari cinta di dalam algoritma, sampai lupa melihat ke sekelilingku. Aku lupa bahwa cinta itu sudah ada di dekatku, bahkan mungkin sudah tumbuh sejak lama.”

Anya terdiam, matanya berkaca-kaca.

“Reza… aku…”

“Anya, aku menyukaimu. Aku tahu ini mungkin terdengar bodoh, apalagi setelah algoritma itu menjodohkanku dengan Sarah. Tapi, aku tidak bisa membohongi perasaanku lagi. Aku ingin tahu… apakah kamu merasakan hal yang sama?”

Anya menunduk, air mata mulai menetes di pipinya. Aku merasa jantungku berdebar kencang, menunggu jawabannya yang akan menentukan segalanya.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, Anya mengangkat wajahnya, menatapku dengan mata yang penuh emosi.

“Reza… aku juga menyukaimu. Sebenarnya, aku sudah lama menyukaimu. Tapi aku takut… takut kamu tidak merasakan hal yang sama. Aku takut skripsi kamu akan membuatmu menjauh dariku.”

Aku tersenyum, meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Skripsi ini memang membawaku pada Sarah, tapi hatiku memilihmu, Anya. Algoritma mungkin bisa menemukanmu, tapi hanya hati yang bisa memilihmu.”

Anya membalas genggamanku, senyumnya mengembang. “Jadi, bagaimana dengan Sarah?” tanyanya sambil tertawa kecil.

Aku mengangkat bahu. “Algoritma bisa saja salah. Dan lagipula, aku lebih memilih untuk mengikuti kata hatiku.”

Skripsi tentang algoritma pencari jodoh akhirnya selesai. Aku tetap mempertahankan hasil algoritmaku, tapi aku menambahkan satu catatan penting: Cinta tidak bisa diprediksi sepenuhnya oleh algoritma. Cinta itu adalah misteri, sebuah anomali yang hanya bisa dipecahkan oleh hati.

Dan aku, dengan bantuan algoritma yang ironis dan hati yang jujur, akhirnya menemukan cintaku. Bukan dengan Sarah, melainkan dengan Anya, wanita yang selalu ada di dekatku, wanita yang selama ini menjadi variabel terpenting dalam algoritma cintaku. Skripsi ini memang tentang algoritma, tapi cerita cintaku adalah tentang hati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI