Hati di Era AI: Cinta, Data, dan Air Mata?

Dipublikasikan pada: 26 Nov 2025 - 03:20:14 wib
Dibaca: 116 kali
Debu neon kota Seoul menari di balik jendela kafe. Aroma kopi yang manis pahit bercampur dengan desingan halus dari server yang bersembunyi di balik dinding. Ara menatap layar tabletnya, alisnya bertaut. Deretan kode, algoritma, dan jaringan saraf buatan seolah mengejeknya. Di hadapannya, sebuah tantangan yang jauh lebih rumit daripada debugging program: hati.

Proyeknya, "Soulmate AI," adalah impian terbesarnya. Sebuah algoritma canggih yang mampu menganalisis data kepribadian, preferensi, bahkan gelombang otak untuk menemukan pasangan ideal. Bukan sekadar kecocokan minat, tetapi kompatibilitas jiwa. Ironisnya, pencipta Soulmate AI justru merasa paling kesepian di dunia.

"Ara-ssi?" suara lembut memecah lamunannya.

Ia mendongak dan tersenyum tipis pada Jihoon, rekan kerjanya yang selalu ceria. Jihoon membawa dua cangkir kopi panas. "Kamu kelihatan tegang. Ada masalah dengan algoritma?"

"Bukan algoritma," jawab Ara, menghela napas. "Algoritma itu terlalu sempurna. Aku yang tidak sempurna."

Jihoon duduk di hadapannya, menatap Ara dengan tatapan hangat yang selalu membuatnya sedikit salah tingkah. "Maksudmu?"

"Soulmate AI sudah memprediksi pasanganku. Sempurna di atas kertas. Sejarah hidupnya, minatnya, bahkan selera musiknya... semuanya sesuai dengan kriteriaku. Tapi..." Ara berhenti, mencari kata yang tepat. "Tapi aku tidak merasakan apa-apa."

Jihoon mengaduk kopinya perlahan. "Mungkin butuh waktu. Cinta tidak bisa diprogram, Ara."

"Justru itu masalahnya!" seru Ara, frustrasi. "Aku menciptakan alat untuk memprogram cinta. Dan alat itu malah membuatku mempertanyakan apa arti cinta yang sebenarnya."

Beberapa minggu lalu, Soulmate AI memunculkan nama Lee Junho. Seorang arsitek muda, idealis, dan sangat berbakat. Mereka bertemu, berkencan, dan menghabiskan waktu bersama. Junho memenuhi semua ekspektasi. Ia sopan, cerdas, dan peduli. Namun, Ara merasa seperti sedang berinteraksi dengan profil, bukan manusia. Semuanya terasa terlalu terencana, terlalu sempurna.

"Aku merasa seperti sedang menjalani simulasi," gumam Ara.

Jihoon meraih tangannya, memberikan sentuhan yang menenangkan. "Kamu tidak bisa memaksakan perasaan. Mungkin Junho bukan orang yang tepat."

Ara menarik tangannya. Perasaan bersalah menghantuinya. Jihoon selalu ada untuknya. Mendukungnya, memahami kegelisahannya, dan membuatnya tertawa di saat-saat sulit. Tapi Soulmate AI tidak pernah merekomendasikan Jihoon. Jihoon terlalu... tidak terduga. Terlalu manusiawi.

"Aku harus memberinya kesempatan," kata Ara, lebih kepada dirinya sendiri. "Aku sudah berjanji."

Namun, setiap kali ia mencoba membangun koneksi yang lebih dalam dengan Junho, ia merasa ada tembok tak kasat mata yang menghalanginya. Mereka bisa berdiskusi tentang arsitektur modern, mendengarkan musik klasik, dan menikmati makan malam romantis. Tapi tawa lepas, percakapan spontan, dan tatapan penuh arti terasa hambar.

Suatu malam, saat mereka berjalan-jalan di taman kota yang diterangi lampu-lampu neon, Junho berhenti dan menatap Ara dengan ekspresi serius.

"Ara-ssi," katanya, "aku ingin jujur padamu. Aku tahu tentang Soulmate AI."

Ara terkejut. Bagaimana bisa?

"Aku meretas sistemmu," lanjut Junho, tanpa merasa bersalah. "Aku ingin tahu siapa yang menurut algoritma itu paling cocok untukku. Dan ketika namamu muncul, aku memutuskan untuk mencobanya."

Ara merasa dikhianati. Jadi selama ini, Junho hanya menjalani peran yang diberikan oleh mesin?

"Kenapa?" tanya Ara, suaranya bergetar.

"Aku ingin bahagia," jawab Junho, dengan nada polos. "Aku percaya pada teknologi. Aku pikir algoritma akan membantuku menemukan cinta sejati."

Ara tertawa getir. "Kau percaya pada algoritma lebih daripada percaya pada hatimu sendiri?"

Junho terdiam.

Malam itu, Ara memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Hubungan yang didasarkan pada data dan kalkulasi tidak akan pernah bisa menggantikan kehangatan dan keajaiban cinta yang tulus.

Ia kembali ke lab, menatap layar tabletnya dengan perasaan muak. Ia ingin menghapus Soulmate AI, menghancurkan semua kode yang telah ia tulis. Tapi kemudian, ia teringat pada Jihoon.

Ia menoleh dan mendapati Jihoon berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan tatapan khawatir.

"Ara-ssi," panggil Jihoon lembut. "Aku tahu kamu sedang sedih."

Ara menghambur ke pelukannya, air matanya mengalir deras. Ia menangis, bukan karena kehilangan Junho, tetapi karena menyadari kebodohannya sendiri. Ia terlalu sibuk mencari cinta di dalam data, sehingga ia buta terhadap cinta yang selama ini ada di dekatnya.

"Maafkan aku," bisik Ara, di antara isak tangisnya. "Aku terlalu bodoh."

Jihoon memeluknya erat. "Tidak apa-apa. Kamu hanya perlu waktu untuk melihat apa yang benar-benar penting."

Ara mendongak, menatap mata Jihoon yang penuh dengan ketulusan. Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sebuah koneksi yang dalam, tulus, dan tanpa syarat. Bukan hasil kalkulasi algoritma, tetapi hasil dari berbagi tawa, air mata, dan dukungan tanpa henti.

"Jihoon," panggil Ara, suaranya bergetar. "Aku..."

Jihoon meletakkan jari di bibirnya. "Tidak perlu dikatakan apa-apa. Aku tahu."

Di balik debu neon kota Seoul, di antara desingan server dan aroma kopi, Ara akhirnya menemukan apa yang selama ini ia cari. Cinta bukan tentang data, tetapi tentang hati. Bukan tentang algoritma, tetapi tentang keajaiban. Dan kadang-kadang, air mata adalah satu-satunya cara untuk melihat kebenaran. Mungkin saja, cinta sejati ada di tempat yang paling tidak terduga, bahkan mungkin, tepat di hadapan kita.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI