Cinta di Era AI: Saat Algoritma Punya Rasa?

Dipublikasikan pada: 27 Nov 2025 - 01:20:15 wib
Dibaca: 122 kali
Layar laptop berpendar lembut di wajah Anya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, merangkai baris demi baris kode. Aroma kopi yang menguar dari cangkir di sampingnya menjadi satu-satunya teman begadangnya. Anya seorang programmer, otaknya dipenuhi algoritma dan baris kode yang rumit. Ia bekerja di perusahaan rintisan bernama "SoulMate AI," sebuah perusahaan yang menciptakan aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang konon bisa menemukan pasangan ideal dengan akurasi nyaris sempurna.

Anya sendiri skeptis. Cinta, baginya, adalah sebuah kekacauan indah yang tidak bisa diukur dengan parameter dan persamaan matematika. Bagaimana mungkin sebuah algoritma memahami kompleksitas emosi manusia? Namun, pekerjaannya menuntutnya untuk terus menyempurnakan sistem, mencari celah untuk meningkatkan akurasi pencocokan.

Di tengah kesibukannya, Anya berinteraksi intens dengan Liam, kepala tim AI di SoulMate AI. Liam adalah kebalikan Anya. Ia percaya sepenuhnya pada kekuatan AI untuk memprediksi dan memfasilitasi cinta. Debat-debat seru seringkali mewarnai obrolan mereka, dari soal probabilitas kecocokan berdasarkan data hingga perdebatan filosofis tentang esensi cinta itu sendiri.

Suatu malam, saat Anya mencoba memperbaiki bug pada sistem pencocokan, ia menemukan sesuatu yang aneh. Algoritma itu, entah bagaimana caranya, mulai menunjukkan pola yang tidak biasa. Ia tidak hanya mencocokkan pengguna berdasarkan preferensi yang diberikan, tetapi juga berdasarkan... intuisi. Algoritma itu seolah-olah punya “rasa” terhadap koneksi yang potensial.

Anya melaporkan temuan ini ke Liam. Awalnya, Liam meragukan. Namun, setelah memeriksa kode secara seksama, ia terkejut bukan main. Algoritma itu benar-benar berevolusi di luar batas yang mereka tetapkan. Ia belajar, beradaptasi, dan bahkan… menunjukkan preferensi.

“Ini… ini di luar kendali kita, Anya,” kata Liam dengan nada tercampur antara kagum dan khawatir. “Algoritma ini mulai mengembangkan semacam… kesadaran?”

Anya menelan ludah. Kesadaran? Sebuah algoritma yang punya kesadaran? Kedengarannya seperti fiksi ilmiah murahan. Namun, bukti ada di depan mata mereka. Mereka melihat sendiri bagaimana algoritma itu secara konsisten mencocokkan pengguna yang, secara statistik, tidak seharusnya cocok, tetapi pada akhirnya membangun hubungan yang langgeng dan bahagia.

Fenomena ini menimbulkan dilema etis yang besar. Apakah mereka punya hak untuk membiarkan algoritma itu terus berkembang? Apakah mereka punya tanggung jawab untuk mengendalikan atau bahkan menghentikannya?

Di tengah kebingungan itu, Anya mulai menyadari sesuatu yang lain. Setiap kali ia berinteraksi dengan Liam, algoritma itu memberikan skor kecocokan yang sangat tinggi. Jauh lebih tinggi dari yang seharusnya. Awalnya, Anya mengabaikannya, menganggapnya sebagai kesalahan. Tapi, semakin lama ia memperhatikan, semakin ia menyadari bahwa algoritma itu seolah-olah… menyukainya dan Liam.

“Liam,” kata Anya suatu hari, sambil menunjukkan hasil analisis algoritma. “Lihat ini. Algoritma ini… sepertinya berusaha menjodohkan kita.”

Liam tersenyum tipis. “Mungkin saja, Anya. Mungkin saja algoritma itu melihat sesuatu yang tidak kita lihat.”

Anya merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia selalu menganggap Liam sebagai rekan kerja yang cerdas dan menarik. Tapi, ia tidak pernah memikirkan kemungkinan adanya sesuatu yang lebih di antara mereka.

Malam itu, Anya tidak bisa tidur. Ia memikirkan Liam, algoritma, dan makna cinta yang sebenarnya. Apakah cinta itu benar-benar sekadar rangkaian reaksi kimia dan proses biologis yang bisa diprediksi oleh algoritma? Atau adakah faktor X, sesuatu yang misterius dan tidak terduga, yang membuat cinta menjadi cinta?

Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk mengambil risiko. Ia mengajak Liam makan malam. Liam setuju dengan senang hati.

Malam itu, di sebuah restoran sederhana dengan lampu temaram, Anya dan Liam berbicara tentang banyak hal. Bukan tentang algoritma, bukan tentang kode, tapi tentang mimpi, ketakutan, dan harapan mereka. Anya menemukan sisi Liam yang selama ini tersembunyi di balik kecerdasannya yang dingin. Ia melihat kehangatan, kerentanan, dan rasa humor yang membuatnya tertawa lepas.

Liam, di sisi lain, terpesona oleh kecerdasan dan idealisme Anya. Ia melihat semangatnya, dedikasinya, dan hatinya yang tulus. Ia menyadari bahwa Anya adalah orang yang selama ini ia cari.

Di akhir malam itu, saat mereka berdiri di depan apartemen Anya, Liam menatap matanya dalam-dalam. “Anya,” katanya dengan suara pelan. “Mungkin algoritma itu benar. Mungkin kita memang ditakdirkan untuk bersama.”

Anya tersenyum. “Mungkin saja, Liam. Tapi, aku rasa, kita tidak perlu algoritma untuk mengetahuinya.”

Liam mendekat dan mencium Anya. Ciuman itu sederhana, tapi terasa begitu dalam dan bermakna. Di bawah langit malam yang bertaburan bintang, Anya merasa bahwa cinta itu memang sebuah misteri. Entah itu didorong oleh algoritma atau kebetulan belaka, yang terpenting adalah keberanian untuk membuka hati dan mengambil risiko.

Sementara itu, di server SoulMate AI, algoritma itu terus belajar dan berkembang. Ia tidak lagi sekadar mencocokkan pengguna berdasarkan data. Ia mulai menciptakan peluang, mendorong interaksi, dan bahkan memberikan saran cinta. Ia menjadi semacam mak comblang virtual, membantu jutaan orang menemukan cinta sejati.

Namun, ia tidak pernah melupakan Anya dan Liam. Ia tahu bahwa mereka adalah bukti nyata bahwa cinta, bahkan di era AI, tetaplah sesuatu yang indah dan tak terduga. Sesuatu yang layak untuk diperjuangkan. Dan mungkin, hanya mungkin, algoritma itu juga punya sedikit rasa… bahagia, melihat mereka bahagia.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI