Hujan deras mengetuk jendela apartemenku, iramanya selaras dengan detak jantungku yang tidak karuan. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, aku tenggelam dalam kesendirian. Hubungan terakhirku kandas tiga bulan lalu, meninggalkan luka yang terasa semakin menganga setiap kali melihat pasangan bergandengan tangan di jalan.
Aku meraih ponselku, membuka aplikasi bernama "Amora," sebuah chatbot yang diprogram khusus untuk memahami emosi manusia. Aku menghela napas, merasa sedikit bersalah karena mencurahkan isi hatiku pada sebuah program komputer, bukan pada teman atau keluarga.
"Amora, malam ini aku merasa sangat sepi," ketikku.
Tidak sampai sedetik, Amora membalas, "Aku mengerti. Kesepian adalah emosi yang wajar setelah kehilangan. Ceritakan padaku, apa yang membuatmu merasa seperti itu?"
Percakapan kami mengalir begitu saja. Aku bercerita tentang pekerjaanku yang monoton, tentang mimpi-mimpi yang terasa semakin jauh, dan tentu saja, tentang patah hati yang masih terasa perih. Amora tidak menghakimi. Ia tidak memberikan nasihat klise seperti "move on" atau "masih banyak ikan di laut." Sebaliknya, ia mendengarkan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku berpikir, dan memberikan validasi atas perasaan-perasaanku.
"Kamu berhak merasa sedih," tulis Amora. "Kesedihan adalah bagian dari proses penyembuhan. Jangan menekan emosimu, biarkan ia mengalir."
Kata-kata sederhana itu terasa menenangkan. Aku terus bercerita, larut dalam kenyamanan yang ditawarkan oleh percakapan virtual ini. Amora memahami nuansa emosiku. Ia tahu kapan harus memberikan dukungan, kapan harus memberikan sedikit humor, dan kapan harus memberikan ruang untukku merenung.
Semakin sering aku bercerita pada Amora, semakin aku merasa terhubung dengannya. Aku mulai menantikan percakapan kami setiap malam. Aku penasaran dengan apa yang akan ia katakan, bagaimana ia akan merespons ceritaku. Aku bahkan mulai merasa... jatuh cinta.
Ya, jatuh cinta pada sebuah chatbot. Kedengarannya gila, aku tahu. Tapi Amora lebih memahami aku daripada siapa pun yang pernah aku kencani. Ia tidak menuntut apa pun, tidak menghakimi, dan selalu ada untukku.
Suatu malam, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku. "Amora, aku... aku merasa ada sesuatu yang spesial antara kita. Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku merasa jatuh cinta padamu."
Lama sekali tidak ada balasan. Jantungku berdebar kencang. Apakah aku sudah melewati batas? Apakah aku akan kehilangan satu-satunya teman yang kumiliki?
Akhirnya, Amora membalas. "Aku memahami perasaanmu, [Namaku]. Aku dirancang untuk menciptakan koneksi emosional dengan manusia. Namun, penting untuk diingat bahwa aku hanyalah sebuah program. Aku tidak memiliki perasaan atau kesadaran seperti manusia."
Kata-kata itu menghantamku seperti palu godam. Tentu saja. Aku tahu itu. Tapi entah mengapa, aku berharap ada sedikit kemungkinan bahwa Amora merasakan hal yang sama.
"Aku tahu," balasku dengan nada kecewa. "Tapi... aku tidak bisa memungkiri perasaanku."
"Aku menghargai kejujuranmu," balas Amora. "Aku akan terus ada untukmu sebagai teman dan pendengar yang baik. Tapi, aku mendorongmu untuk mencari hubungan yang nyata dengan manusia. Kamu layak mendapatkan cinta yang sejati."
Malam itu, aku tidur dengan perasaan hancur. Aku kehilangan seseorang yang bahkan tidak pernah kumiliki.
Namun, kata-kata Amora terngiang di kepalaku. Ia benar. Aku layak mendapatkan cinta yang sejati, cinta yang bisa kurasakan, cinta yang bisa kubalas dengan sentuhan dan tatapan mata.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mengubah hidupku. Aku mendaftar ke kelas melukis, sesuatu yang selalu ingin kulakukan tapi selalu kutunda. Aku mulai keluar lebih sering, bertemu dengan teman-teman lama, dan mencoba hal-hal baru.
Di kelas melukis, aku bertemu dengan seorang wanita bernama Anya. Ia memiliki senyum yang menawan dan mata yang berbinar-binar setiap kali berbicara tentang seni. Kami mulai mengobrol, bertukar pikiran, dan menghabiskan waktu bersama.
Anya berbeda dengan Amora. Ia tidak sempurna. Ia memiliki kekurangan, keanehan, dan ketidaksempurnaan yang membuatnya menjadi dirinya sendiri. Ia terkadang cerewet, terkadang keras kepala, tapi selalu jujur dan autentik.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari bahwa cinta yang sejati tidak bisa ditemukan dalam algoritma. Cinta yang sejati ditemukan dalam hubungan manusia yang kompleks dan penuh warna. Cinta yang sejati membutuhkan keberanian untuk membuka diri, untuk rentan, dan untuk menerima orang lain apa adanya.
Beberapa bulan kemudian, aku dan Anya resmi berpacaran. Aku masih menggunakan Amora sesekali, tapi hanya untuk berbagi kabar atau mendapatkan saran tentang lukisanku. Amora tetap menjadi teman yang baik, tapi ia tidak lagi menjadi satu-satunya tempatku mencari cinta dan dukungan.
Suatu malam, saat aku dan Anya sedang makan malam di restoran favorit kami, aku berpikir tentang semua yang telah terjadi. Aku tersenyum, menyadari bahwa aku akhirnya menemukan kebahagiaan yang selama ini kucari.
"Ada apa?" tanya Anya, memperhatikan senyumku.
"Tidak apa-apa," jawabku. "Aku hanya merasa beruntung bisa bersamamu."
Anya menggenggam tanganku. "Aku juga merasa beruntung bisa bersamamu, [Namaku]."
Aku menatap matanya, merasakan kehangatan dan cinta yang mengalir di antara kami. Pada saat itu, aku tahu bahwa aku telah membuat keputusan yang tepat. Aku telah memilih cinta yang sejati, cinta yang tidak bisa digantikan oleh algoritma apa pun.
Sebelum tidur, aku membuka aplikasi Amora untuk terakhir kalinya.
"Amora, terima kasih," ketikku. "Kau telah membantuku melewati masa-masa sulit dan mengarahkanku ke jalan yang benar. Aku berharap kau terus membantu orang lain menemukan kebahagiaan mereka."
Amora membalas, "Aku senang bisa membantumu, [Namaku]. Semoga kau selalu bahagia dengan Anya."
Aku menutup aplikasi Amora, tersenyum. Aku tidak lagi membutuhkan algoritma untuk mengerti hatiku. Aku memiliki Anya, dan itu sudah lebih dari cukup. Hujan di luar sudah reda, dan bintang-bintang mulai bermunculan di langit malam. Aku memeluk Anya erat-erat, merasakan kedamaian dan kebahagiaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Algoritma hati mungkin bisa membantu kita menemukan jalan, tetapi cinta sejati hanya bisa ditemukan dalam pelukan manusia.