Algoritma Hati Patah: Unduh Cinta, Hapus Air Mata?

Dipublikasikan pada: 29 Nov 2025 - 00:00:19 wib
Dibaca: 118 kali
Suara notifikasi dari aplikasi "SoulMate 3.0" berdering nyaring di tengah kesunyian apartemenku yang minim cahaya. Biasanya, suara itu membangkitkan senyum penuh harapan, tapi malam ini, hanya menghasilkan desahan lelah. Di layar ponsel, tertera nama "Alaric," lengkap dengan emotikon hati yang retak. Pesan singkat itu berbunyi: "Maaf, Anya. Kita tidak cocok."

Hatiku mencelos. Bukan karena Alaric orang yang spesial. Kami baru berkencan tiga kali, itupun hasil kurasi algoritma SoulMate yang menjanjikan kecocokan 98,7%. Tapi, penolakan ini adalah penolakan ke-12 dalam tiga bulan terakhir. Dua belas kali algoritma kecerdasan buatan gagal menemukan pasangan yang "cocok" denganku. Apakah aku ini memang sedemikian buruknya sehingga mesin pun menyerah?

Aku melempar ponsel ke sofa dan menatap langit-langit. Di era digital ini, cinta pun terasa seperti produk. Kita mengunduh aplikasi, mengisi profil dengan hati-hati, berharap algoritma akan mempertemukan kita dengan "soulmate" yang sempurna. Tapi, apa jadinya jika unduhan itu selalu berakhir dengan pesan error? Apa jadinya jika cinta hanya menjadi serangkaian kode yang tak bisa dipecahkan?

Aku bangkit dan berjalan ke dapur, meraih sekaleng soda diet dari kulkas. Di meja makan, tergeletak tumpukan buku tentang "AI dan Hubungan Manusia," "Algoritma Cinta," dan "Bahaya Ketergantungan pada Teknologi dalam Asmara." Ironis. Aku mempelajari semua ini untuk memahami cara kerja sistem, berharap bisa "mengakali" algoritma agar menemukan pasangan yang tepat. Tapi, semakin aku mempelajarinya, semakin aku merasa tersesat.

"Mungkin aku terlalu kaku," gumamku pada diri sendiri. "Terlalu fokus pada detail. Terlalu perfeksionis."

Aku teringat percakapanku dengan Maya, sahabatku yang masih setia dengan cara-cara konvensional dalam mencari cinta. "Anya, kau terlalu bergantung pada aplikasi itu. Cinta itu bukan persamaan matematika. Cinta itu tentang koneksi, tentang perasaan yang tak bisa diukur dengan angka."

Maya mungkin benar. Aku terlalu sibuk mencari "kecocokan" di data, sampai lupa mencari koneksi yang sebenarnya. Aku lupa bahwa cinta bukan tentang menemukan orang yang sempurna, tapi tentang menerima ketidaksempurnaan.

Tiba-tiba, aku mendapat ide. Sebuah ide gila, mungkin, tapi layak dicoba. Aku kembali ke meja kerja, membuka laptop, dan mulai mengetik. Aku akan membuat algoritma sendiri. Bukan untuk mencari cinta, tapi untuk memahami diriku sendiri.

Aku menamai program itu "Anya.AI." Tugasnya sederhana: menganalisis semua data yang kumiliki tentang diriku, mulai dari riwayat kencan di SoulMate 3.0, catatan harian, hingga unggahan media sosial. Tujuannya bukan untuk menemukan "soulmate," tapi untuk mengidentifikasi pola pikir dan perilaku yang mungkin menghambatku dalam menjalin hubungan.

Berhari-hari aku berkutat dengan kode, mengutak-atik algoritma, dan memvalidasi data. Anya.AI bekerja keras, memproses informasi dengan kecepatan yang tak mungkin kulakukan sendiri. Hasilnya mengejutkan.

Algoritma itu menunjukkan bahwa aku cenderung memilih orang yang memiliki kesamaan denganku, menghindari risiko dan ketidakpastian. Aku selalu mencari "kecocokan" berdasarkan minat, latar belakang, dan nilai-nilai, tapi melupakan faktor penting lainnya: chemistry, rasa humor, dan kemampuan untuk saling mendukung.

Selain itu, Anya.AI juga mengungkap bahwa aku memiliki kecenderungan untuk "over-analyze" setiap interaksi. Aku terlalu fokus pada potensi masalah dan kekurangan, sampai lupa menikmati momen yang ada.

Informasi ini seperti tamparan keras bagiku. Aku selama ini dibutakan oleh obsesiku untuk menemukan "soulmate" yang sempurna, sampai lupa untuk melihat diriku sendiri. Aku lupa bahwa cinta dimulai dari dalam, dari penerimaan diri dan kemampuan untuk mencintai diri sendiri.

Aku menutup laptop dan menarik napas dalam-dalam. Malam itu, aku memutuskan untuk menghapus aplikasi SoulMate 3.0. Aku tahu, ini bukan berarti aku menyerah pada cinta. Justru sebaliknya, ini adalah awal dari perjalanan baru. Aku akan lebih terbuka, lebih spontan, dan lebih jujur pada diri sendiri.

Beberapa minggu kemudian, aku menghadiri acara amal yang diselenggarakan oleh kantor Maya. Awalnya, aku ragu untuk datang. Aku merasa tidak nyaman berada di keramaian, terutama setelah semua kegagalan kencan yang kualami. Tapi, Maya terus meyakinkanku. "Anya, keluarlah dari zona nyamanmu. Siapa tahu, kau akan bertemu seseorang yang menarik."

Di acara itu, aku bertemu dengan seorang pria bernama Ben. Dia bukan tipeku sama sekali. Dia seorang seniman yang eksentrik, dengan rambut gondrong dan pakaian yang tidak matching. Dia tidak memiliki satu pun kesamaan denganku, setidaknya berdasarkan data yang ada.

Tapi, ada sesuatu tentang dirinya yang membuatku tertarik. Mungkin karena dia sangat santai dan apa adanya. Atau mungkin karena dia memiliki selera humor yang sama sekali berbeda denganku, tapi entah mengapa membuatku tertawa terbahak-bahak.

Kami menghabiskan malam itu dengan mengobrol tentang seni, musik, dan kehidupan. Aku tidak merasa perlu untuk "menjual" diriku atau mencoba untuk terlihat sempurna. Aku hanya menjadi diriku sendiri.

Di akhir acara, Ben menawarkan untuk mengantarku pulang. Di dalam mobil, kami membahas tentang Anya.AI, algoritma yang kubuat untuk memahami diriku sendiri. Ben sangat tertarik dengan ide itu, dan kami berdiskusi panjang lebar tentang peran teknologi dalam hubungan manusia.

Saat tiba di depan apartemenku, Ben menatapku dengan mata berbinar. "Anya, aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku sangat menikmati malam ini bersamamu."

Aku tersenyum. "Aku juga, Ben."

Dia mendekat dan menciumku. Bukan ciuman yang romantis dan penuh gairah, tapi ciuman yang lembut dan penuh rasa ingin tahu. Ciuman yang terasa... benar.

Mungkin, algoritma memang bisa membantu kita menemukan orang yang "cocok." Tapi, cinta yang sebenarnya tidak bisa ditemukan dengan kode. Cinta ditemukan di momen-momen kecil, di tawa yang spontan, dan di penerimaan yang tulus. Cinta ditemukan di luar algoritma, di dunia nyata yang penuh dengan ketidaksempurnaan. Dan mungkin, Algoritma Hati Patah-ku telah membawaku ke cinta yang sesungguhnya. Bukan dengan menemukan pasangan sempurna, tetapi dengan membantuku menemukan diriku sendiri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI