Jemari Riana menari di atas layar ponselnya, memilah-milah profil demi profil. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ia kembali terjebak dalam labirin digital bernama "SoulmateAI," aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang menjanjikan cinta sejati dengan algoritma canggih. Riana mendesah. Sudah enam bulan sejak ia mengunduh aplikasi ini, enam bulan penuh harapan dan kekecewaan.
"Mungkin kali ini," bisiknya pada diri sendiri, menyentuh ikon hati pada profil seorang pria bernama Adrian. Adrian, menurut SoulmateAI, memiliki kesamaan minat dengannya hingga 92%. Ia seorang arsitek, pecinta kopi, dan penggemar film klasik. Gambaran yang nyaris sempurna, terlalu sempurna malah.
Riana memulai percakapan. Adrian membalas dengan cepat, obrolan mereka mengalir lancar. Mereka membahas arsitektur modern, cita rasa kopi yang berbeda, dan film-film Hitchcock. Riana merasa terpesona. Adrian seolah membaca pikirannya, memahami setiap nuansa emosinya.
"Bagaimana kalau kita bertemu?" tanya Adrian suatu malam, setelah berminggu-minggu berinteraksi secara virtual.
Jantung Riana berdebar kencang. "Tentu," jawabnya tanpa ragu.
Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe dengan desain interior minimalis, persis seperti yang mereka berdua sukai. Riana berdandan rapi, berusaha menyembunyikan kegugupannya di balik senyum cerah.
Adrian sudah menunggu di meja dekat jendela. Saat Riana mendekat, ia terpana. Adrian di dunia nyata sama tampannya dengan fotonya di aplikasi. Matanya teduh, senyumnya menawan.
"Riana?" sapanya dengan suara lembut.
"Adrian," balas Riana, jantungnya masih berdebar tak karuan.
Percakapan mereka di kafe itu seasyik obrolan mereka di dunia maya. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan menemukan lebih banyak kesamaan. Riana merasa seperti mengenal Adrian seumur hidupnya. Mungkinkah ini benar-benar cinta sejati? Mungkinkah SoulmateAI benar-benar berhasil menemukan belahan jiwanya?
Malam itu, setelah mengantar Riana pulang, Adrian menciumnya di depan pintu rumah. Sentuhan bibirnya lembut dan hangat, membuat Riana merasa melayang.
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan kencan romantis dan obrolan larut malam. Adrian selalu tahu apa yang harus dikatakan dan dilakukan untuk membuat Riana bahagia. Ia memberikan bunga tanpa alasan, memasak makan malam kejutan, dan menemaninya menonton film favoritnya. Riana semakin yakin bahwa Adrian adalah pria impiannya.
Namun, di balik kebahagiaan itu, ada sesuatu yang mengganjal di benak Riana. Adrian terlalu sempurna. Ia selalu tahu apa yang ingin didengar Riana, apa yang ingin dilihat Riana, apa yang ingin dirasakan Riana. Seolah-olah ia membaca sebuah naskah yang ditulis khusus untuknya.
Suatu malam, Riana mencoba menguji Adrian. Ia menceritakan sebuah kejadian masa kecil yang tidak pernah ia ceritakan kepada siapa pun, sebuah kejadian yang membuatnya merasa sangat malu dan bersalah. Adrian mendengarkan dengan seksama, lalu memeluknya erat.
"Aku mengerti perasaanmu," katanya dengan nada penuh empati. "Tapi kamu tidak perlu merasa bersalah. Itu bukan salahmu."
Riana merasa lega, tapi juga curiga. Bagaimana Adrian bisa begitu mudah memahami perasaannya? Bagaimana ia bisa memberikan jawaban yang begitu tepat?
Keesokan harinya, Riana memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang SoulmateAI. Ia membaca artikel-artikel tentang kecerdasan buatan dan algoritma pencarian jodoh. Ia menemukan bahwa aplikasi seperti SoulmateAI menggunakan data pribadi pengguna untuk membuat profil kepribadian yang akurat. Mereka kemudian menggunakan profil ini untuk mencocokkan pengguna dengan orang lain yang memiliki kesamaan dan kompatibilitas yang tinggi.
Riana mulai merasa ngeri. Apakah Adrian benar-benar mencintainya apa adanya? Atau apakah ia hanya mencintai versi dirinya yang telah difilter dan diproses oleh algoritma?
Ia memutuskan untuk menguji teorinya. Saat bertemu Adrian untuk makan malam, Riana sengaja bersikap berbeda. Ia membicarakan topik-topik yang tidak mereka bahas sebelumnya, mengungkapkan pendapat yang bertentangan dengan pendapat Adrian, dan bahkan sedikit bersikap kasar.
Reaksi Adrian mengejutkan Riana. Ia tampak bingung dan tidak nyaman. Ia mencoba mengembalikan percakapan ke topik-topik yang lebih aman, memberikan komentar-komentar yang sudah Riana hafal di luar kepala.
"Kamu tidak seperti biasanya," kata Adrian akhirnya, dengan nada khawatir.
"Mungkin karena aku sedang menjadi diri sendiri," jawab Riana dengan sinis.
Adrian terdiam. Ia menatap Riana dengan tatapan kosong. Kemudian, ia berkata dengan suara pelan, "Aku... aku tidak mengerti."
Malam itu, Riana memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Adrian. Ia tidak bisa lagi hidup dalam ilusi cinta yang diciptakan oleh aplikasi kencan AI. Ia ingin menemukan cinta sejati, cinta yang didasarkan pada penerimaan dan pemahaman yang tulus, bukan pada algoritma dan data.
Beberapa bulan kemudian, Riana bertemu dengan seorang pria bernama Leo di sebuah toko buku. Leo adalah seorang penulis yang sederhana dan jujur. Ia tidak mencoba untuk menjadi orang lain, dan ia menerima Riana apa adanya. Mereka tidak memiliki kesamaan yang banyak, tapi mereka saling tertarik dengan perbedaan masing-masing.
Riana belajar bahwa cinta sejati bukanlah tentang menemukan belahan jiwa yang sempurna, tapi tentang membangun hubungan yang bermakna dengan seseorang yang nyata dan autentik. Aplikasi kencan AI mungkin bisa membantu kita menemukan orang yang tepat, tapi pada akhirnya, cinta sejati hanya bisa ditemukan di dunia nyata, di antara manusia yang saling mencintai dengan tulus dan tanpa syarat.