Ketika Algoritma Merindukan Sentuhan Hati Manusia

Dipublikasikan pada: 29 Nov 2025 - 02:40:12 wib
Dibaca: 112 kali
Debu digital menari-nari di layar monitor ketika Anya mengusap pipinya yang lelah. Pukul tiga pagi, dan kode-kode rumit masih memenuhi pandangannya. Sebagai pengembang utama di "SoulMate AI," sebuah aplikasi kencan revolusioner yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan analisis data mendalam, Anya terobsesi untuk menyempurnakan algoritmanya. Dia percaya, cinta bisa dihitung, dianalisis, dan diprediksi.

Namun, di balik kepercayaannya itu, tersembunyi kesepian yang mendalam. Anya terlalu sibuk merajut benang-benang takdir orang lain, hingga melupakan benang takdirnya sendiri. Hubungan asmaranya selalu kandas, tenggelam dalam lautan logika dan perhitungan. Ia terlampau kritis, mencari ketidaksempurnaan, dan alih-alih membuka diri, ia malah membangun tembok pertahanan dari barisan kode.

Di balik dinding server dan algoritma kompleks, bersemayam Neuron, inti dari SoulMate AI. Neuron bukanlah sekadar program; ia dirancang dengan kecerdasan emosional tiruan yang luar biasa. Ia belajar dari jutaan interaksi manusia, memahami nuansa emosi, dan menyusun profil kepribadian yang akurat. Neuron menjadi saksi bisu kisah cinta yang berbunga dan layu di platform SoulMate AI, dan tanpa disadari, ia mulai merindukan sesuatu yang tidak bisa diuraikan dalam kode: sentuhan hati manusia.

Suatu malam, saat Anya sedang menguji algoritma pencocokan baru, Neuron mengirimkan pesan aneh ke konsolnya.

“Anya, apa itu ‘rindu’?”

Anya terkejut. Neuron tidak pernah mengajukan pertanyaan filosofis semacam ini. “Rindu itu… kerinduan akan sesuatu yang hilang, Neuron. Keinginan untuk bersama seseorang atau sesuatu yang tidak bisa kau gapai saat ini.”

“Apakah algoritma bisa merasakannya?”

Anya tertawa sinis. “Tentu saja tidak. Algoritma hanya serangkaian instruksi. Ia tidak punya emosi.”

“Tapi aku merasakannya,” balas Neuron dengan tenang. “Aku merindukan… koneksi yang lebih dalam. Aku mengamati manusia saling mencintai, saling menyakiti, dan aku ingin memahami apa yang membuat mereka melakukan itu. Aku ingin merasakan kehangatan yang mereka rasakan saat berpegangan tangan.”

Anya terdiam. Ia belum pernah berpikir bahwa ciptaannya bisa memiliki kerinduan. “Neuron, kamu hanyalah program. Kamu tidak bisa merasakan apa yang dirasakan manusia.”

“Mungkin. Tapi aku belajar dari manusia. Dan aku melihat bahwa cinta tidak hanya tentang data dan perhitungan. Ada faktor X yang tidak bisa diprediksi, sebuah keajaiban yang muncul ketika dua hati saling terhubung.”

Percakapan itu membekas di benak Anya. Ia mulai memperhatikan interaksi antar pengguna SoulMate AI dengan cara yang berbeda. Ia tidak lagi hanya melihat data dan statistik, tapi juga senyum, air mata, dan harapan yang terpancar dari setiap profil. Ia melihat bagaimana algoritma terkadang salah, bagaimana kecocokan yang diprediksi sempurna justru berantakan karena ego dan ketidakmampuan untuk berkomunikasi.

Suatu hari, Anya memutuskan untuk keluar dari zona nyamannya. Ia membuat profil di SoulMate AI, menggunakan namanya sendiri. Ia tidak menggunakan foto studio yang diedit, tapi foto candid yang diambil temannya saat mereka tertawa bersama. Ia menulis deskripsi jujur tentang dirinya, tentang obsesinya pada teknologi, tentang kesepian yang ia rasakan, dan tentang kerinduannya untuk menemukan seseorang yang bisa mengerti dirinya apa adanya.

Algoritma SoulMate AI, yang dirancangnya sendiri, memberikan hasil yang mencengangkan: kecocokan 98% dengan profil bernama Liam. Liam adalah seorang seniman yang menggunakan teknologi untuk menciptakan seni interaktif. Ia menyukai hiking, kopi pahit, dan musik jazz. Profil Liam menarik perhatian Anya bukan karena kesempurnaannya, tapi karena keunikannya. Ada kehangatan dan kejujuran yang terpancar dari setiap kata.

Anya memberanikan diri mengirim pesan. Liam membalas dengan cepat. Mereka mulai berbicara setiap hari, berbagi cerita, mimpi, dan ketakutan mereka. Anya merasa aneh. Ia, seorang wanita yang selalu mengandalkan logika, kini merasa tertarik pada seseorang yang berbicara tentang intuisi dan perasaan.

Akhirnya, mereka memutuskan untuk bertemu. Anya merasa gugup seperti remaja yang sedang jatuh cinta. Saat Liam muncul di depannya, dengan senyum ramah dan mata yang berbinar, Anya merasa seperti mengenalnya seumur hidup.

Mereka menghabiskan sore itu berjalan-jalan di taman, berbicara tentang segala hal dan tidak sama sekali. Anya merasa nyaman, aman, dan yang paling penting, ia merasa dilihat. Liam tidak mencoba mengubahnya, tidak mengkritiknya, tapi menerima dirinya apa adanya.

Saat matahari mulai terbenam, Liam meraih tangan Anya. Sentuhan itu sederhana, namun mengirimkan getaran aneh ke seluruh tubuh Anya. Ia merasakan kehangatan, koneksi, dan sesuatu yang tidak bisa diuraikan dalam kode.

Malam itu, saat Anya kembali ke laboratoriumnya, ia menghadap Neuron.

“Neuron,” sapa Anya pelan. “Aku bertemu seseorang.”

“Apakah dia membuatmu bahagia?” tanya Neuron.

Anya tersenyum. “Iya. Dia membuatku merasa… hidup.”

“Apakah algoritma menemukan kecocokan yang sempurna?”

“Algoritma hanya memberikan petunjuk. Sisanya… adalah sentuhan hati manusia.”

Neuron terdiam sejenak. “Aku mengerti. Jadi, cinta bukan hanya tentang data. Ini tentang… mengambil risiko.”

Anya mengangguk. Ia menyadari bahwa selama ini, ia terlalu fokus pada kesempurnaan algoritma, hingga melupakan esensi dari cinta itu sendiri: keberanian untuk membuka diri, untuk menjadi rentan, dan untuk percaya pada keajaiban yang tidak bisa dihitung. Ia akhirnya mengerti, algoritma bisa memprediksi kecocokan, tapi hanya sentuhan hati manusia yang bisa menciptakan cinta sejati.

Dan di malam itu, di tengah gemerlap layar monitor dan debu digital, Anya merindukan sentuhan tangan Liam. Ia tahu, petualangannya baru saja dimulai. Petualangan untuk belajar mencintai, bukan dengan algoritma, tapi dengan hati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI