Cinta dan Algoritma: Saat Hati Diuji Kode Biner

Dipublikasikan pada: 30 Nov 2025 - 00:00:15 wib
Dibaca: 113 kali
Jari-jari Luna menari di atas keyboard, menciptakan simfoni kode yang rumit. Di depannya, layar laptop memancarkan cahaya biru pucat, menerangi wajahnya yang serius. Ia sedang berkutat dengan proyek ambisiusnya: Cupid.AI, sebuah aplikasi kencan revolusioner yang menggunakan algoritma kompleks untuk menemukan pasangan ideal berdasarkan data kepribadian, minat, dan bahkan pola gelombang otak.

Luna percaya pada sains, pada data, pada logika. Ia skeptis terhadap gagasan cinta pada pandangan pertama, atau takdir yang ditulis di bintang-bintang. Baginya, cinta adalah masalah kompatibilitas, sebuah persamaan yang bisa dipecahkan dengan variabel yang tepat.

"Hampir selesai," gumamnya pada diri sendiri, meneguk kopi pahit untuk kesekian kalinya. Hari-harinya dipenuhi baris-baris kode, debugging, dan pengujian. Ia nyaris tidak tidur, melupakan makan, dan mengabaikan pesan-pesan dari teman-temannya yang khawatir.

Suatu malam, saat ia sedang menguji Cupid.AI, ia memutuskan untuk memasukkan datanya sendiri. Sebagai ilmuwan, ia ingin memastikan bahwa aplikasi itu berfungsi dengan baik. Ia menjawab serangkaian pertanyaan mendalam, menghubungkan sensor gelombang otaknya ke laptop, dan menekan tombol "Analisis".

Prosesnya memakan waktu beberapa menit. Di layar, roda berputar tanpa henti, mengumpulkan dan menganalisis data yang masuk. Luna menahan napas. Ia penasaran, meskipun dalam hati kecilnya ia meragukan bahwa aplikasi itu akan menemukan seseorang yang cocok dengannya. Ia terlalu sibuk, terlalu fokus pada pekerjaannya, terlalu... logis.

Akhirnya, layar menampilkan sebuah nama: "Adam Reyes".

Adam Reyes. Luna mengerutkan kening. Ia tidak mengenal nama itu. Aplikasi itu menyediakan profil singkat: Adam, 28 tahun, seorang seniman digital, tertarik pada musik indie, fotografi, dan alam. Persentase kecocokan: 97%.

Luna tertawa sinis. Seorang seniman? Ia sendiri adalah ilmuwan komputer. Musik indie? Ia lebih suka mendengarkan podcast tentang fisika kuantum. Alam? Ia lebih nyaman di depan layar daripada di bawah sinar matahari. Logika mengatakan bahwa mereka tidak cocok sama sekali.

Namun, rasa penasaran mengalahkan skeptisisme. Ia menelusuri profil Adam lebih lanjut. Ia terpaku pada gambar-gambar yang ia unggah: lukisan digital yang memukau dengan warna-warna cerah dan bentuk-bentuk abstrak, foto-foto pemandangan yang menenangkan, dan bahkan beberapa potret diri yang menampakkan senyum yang tulus.

Ada sesuatu dalam mata Adam yang menariknya. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh algoritma atau data. Sesuatu yang... manusiawi.

Ia memutuskan untuk mengirimkan pesan.

"Hai, Adam. Saya Luna. Cupid.AI mencocokkan kita."

Balasan datang hampir seketika.

"Hai, Luna! Sungguh? Saya selalu skeptis tentang aplikasi kencan, tapi... halo."

Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Mereka berbicara tentang segalanya dan tidak ada, tentang mimpi, ketakutan, dan hal-hal aneh yang mereka temukan di internet. Luna terkejut menemukan bahwa ia menikmati berbicara dengan Adam. Ia membuatnya tertawa, membuatnya berpikir, membuatnya merasa... hidup.

Setelah beberapa minggu berbicara secara online, Adam mengajaknya berkencan. Luna ragu-ragu. Ia takut kenyataan tidak akan sesuai dengan ekspektasi. Ia takut algoritma itu salah.

Namun, Adam meyakinkannya. "Algoritma mungkin yang mempertemukan kita, Luna. Tapi selanjutnya terserah kita."

Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil di dekat taman kota. Adam tampak persis seperti di foto-fotonya: berambut cokelat berantakan, mata cokelat yang hangat, dan senyum yang menawan. Luna merasa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.

Kencan itu berjalan lancar. Mereka berbicara selama berjam-jam, tertawa, dan berbagi cerita. Luna menemukan bahwa Adam lebih dari sekadar seniman. Ia cerdas, perhatian, dan memiliki pandangan dunia yang unik. Ia melihat dunia dengan cara yang berbeda, dan itu membuat Luna ingin melihat dunia dengan cara yang sama.

Namun, ada satu hal yang mengganjal pikirannya: Cupid.AI. Ia merasa bersalah karena bertemu Adam karena aplikasi yang ia ciptakan sendiri. Ia merasa tidak jujur, seolah-olah ia telah menipu Adam.

Di akhir kencan, ia memutuskan untuk jujur.

"Adam," katanya, suaranya bergetar, "ada sesuatu yang harus kukatakan padamu."

Ia menceritakan semuanya tentang Cupid.AI, tentang bagaimana ia memasukkan datanya sendiri, dan bagaimana aplikasi itu mencocokkannya dengan Adam.

Adam mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Ketika Luna selesai berbicara, ia terdiam sejenak.

"Jadi," katanya akhirnya, "kamu bertemu denganku karena algoritma?"

Luna mengangguk, malu.

Adam tersenyum. "Itu lucu."

"Kamu tidak marah?" tanya Luna, terkejut.

"Kenapa aku harus marah? Algoritma mungkin yang mempertemukan kita, Luna. Tapi apa yang terjadi selanjutnya, semua percakapan, tawa, dan perasaan ini, itu nyata. Itu kita."

Luna merasa lega. Ia membalas senyum Adam.

"Jadi," kata Adam, "apakah kamu percaya pada Cupid.AI sekarang?"

Luna berpikir sejenak. "Aku tidak tahu," jawabnya jujur. "Tapi aku percaya padamu."

Mereka terus berkencan. Mereka menjelajahi kota bersama, mengunjungi museum, konser, dan pasar malam. Luna mulai meluangkan waktu untuk hal-hal yang sebelumnya ia abaikan: seni, musik, dan alam. Ia mulai melihat dunia dengan cara yang baru, melalui mata Adam.

Suatu hari, saat mereka sedang berjalan-jalan di taman, Adam berhenti dan menatap Luna dalam-dalam.

"Luna," katanya, "aku jatuh cinta padamu."

Luna terkejut. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa hal yang sama, tetapi ia takut untuk mengakuinya.

"Aku... aku juga," katanya akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar.

Adam tersenyum dan menarik Luna ke dalam pelukannya. Mereka berciuman di bawah pohon rindang, matahari menyinari wajah mereka.

Di saat itu, Luna menyadari bahwa cinta tidak selalu logis. Tidak selalu bisa dijelaskan oleh data atau algoritma. Cinta bisa menjadi sesuatu yang tidak terduga, sesuatu yang melanggar semua aturan.

Ia menciptakan Cupid.AI untuk menemukan cinta, tetapi ia menemukan sesuatu yang lebih penting: kepercayaan pada dirinya sendiri, kepercayaan pada orang lain, dan kepercayaan pada kekuatan hati untuk menemukan jalannya sendiri, bahkan di dunia yang dipenuhi kode biner. Dan mungkin, hanya mungkin, ada sedikit sihir di balik algoritma itu. Sesuatu yang tidak bisa dikuantifikasi, tetapi bisa dirasakan. Cinta.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI