Upgrade Perasaan: AI Pilih Jodoh, Manusia Kebagian Apa?

Dipublikasikan pada: 30 Nov 2025 - 02:00:11 wib
Dibaca: 112 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Arya. Jari-jarinya lincah mengetik barisan kode di layar laptop. Di usianya yang ke-28, Arya adalah seorang programmer andal, spesialisasi AI, khususnya dalam bidang personalisasi pengalaman pengguna. Ironisnya, di saat ia mampu menciptakan algoritma yang bisa memprediksi kebutuhan orang lain, kebutuhan dirinya sendiri – terutama soal asmara – terasa bagai misteri yang tak terpecahkan.

“Lagi ngapain, Ry?” suara lembut Maya menginterupsi. Maya, sahabatnya sejak SMA, duduk di sofa sambil membolak-balik majalah.

Arya menghela napas, menatap Maya sekilas. “Biasa, Maya. Ngeberesin bug di aplikasi kencan ‘Soulmate AI’. Algoritmanya agak ngaco, masa’ nyaranin gue sama nenek-nenek pikun.”

Maya tertawa. “Mungkin dia tahu kamu butuh pendamping yang lebih berpengalaman?”

Arya mendengus. “Justru itu masalahnya. Algoritma ini katanya bisa menemukan ‘pasangan jiwa’ berdasarkan data kepribadian, minat, bahkan gelombang otak. Tapi kok hasilnya absurd banget? Gue jadi mikir, jangan-jangan konsep ‘pasangan jiwa’ itu cuma omong kosong belaka.”

“Atau mungkin, kamu belum memberikan data yang cukup ke AI-nya?” Maya menyarankan. “Kamu terlalu tertutup, Ry. Coba deh, buka diri sedikit. Ungkapkan semua hobi anehmu, ketakutan terpendammu, atau bahkan fantasi gilamu. Siapa tahu, algoritma itu justru nemuin seseorang yang pas sama kegilaanmu itu.”

Arya terdiam. Ia memang cenderung perfeksionis dan sangat berhati-hati dalam membagikan informasi tentang dirinya. Ia takut dinilai aneh, takut ditolak. Tapi, ia juga lelah dengan kesendirian ini.

Malam itu, Arya memutuskan untuk mengikuti saran Maya. Ia kembali membuka aplikasi Soulmate AI dan mengisi kuesioner dengan jujur, bahkan cenderung brutal. Ia menceritakan tentang kecintaannya pada film-film B-movie, obsesinya mengoleksi action figure vintage, dan ketakutannya pada badut. Ia bahkan menambahkan data gelombang otaknya yang menunjukkan kecenderungan melamun saat mendengarkan musik klasik.

Beberapa hari kemudian, notifikasi muncul di layar ponsel Arya. “Soulmate AI telah menemukan pasangan potensial untuk Anda.”

Arya ragu. Ia takut kecewa lagi. Tapi rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Ia membuka profil yang direkomendasikan.

Namanya Anya. Fotografer lepas dengan rambut dicat warna-warni dan tato bergambar tokoh kartun kesukaannya. Profilnya penuh dengan foto-foto aneh dan unik, dari instalasi seni absurd hingga potret kucing jalanan yang sedang bermeditasi. Deskripsinya singkat dan jujur: “Suka kopi pahit, film jelek, dan obrolan mendalam tentang eksistensi.”

Arya terpana. Profil Anya terasa begitu nyata, begitu berbeda dari profil-profil sempurna yang sering ia lihat di aplikasi kencan lainnya. Ia merasa tertarik, sekaligus takut. Apa mungkin algoritma ini benar-benar bekerja?

Dengan gugup, Arya mengirim pesan. “Halo Anya, Soulmate AI bilang kita cocok. Apa kamu percaya sama AI?”

Balasan datang hampir seketika. “Hai Arya! Aku skeptis sama AI, tapi penasaran sama kamu. Gimana kalau kita ngopi dan debat soal eksistensi?”

Arya tersenyum. Ini adalah awal dari sesuatu yang baru.

Pertemuan pertama mereka di sebuah kedai kopi indie ternyata jauh dari kata canggung. Anya ternyata lebih menarik dari profilnya. Ia cerdas, lucu, dan memiliki selera humor yang sama absurdnya dengan Arya. Mereka berdebat tentang film B-movie, tertawa terbahak-bahak saat membahas teori konspirasi konyol, dan bahkan sedikit membahas tentang makna hidup.

Seiring berjalannya waktu, Arya dan Anya semakin dekat. Mereka saling mendukung dalam mengejar mimpi masing-masing, saling menghibur saat sedang sedih, dan saling mencintai apa adanya. Arya menemukan kebahagiaan yang selama ini ia cari, bukan karena AI, tapi karena Anya.

Namun, satu pertanyaan terus menghantui benak Arya: Apakah cinta mereka ini benar-benar tulus, atau hanya hasil dari manipulasi algoritma? Apakah mereka akan tetap bersama jika Soulmate AI tidak pernah mempertemukan mereka?

Suatu malam, Arya memberanikan diri untuk bertanya kepada Anya. “Anya, kamu percaya sama AI yang mempertemukan kita?”

Anya menatap Arya dengan lembut. “Aku percaya sama takdir, Ry. Tapi aku juga percaya sama pilihan kita. AI mungkin membantu kita bertemu, tapi kitalah yang memutuskan untuk saling mengenal, saling mencintai, dan saling bertahan.”

Anya meraih tangan Arya dan menggenggamnya erat. “Aku nggak peduli apa kata algoritma. Aku cinta kamu, Arya. Karena kamu adalah kamu.”

Arya terharu mendengar ucapan Anya. Ia menyadari bahwa cinta sejati bukanlah tentang kesempurnaan, bukanlah tentang data dan algoritma, tapi tentang penerimaan, kejujuran, dan komitmen.

Ia membalas genggaman Anya dan berkata, “Aku juga cinta kamu, Anya. Lebih dari yang bisa diprediksi oleh AI mana pun.”

Arya menyadari bahwa ia telah memberikan terlalu banyak kepercayaan pada teknologi. Ia lupa bahwa cinta adalah sesuatu yang lebih kompleks, lebih organik, dan lebih manusiawi daripada sekadar angka dan kode.

Soulmate AI mungkin telah membukakan pintu bagi Arya untuk menemukan cinta, tapi selanjutnya, ia sendiri yang harus melangkah masuk dan merawatnya. AI mungkin bisa memilihkan jodoh, tapi manusia yang menentukan apakah hubungan itu akan bertahan atau tidak. Karena pada akhirnya, cinta sejati adalah tentang pilihan, bukan algoritma. Dan Arya telah memilih Anya. Ia telah memilih untuk mencintai, untuk menerima, dan untuk berjuang bersama. Ia telah memilih kebahagiaannya sendiri. Dan itulah yang terpenting.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI