Cinta dalam Piksel: Algoritma Hati Memulai Sandiwara?

Dipublikasikan pada: 30 Nov 2025 - 02:40:11 wib
Dibaca: 113 kali
Jemari Ara menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode yang rumit namun indah. Di ruangan apartemennya yang minimalis, cahaya layar laptop memantul di wajahnya yang serius. Dia sedang membangun "Serendipia," aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang menjanjikan untuk menemukan pasangan yang sempurna, bukan hanya berdasarkan preferensi dangkal, tetapi juga pada kompatibilitas mendalam, mimpi, dan bahkan trauma masa lalu. Ironis, pikirnya, menciptakan alat untuk cinta, sementara hatinya sendiri terasa seperti algoritma yang belum selesai ditulis.

Ara, seorang programmer jenius di usia dua puluhannya, selalu merasa lebih nyaman dengan logika daripada emosi. Baginya, cinta selalu menjadi misteri yang membingungkan, serangkaian reaksi kimia dan konstruksi sosial yang tidak dapat dipahami. Namun, kegagalannya dalam urusan asmara memberinya dorongan untuk memecahkan kode cinta itu sendiri, mengubahnya menjadi persamaan yang bisa diselesaikan.

Serendipia segera menjadi sensasi. Orang-orang terpikat dengan janjinya untuk menemukan belahan jiwa mereka. Testimoni bertebaran di internet tentang pasangan yang bertemu melalui aplikasi itu, menemukan kebahagiaan yang tak terduga. Ara menikmati kesuksesan itu, namun jauh di lubuk hatinya, dia merasa kosong. Dia menciptakan cinta untuk orang lain, tetapi dia sendiri masih belum menemukan cinta itu.

Suatu malam, saat dia memeriksa data pengguna Serendipia, sebuah profil menarik perhatiannya. Namanya Seno. Seorang fotografer jalanan dengan mata teduh dan senyum yang menyimpan sejuta cerita. Algoritma Serendipia menunjukkan tingkat kompatibilitas yang sangat tinggi antara mereka, hampir tidak mungkin. Ara merasa aneh, campuran antara penasaran dan skeptis. Mungkinkah karyanya sendiri telah menunjukkan jodohnya?

Dia tergoda untuk menghubungi Seno, tapi rasa takut mencengkeramnya. Bagaimana jika dia tidak memenuhi ekspektasi yang diciptakan oleh Serendipia? Bagaimana jika semua ini hanya kesalahan dalam kode? Akhirnya, setelah berhari-hari berperang dengan dirinya sendiri, Ara memutuskan untuk mengambil risiko. Dia mengirim pesan singkat kepada Seno melalui aplikasi.

"Hai Seno, saya Ara, pencipta Serendipia. Profil kamu menarik perhatian saya. Apakah kamu bersedia minum kopi bersama?"

Dia menunggu dengan cemas, jantungnya berdebar kencang. Beberapa jam kemudian, Seno membalas. "Ara? Saya tahu tentang Serendipia. Aplikasi yang luar biasa. Saya akan senang minum kopi denganmu. Kapan dan di mana?"

Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang nyaman. Saat Seno tiba, Ara merasa jantungnya berpacu. Dia jauh lebih menawan daripada yang dia bayangkan. Matanya, yang dia lihat di foto, memiliki kedalaman yang membuatnya merasa seolah-olah dia bisa melihat jiwanya. Mereka berbicara selama berjam-jam, tentang fotografi, tentang pemrograman, tentang mimpi-mimpi yang terpendam. Ara terkejut menemukan betapa mudahnya dia terhubung dengan Seno, seolah-olah mereka telah saling mengenal selama bertahun-tahun.

Seiring berjalannya waktu, Ara dan Seno semakin dekat. Mereka menjelajahi kota bersama, mengunjungi galeri seni, menonton film independen, dan menikmati kebersamaan satu sama lain. Ara merasa hidupnya dipenuhi dengan warna-warna baru, emosi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dia jatuh cinta pada Seno, dan dia yakin Seno merasakan hal yang sama.

Namun, kebahagiaan Ara dirusak oleh keraguan. Apakah cinta ini nyata, atau hanya produk dari algoritma yang sempurna? Apakah Seno mencintai dirinya yang sebenarnya, atau hanya versi ideal dirinya yang diproyeksikan oleh Serendipia? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya, menggerogoti kepercayaan dirinya.

Suatu malam, saat mereka sedang makan malam romantis di sebuah restoran mewah, Ara memutuskan untuk mengungkapkan kebenaran kepada Seno. Dengan suara gemetar, dia menceritakan tentang keraguannya, tentang ketakutannya bahwa cinta mereka hanya sandiwara yang diciptakan oleh teknologi.

Seno mendengarkan dengan sabar, tanpa memotongnya. Setelah Ara selesai berbicara, dia meraih tangannya dan menatapnya dengan mata yang penuh kasih. "Ara," katanya lembut, "aku tahu kamu menciptakan Serendipia, dan aku tahu bahwa algoritma itu yang mempertemukan kita. Tapi, aku tidak jatuh cinta padamu karena algoritma itu. Aku jatuh cinta padamu karena kamu adalah kamu. Karena kecerdasanmu, kebaikanmu, dan semua kekuranganmu. Aku mencintai Ara yang kukenal, bukan Ara yang diprofilkan oleh aplikasi."

Kata-kata Seno menghantam Ara seperti gelombang kejut. Dia merasa beban berat terangkat dari dadanya. Dia menyadari bahwa dia telah terlalu fokus pada teknologi, melupakan hal yang paling penting: hati manusia. Cinta tidak bisa direduksi menjadi algoritma, tidak bisa diprediksi atau dikendalikan. Cinta adalah misteri yang harus diterima, dengan semua ketidaksempurnaannya.

Ara tersenyum, air mata mengalir di pipinya. Dia membalas genggaman tangan Seno dan menatapnya dengan cinta yang tulus. "Aku juga mencintaimu, Seno. Bukan karena Serendipia, tapi karena kamu adalah kamu."

Mereka berciuman, ciuman yang penuh dengan cinta, kepercayaan, dan harapan. Di saat itu, Ara tahu bahwa dia telah menemukan cinta sejati, cinta yang melampaui algoritma, cinta yang abadi. Cinta dalam piksel telah memulai sandiwara, tapi pada akhirnya, kebenaran hati telah mengambil alih panggung. Serendipia mungkin telah mempertemukan mereka, tetapi cinta merekalah yang menulis naskah selanjutnya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI