Jejak Piksel di Hati: Algoritma Cinta yang Membara?

Dipublikasikan pada: 30 Nov 2025 - 03:20:11 wib
Dibaca: 111 kali
Jemari Lintang menari di atas keyboard. Di layar laptopnya, barisan kode Python memenuhi pandangan. Sesekali, ia menyeruput kopi pahit, pikirannya berpacu dengan kecepatan prosesor. Lintang, seorang data scientist muda nan brilian, sedang mengerjakan sebuah algoritma unik: Mencari kecocokan cinta berdasarkan data perilaku online. Ironis, pikirnya, mencoba menemukan formula untuk sesuatu yang selama ini dianggap irasional.

"Lintang, masih begadang?" suara lembut menyapa dari ambang pintu. Riana, rekan kerjanya, menyodorkan sepiring kue kering. "Jangan lupa istirahat. Algoritma cinta tidak akan tercipta dalam semalam."

Lintang tersenyum tipis. "Terima kasih, Riana. Aku sedang mencoba memecahkan kode hati manusia, sepertinya lebih rumit dari neural network."

Riana terkekeh. "Mungkin karena hati tidak bisa direduksi menjadi angka dan variabel. Ada faktor X yang tidak bisa diukur."

Faktor X. Lintang merenungkan kata-kata Riana. Ia sudah memasukkan data preferensi, riwayat pencarian, interaksi media sosial, bahkan pola tidur dan detak jantung. Algoritmanya menghasilkan persentase kecocokan yang akurat, tapi entah mengapa, terasa hampa.

Awalnya, proyek ini hanyalah tugas sampingan di kantor, sebuah tantangan yang diajukan oleh kepala divisi. Namun, semakin dalam Lintang menyelami data, semakin penasaran ia. Apakah cinta benar-benar bisa diprediksi? Atau justru, keajaiban cinta terletak pada ketidakpastiannya?

Suatu hari, Lintang memutuskan untuk mencoba algoritmanya pada dirinya sendiri. Ia memasukkan semua datanya, berharap mendapatkan kandidat yang cocok. Hasilnya mengejutkan. Persentase kecocokan tertinggi justru didapatkan oleh… Riana.

Lintang tertegun. Ia selalu menganggap Riana sebagai sahabat, rekan kerja yang menyenangkan. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa Riana bisa menjadi lebih dari itu. Ia memperhatikan Riana lebih seksama. Cara Riana tertawa, cara Riana menatapnya saat menjelaskan sebuah ide, cara Riana selalu mengingatkannya untuk istirahat. Semuanya terasa familiar, nyaman, dan hangat.

Namun, Lintang masih ragu. Apakah perasaannya ini hanya hasil dari algoritma? Apakah ia jatuh cinta pada Riana karena data mengatakan demikian? Atau ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tidak bisa diukur oleh angka?

Ia memutuskan untuk menguji algoritmanya lebih lanjut. Ia mengubah beberapa parameter, menambahkan variabel baru, bahkan mencoba menggunakan algoritma yang berbeda. Hasilnya tetap sama: Riana adalah kandidat yang paling cocok.

Frustrasi, Lintang menemui Riana di taman kota saat jam makan siang. "Riana, aku punya sesuatu yang ingin kukatakan," ujarnya gugup.

Riana tersenyum. "Aku juga, Lintang."

Lintang menarik napas dalam-dalam. "Aku sedang membuat algoritma untuk mencari kecocokan cinta. Dan... hasilnya menunjukkan bahwa kita sangat cocok."

Riana tertawa renyah. "Aku tahu."

Lintang mengerutkan kening. "Kau tahu?"

"Ya. Aku melihatmu memasukkan datamu. Aku juga melihat hasilnya," jawab Riana. "Tapi, Lintang, aku tidak jatuh cinta padamu karena algoritma. Aku jatuh cinta padamu karena siapa dirimu."

Lintang terdiam. Kata-kata Riana menampar kesadarannya. Ia terlalu fokus pada data dan algoritma, sampai lupa bahwa cinta adalah tentang koneksi emosional, tentang memahami dan menerima satu sama lain apa adanya.

"Aku... aku tidak tahu harus berkata apa," gumam Lintang.

Riana meraih tangannya. "Tidak perlu berkata apa-apa. Cukup rasakan."

Lintang menatap mata Riana. Di sana, ia melihat kehangatan, kejujuran, dan cinta yang tulus. Ia membalas genggaman Riana, merasakan sentuhan lembut yang mengirimkan getaran aneh ke seluruh tubuhnya.

"Riana," bisik Lintang. "Aku..."

Sebelum Lintang menyelesaikan kalimatnya, Riana mendekatkan wajahnya dan menciumnya. Ciuman itu singkat, namun penuh makna. Lintang merasakan sentuhan bibir Riana yang lembut, aroma parfum Riana yang menenangkan, dan kehangatan cinta yang selama ini ia cari.

Setelah ciuman itu berakhir, Lintang dan Riana saling menatap. Tidak ada kata-kata yang terucap, namun keduanya saling memahami. Algoritma cinta Lintang mungkin telah menemukan kecocokan, tapi cintalah yang memutuskan untuk membara.

Lintang menyadari, cinta memang tidak bisa direduksi menjadi angka dan variabel. Faktor X yang selama ini ia cari adalah tentang keberanian untuk membuka hati, tentang kejujuran untuk mengakui perasaan, dan tentang kepercayaan untuk menerima cinta apa adanya.

Ia masih akan terus mengembangkan algoritmanya, tapi sekarang, ia tahu bahwa cinta sejati tidak hanya ditemukan dalam data, tapi juga dalam sentuhan, tatapan, dan ciuman. Jejak piksel di hatinya memang mengarah pada Riana, tetapi cintalah yang menuntunnya untuk berani melangkah lebih jauh. Mungkin, algoritma cinta itu hanyalah sebuah awal, sebuah pemicu. Pada akhirnya, hati manusia yang menentukan. Dan hati Lintang, kini telah memilih Riana. Algoritma cinta memang bisa membantu menemukan kemungkinan, tetapi cinta sejati adalah pilihan. Dan Lintang telah memilih.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI