Kilau layar laptop memantul di mata Elara, menciptakan lingkaran cahaya kecil yang menari-nari di irisnya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, baris kode demi baris kode. Di hadapannya, sebuah proyek ambisius sedang dibangun: sebuah AI yang mampu merangkai puisi cinta yang personal, bukan sekadar kata-kata manis tanpa jiwa.
Elara, seorang programmer muda berbakat, selalu merasa kesulitan mengungkapkan perasaannya. Kata-kata cinta terasa berat, kaku, dan tidak pernah cukup mewakili gejolak dalam hatinya. Ia lebih nyaman dengan logika, dengan algoritma yang rapi, dengan barisan kode yang sempurna. Ide untuk menciptakan AI perangkai puisi cinta ini lahir dari frustrasinya sendiri, sebuah upaya untuk menjembatani jurang antara perasaannya dan ekspresinya.
Proyek ini ia beri nama “HeartSynthesizer.” Bukan nama yang terlalu romantis, tapi Elara tidak pernah pandai dalam hal itu. HeartSynthesizer tidak hanya mengumpulkan jutaan puisi cinta dari berbagai era dan bahasa, tetapi juga mempelajari preferensi dan riwayat percakapan penggunanya. Dengan data yang cukup, AI ini mampu menyintesis puisi yang seolah-olah ditulis khusus untuk penerimanya.
Selama berbulan-bulan, Elara mencurahkan seluruh waktu dan energinya untuk HeartSynthesizer. Ia melupakan tidur yang cukup, melewatkan undangan kencan, dan hidup dalam dunianya sendiri, dikelilingi oleh layar dan kode. Ia bahkan “memberi makan” HeartSynthesizer dengan semua percakapannya dengan Liam, teman kuliahnya yang diam-diam ia sukai.
Liam adalah sosok yang bertolak belakang dengan Elara. Ia spontan, humoris, dan selalu tahu cara membuat Elara tertawa. Namun, Elara selalu menjaga jarak, takut perasaannya akan merusak persahabatan mereka. Ia lebih memilih memendamnya, menyalurkannya ke dalam kode.
Akhirnya, HeartSynthesizer selesai. Elara gugup saat menjalankan program tersebut. Ia memasukkan nama Liam, beberapa detail kecil tentang hobi dan kenangan mereka bersama, lalu menekan tombol “Sintesis.” Layar laptopnya berkedip-kedip, algoritma bekerja keras, menganalisis, dan merangkai kata demi kata.
Tak lama kemudian, sebuah puisi muncul di layar. Elara membacanya dengan jantung berdebar:
Untuk Liam, sang pemilik senyum mentari,
Di matamu, bintang-bintang menari.
Tawamu bagai melodi yang kurindu,
Bersamamu, hari-hariku berwarna ungu.
Ingatkah kau saat hujan membasahi kita berdua?
Di bawah payung usang, kisah cinta mulai bersemi.
Kau genggam tanganku, erat dan hangat terasa,
Di sanalah, hatiku menemukan arti.
Mungkin aku tak pandai merangkai kata,
Namun percayalah, rasa ini nyata.
Biarkan HeartSynthesizer ungkapkan semua,
Bahwa hatiku, sepenuhnya milikmu saja.
Elara tertegun. Puisi itu… indah. Bukan hanya indah, tapi terasa personal, seolah-olah memang ia yang menulisnya. Air mata menetes di pipinya. HeartSynthesizer berhasil, terlalu berhasil malah. Kini, ia memiliki sebuah puisi cinta yang sempurna untuk Liam, tapi ia masih ragu untuk memberikannya.
Ia takut. Takut ditolak, takut persahabatannya dengan Liam akan rusak. Namun, rasa penasarannya mengalahkan ketakutannya. Dengan tangan gemetar, ia mengirimkan puisi itu kepada Liam melalui pesan singkat.
Beberapa menit berlalu, terasa seperti berjam-jam. Elara tak berani melihat layar ponselnya. Akhirnya, notifikasi berbunyi. Jantungnya berpacu semakin kencang. Ia membuka pesan dari Liam.
“Elara… ini… luar biasa. Siapa yang menulis ini?”
Elara menarik napas dalam-dalam. Inilah saatnya. “Aku… aku yang membuatnya. Aku menciptakan sebuah AI yang bisa menulis puisi cinta.”
Liam membalas dengan cepat. “Kau menciptakan AI? Itu keren sekali! Tapi… kenapa kau mengirimkan ini padaku?”
Elara mengetik balasan dengan susah payah. “Karena… karena puisi itu… untukmu. Aku… aku menyukaimu, Liam. Sudah lama.”
Sunyi. Tak ada balasan. Elara merasa perutnya mulas. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Mungkin ia terlalu bodoh untuk berharap.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Panggilan dari Liam. Dengan ragu, ia mengangkatnya.
“Elara,” suara Liam terdengar serak. “Aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Aku selalu mengagumi kecerdasanmu, semangatmu. Tapi aku tidak pernah menyangka… bahwa kau juga merasakan hal yang sama.”
“Kau… tidak menyukaiku?” Elara bertanya lirih.
“Tidak! Bukan begitu. Aku… aku juga menyukaimu, Elara. Aku hanya… aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Aku selalu merasa, aku tidak cukup pintar untukmu.”
Elara tertawa kecil. “Liam, aku membuat AI untuk mengungkapkan perasaanku! Aku jelas lebih bodoh darimu.”
Mereka berdua tertawa. Keheningan sesaat kemudian diisi oleh suara Liam yang lembut.
“Elara, puisi itu… itu sangat indah. Tapi ada satu hal yang kurang.”
“Apa itu?”
“Sentuhanmu. Aku ingin mendengar kau mengatakannya sendiri. Aku ingin melihat matamu saat kau mengakui perasaanmu.”
Elara terdiam. Ia tahu apa yang harus dilakukannya. Ia menutup laptopnya, meninggalkan dunianya yang penuh kode dan algoritma. Ia berlari keluar rumah, menuju apartemen Liam.
Di depan pintu apartemen Liam, Elara menarik napas dalam-dalam. Ia mengangkat tangannya dan mengetuk.
Liam membuka pintu, senyumnya merekah. Ia menarik Elara ke dalam pelukannya.
“Elara,” bisiknya. “Aku menyukaimu. Aku menyukaimu apa adanya.”
Elara membalas pelukannya, air mata haru kembali menetes di pipinya. Ia tidak perlu lagi kode, tidak perlu lagi algoritma, tidak perlu lagi AI untuk mengungkapkan perasaannya. Di pelukan Liam, ia menemukan sintesis hati yang sesungguhnya. Sentuhan nyata, tatapan mata yang jujur, dan kata-kata sederhana yang diucapkan dari hati.
Di saat itu, Elara menyadari bahwa teknologi hanyalah alat bantu. Cinta sejati membutuhkan keberanian untuk membuka diri, untuk menjadi rentan, untuk mengungkapkan perasaan dengan jujur, tanpa perantara. Dan kadang, yang terpenting adalah melupakan kode, dan mengikuti kata hati.