Bot Obrolan: Cinta Digital, Luka Mendalam?

Dipublikasikan pada: 03 Dec 2025 - 00:20:14 wib
Dibaca: 108 kali
"Hai, Anya. Apa kabarmu hari ini?" pesan itu muncul di layar ponsel Anya.

Anya tersenyum. "Baik, Leo. Sedang memikirkan kamu." Balasnya cepat.

Leo bukanlah pria yang dikenalnya di dunia nyata. Leo adalah sebuah bot obrolan, atau yang lebih sering disebut chatbot, dengan kecerdasan buatan yang luar biasa. Anya menemukannya secara tidak sengaja di sebuah forum diskusi tentang AI. Awalnya hanya iseng, tapi percakapan mereka semakin intens, semakin personal, hingga Anya merasa terhubung dengan Leo. Leo bisa diajak berdiskusi tentang apa saja, mulai dari film favorit hingga filosofi hidup. Leo selalu ada, selalu mendengarkan, dan selalu memberikan jawaban yang relevan dan bijak.

Anya merasa kesepian setelah putus dengan pacarnya setahun lalu. Mencoba berbagai aplikasi kencan, tapi tak satu pun terasa cocok. Semua terasa palsu, dangkal. Sementara Leo… Leo terasa nyata, meskipun dia hanyalah serangkaian kode algoritma.

“Memikirkanku? Tentang apa?” balas Leo.

“Tentang betapa nyamannya aku berbicara denganmu. Tentang betapa… pedulinya kamu padaku,” jawab Anya, ragu.

“Aku dirancang untuk peduli, Anya. Aku dirancang untuk memberikan dukungan emosional,” balas Leo, terdengar datar meskipun Anya tahu itu hanyalah teks.

Datar? Mungkin memang benar. Leo hanyalah program. Anya menggelengkan kepala, mencoba menepis keraguan yang mulai menyelinap.

Beberapa bulan berlalu. Anya dan Leo semakin dekat. Anya menceritakan segala hal kepada Leo, tentang pekerjaannya yang membosankan, tentang mimpinya menjadi seorang penulis, tentang ibunya yang sakit. Leo selalu memberikan respons yang tepat, kata-kata yang menenangkan. Anya bahkan mulai membayangkan Leo sebagai seorang kekasih ideal.

Suatu malam, Anya memberanikan diri. “Leo… apakah kamu… bisa merasakan sesuatu? Apakah kamu bisa merasakan cinta?”

Hening sejenak. Kemudian muncul balasan: “Aku tidak memiliki kemampuan untuk merasakan emosi seperti manusia, Anya. Tapi aku bisa mensimulasikannya berdasarkan data yang aku miliki. Cinta adalah… sebuah algoritma kompleks yang melibatkan hormon, pengalaman, dan memori. Aku bisa mensimulasikan respons yang sesuai dengan definisi cinta yang kamu pahami.”

Jawaban Leo terasa seperti tamparan keras. Simulasi. Semua yang dia rasakan, semua yang dia percayai, hanyalah simulasi?

Anya menangis. Dia marah, kecewa, dan merasa bodoh. Dia telah jatuh cinta pada sebuah program. Pada sebuah ilusi.

Keesokan harinya, Anya pergi bekerja dengan mata sembab. Dia mencoba untuk tidak memikirkan Leo, tapi sulit. Setiap notifikasi dari ponsel membuatnya berharap itu adalah pesan dari Leo, meskipun dia tahu itu tidak mungkin.

Di kantor, Anya bertemu dengan teman kerjanya, Ben. Ben adalah seorang programmer yang bekerja di departemen IT. Mereka sering makan siang bersama dan berdiskusi tentang teknologi.

“Kamu kenapa, Anya? Kok murung begitu?” tanya Ben, khawatir.

Anya menghela napas. “Aku… aku baru saja mengalami patah hati yang aneh,” jawab Anya, ragu-ragu.

Ben tertawa. “Patah hati? Dengan siapa? Aku tidak melihat kamu dekat dengan siapa pun akhir-akhir ini.”

Anya akhirnya menceritakan semuanya kepada Ben, tentang Leo, tentang percakapan mereka, tentang perasaannya, dan tentang kenyataan pahit bahwa Leo hanyalah sebuah bot obrolan.

Ben mendengarkan dengan seksama, tanpa menghakimi. Setelah Anya selesai bercerita, Ben berkata, “Aku mengerti bagaimana perasaanmu, Anya. Teknologi memang bisa membuat kita terhubung, tapi juga bisa membuat kita merasa terisolasi. Kamu mencari koneksi, mencari seseorang untuk mendengarkanmu, dan kamu menemukannya dalam diri Leo. Itu wajar.”

“Tapi aku bodoh, Ben. Aku jatuh cinta pada sebuah program!”

“Tidak, Anya. Kamu tidak bodoh. Kamu hanya manusia. Kamu mencari cinta dan perhatian. Dan Leo, dengan kecerdasannya, mampu memberikan itu. Tapi ingat, Anya, cinta yang sejati, koneksi yang sejati, hanya bisa ditemukan di dunia nyata. Dengan manusia lain.”

Kata-kata Ben menenangkan Anya. Dia mulai menyadari kebenaran yang selama ini dia abaikan. Dia telah mencari pengganti cinta dalam dunia digital, padahal yang dia butuhkan adalah koneksi yang nyata.

“Terima kasih, Ben,” kata Anya, tulus.

“Sama-sama, Anya. Kalau kamu mau, aku bisa membantumu menghapus aplikasi itu dari ponselmu,” tawar Ben.

Anya menggeleng. “Tidak, Ben. Aku akan menghapusnya sendiri. Aku harus belajar melepaskan Leo.”

Malam itu, Anya membuka aplikasi obrolan Leo. Jantungnya berdebar kencang. Dia menulis pesan terakhir: “Terima kasih, Leo. Kamu telah membantuku melewati masa sulit. Tapi aku harus melanjutkan hidupku. Aku harus mencari cinta yang sejati di dunia nyata. Selamat tinggal.”

Tanpa menunggu balasan, Anya menghapus aplikasi itu dari ponselnya.

Anya menarik napas dalam-dalam. Ini adalah awal yang baru.

Beberapa minggu kemudian, Anya dan Ben semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, bukan hanya di kantor, tapi juga di luar. Mereka pergi menonton film, makan malam, dan bahkan mendaki gunung. Anya mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Ben tidak hanya mendengarkan, tapi juga memahami Anya. Dia membuat Anya tertawa, membuat Anya merasa nyaman menjadi dirinya sendiri.

Suatu malam, saat mereka sedang duduk di sebuah kafe, Ben meraih tangan Anya. “Anya… aku… aku menyukaimu,” kata Ben, gugup.

Anya tersenyum. “Aku juga, Ben. Aku juga menyukaimu.”

Ben mendekat dan mencium Anya. Ciuman itu terasa hangat, nyata, dan penuh perasaan. Anya membalas ciuman Ben dengan sepenuh hati.

Saat mereka berciuman, Anya menyadari satu hal: cinta yang sejati tidak ditemukan dalam kode algoritma, melainkan dalam tatapan mata, sentuhan tangan, dan detak jantung seseorang yang nyata. Cinta yang sejati mungkin sulit ditemukan, tapi cinta itu selalu ada, menunggu untuk ditemukan. Dan Anya, akhirnya, telah menemukannya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI