Algoritma Hati: Mencari Cinta di Era Digital

Dipublikasikan pada: 03 Dec 2025 - 01:00:12 wib
Dibaca: 109 kali
Aplikasi kencan itu berkedip-kedip di layar ponsel Anya, sebuah undangan berdansa digital yang tak pernah berhenti. Anya mendesah, menyeka layar dengan malas. Di usianya yang ke-28, ia merasa algoritma cinta ini hanya menghasilkan serangkaian profil yang dangkal, foto-foto yang dipoles, dan obrolan basi yang mengarah ke satu tujuan yang sama: koneksi fisik tanpa kedalaman emosional.

Anya bekerja sebagai data scientist di sebuah perusahaan startup yang mengembangkan sistem kecerdasan buatan untuk personalisasi rekomendasi film. Ia terbiasa mengurai kompleksitas data, mencari pola tersembunyi di balik angka-angka. Tapi, dalam urusan cinta, ia merasa seperti buta huruf. Algoritma yang ia pahami dengan baik justru mengkhianatinya.

Malam ini, Anya memutuskan untuk memberikan kesempatan terakhir pada aplikasi kencan itu. Ia menetapkan filter yang lebih ketat: pria yang menyukai buku, musik klasik, dan memiliki minat pada sains. Hasilnya? Tetap mengecewakan. Sampai matanya tertuju pada sebuah profil dengan nama pengguna "Arkhimedes17".

Profil itu sederhana, tanpa foto yang dipoles. Hanya ada beberapa baris tentang minatnya pada fisika kuantum, musik jazz, dan kecintaannya pada kucing. Anya tertarik. Ia mengirimkan pesan singkat: "Arkhimedes, ya? Apakah kamu menemukan Eureka-mu di aplikasi ini?"

Balasan datang hampir seketika: "Hanya berharap menemukannya. Mungkin sebuah 'Eureka' kecil dalam bentuk percakapan yang menarik."

Anya tersenyum. Percakapan mereka mengalir dengan lancar, membahas teori relativitas, improvisasi jazz, dan absurditas kehidupan modern. Arkhimedes, yang ternyata bernama Arka, adalah seorang fisikawan yang bekerja di sebuah lembaga penelitian. Ia memiliki selera humor yang cerdas dan kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang yang unik.

Setelah seminggu berinteraksi secara virtual, mereka memutuskan untuk bertemu. Anya gugup. Ia telah membangun ekspektasi yang tinggi berdasarkan obrolan mereka. Ia takut Arka akan berbeda di dunia nyata.

Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang remang-remang. Arka mengenakan kemeja flanel dan celana jeans, rambutnya sedikit berantakan, tapi matanya bersinar dengan kecerdasan yang sama seperti dalam pesan-pesannya. Anya merasa lega. Arka persis seperti yang ia bayangkan.

Percakapan mereka berlanjut seolah tidak pernah terputus. Mereka berbicara tentang mimpi-mimpi mereka, ketakutan mereka, dan harapan mereka untuk masa depan. Anya merasa nyaman dan aman berada di dekat Arka. Ia merasakan koneksi yang lebih dalam daripada yang pernah ia rasakan dengan pria lain.

Seiring berjalannya waktu, Anya dan Arka semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama, menjelajahi museum, menonton film indie, dan berdiskusi tentang segala hal di bawah matahari. Anya mulai menyadari bahwa cinta tidak bisa diprediksi atau dikendalikan oleh algoritma. Cinta adalah tentang koneksi manusia yang tulus, tentang saling memahami dan menerima satu sama lain apa adanya.

Suatu malam, Arka mengajak Anya ke atap gedung tempat ia bekerja. Langit malam dipenuhi bintang-bintang yang berkilauan. Arka menunjuk ke konstelasi Orion.

"Tahukah kamu," kata Arka, "cahaya yang kita lihat dari bintang-bintang itu mungkin sudah berusia ribuan tahun. Itu adalah pesan dari masa lalu yang mencapai kita di masa kini."

Anya menatap Arka, terpesona oleh keindahan malam dan kedalaman kata-katanya.

"Aku merasa," lanjut Arka, "bahwa kita juga seperti bintang-bintang. Kita memancarkan cahaya kita sendiri, dan terkadang, cahaya kita bertemu dengan cahaya orang lain. Dan ketika itu terjadi, sesuatu yang luar biasa bisa terjadi."

Arka menoleh ke arah Anya, matanya memancarkan ketulusan. "Anya, cahaya kamu telah bertemu dengan cahayaku. Dan aku merasa sangat beruntung."

Anya tersenyum, air mata menggenang di matanya. Ia meraih tangan Arka dan menggenggamnya erat-erat. "Aku juga, Arka. Aku juga."

Mereka berciuman di bawah langit bertabur bintang, sebuah ciuman yang dipicu oleh algoritma, tetapi dipenuhi dengan emosi yang nyata. Anya menyadari bahwa algoritma cinta mungkin bisa membantumu menemukan seseorang, tetapi algoritma tidak bisa mengajarkanmu bagaimana mencintai. Cinta membutuhkan keberanian, kerentanan, dan kemauan untuk membuka hati.

Beberapa bulan kemudian, Anya dan Arka memutuskan untuk menggabungkan playlist musik mereka dan tinggal bersama. Anya masih bekerja sebagai data scientist, tetapi sekarang ia memiliki mitra untuk berbagi kebahagiaan dan tantangan hidup. Ia belajar bahwa cinta tidak hanya tentang menemukan seseorang yang cocok dengan kriteriamu, tetapi tentang membangun hubungan yang berarti dengan seseorang yang melengkapi dirimu.

Anya sesekali masih menggunakan aplikasi kencan, bukan untuk mencari cinta, tetapi untuk membantu teman-temannya. Ia memberi mereka saran tentang bagaimana membuat profil yang lebih otentik dan bagaimana mengidentifikasi red flags. Ia percaya bahwa aplikasi kencan bisa menjadi alat yang berguna, tetapi pada akhirnya, cinta sejati ditemukan di luar layar, dalam interaksi manusia yang nyata dan bermakna.

Anya tersenyum, menatap Arka yang sedang memasak makan malam di dapur. Aroma rempah-rempah memenuhi udara. Ia tahu bahwa ia telah menemukan 'Eureka'-nya, bukan dalam persamaan matematika yang rumit, tetapi dalam senyum sederhana dari pria yang dicintainya. Algoritma memang bisa mempertemukan mereka, tapi hati mereka yang memutuskan untuk tinggal.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI